22

9 8 0
                                    

Harsha terduduk di depan meja belajarnya

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Harsha terduduk di depan meja belajarnya. Netranya lurus menatap secarik kertas yang ditulisnya beberapa minggu lalu. Selama beberapa hari ia harus memupuk keberanian dirinya untuk dapat tumbuh tinggi hingga sang tangan mampu memberikan kertas berisi ungkapan hatinya itu. Bahkan ia ingin mengatakannya secara langsung.

Namun sial baginya. Saat keberanian itu sudah tumbuh, sang calon penerima surat justru bercerita perihal lelaki lain padanya. Harsha dengan terpaksa harus membawa pulang kertas yang sudah dimasukkannya ke dalam tas. Tidak ingin membuangnya. Ia tidak ingin mencabut harapnya. Lelaki itu masih berpikir jika kesempatan untuk bersama masih ada.

Oleh karenanya, lelaki itu kembali memikirkan. Apakah ini waktu yang tepat?

"Lo kalo nggak mau kasih, gue aja deh." Sebuah kebiasaan sang pemilik tempat yang dihuninya, selalu masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk pintu untuk sekadar mengumumkan hadirnya.

"Lo aja yang apa?" tanya Harsha.

"Yang pacaran sama Nora, lah." Jawaban dari Jovano membuat tangan Harsha melempar barang yang ada di dekatnya ke arah temannya itu. Beruntung Jovano dengan cepat menghindar.

"Lo kalo mau ambil alih apartemen mah jangan pake bunuh gue!" seru Jovano menyadari barang yang dilempar adalah sebuah botol minum.

"Lagian mulut lo bau!" balas Harsha.

Lelaki itu lalu berdiri, berjalan menghampiri temannya yang kini sudah menampakkan wajah takutnya.

"Mundur," ucap Harsha.

Hanya satu kata, namun Jovano dapat merasakan bulu kuduknya berdiri. Tanpa ia sadari kakinya sudah bergerak mundur, seolah terhipnotis oleh Harsha.

Jovano menutup matanya. Hampir saja pintu kayu itu mencium hidung mancungnya lantaran Harsha dengan keras membanting kayu persegi itu tepat di hadapannya.

"Lo kalo mau bunuh gue harusnya bilang-bilang!" seru Jovano yang terabaikan oleh Harsha.

Lelaki itu kembali berpikir. Kepalanya diletakkan ke meja di hadapannya. Pandangannya menatap ke arah luar jendela. Menikmati birunya langit siang ini.

"Kalo gue confess sekarang, kayaknya kurang tepat, deh," gumamnya.

Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan pikirannya. Sebuah pesan masuk dari gadis yang menjadi penghuni pikirannya itu masuk, membuat bibirnya mengulas senyum. Terlebih saat membaca isi pesan yang masuk.

"Lo kok bisa-bisanya tau isi otak gue, sih?" gumamnya.

Harsha lalu bangkit dari duduknya. Dengan cepat ia mengambil jaketnya yang tersampir di kursi.

"Jovano ganteng, anaknya Dermawan," ucapnya dengan senyum saat membuka pintu kamarnya. Seolah tahu jika sasarannya tengah duduk di ruang tengah. "Pinjem mobil, dong."

"Lo kalo ada mau aja baik," balas Jovano. Tatapan lelaki itu masih lurus ke arah televisi di hadapannya. Enggan menatap wajah temannya yang tengah menatapnya penuh harap.

"Ntar pulangnya gue buatin mie, deh."

***

Harsha benar-benar berutang budi pada Jovano. Berkatnya, ia dapat menikmati lagu berdua dengan gadis di sebelahnya di dalam mobil pinjaman. Walaupun harus sedikit merayu agar kunci itu dapat diraihnya, rasanya semua terbalaskan setelah mendengar pemikiran unik Annora.

"Ya, nggak gitu, Ra. Banyak banget kalo peraknya ada lima ratus!" serunya. Lelaki itu sejak tadi dibuat tertawa. Beruntung ia tidak kehilangan fokusnya untuk menyetir.

"Ih, dengerin. Dia bilang lima ratus perak, mahal banget!"

Entah apa yang membuat acara bedah lirik lagu anak kecil itu terjadi hingga perjalanan hampir usai. Padahal awalnya adalah Annora yang bercerita bosannya ia sendirian di dalam kamar kosnya.

"Dah, ayo makan dulu, mumpung nggak begitu rame," ucap Harsha setelah mematikan mesin kendaraannya.

"Sha, makasih ya udah mau gue repotin."

"Nggak apa." Harsha berpikir sebentar. Sebuah ide mendadak hinggap ke dalam otaknya. "Eh, kalo lo bosen lagi, mau ikut gue nggak?" tanyanya. Harsha berharap tawarannya dapat diterima.

"Kemana?"

"Rahasia, tapi gue jamin seru." ucap Harsha penuh keyakinan.

"Kalo nggak seru?" Harsha nampak berpikir lagi.

"Kalo nggak seru, kita pacaran." Jawaban Harsha yang membuat Annora sedikit tercekat. Bibirnya kelu. Seolah tidak mampu memikirkan balasan atas pernyataan dari lawan bicaranya. "Gue bercanda! Ayo masuk!"

Harsha berjalan mendahuli Annora. Berusaha menyembunyikan wajah sendunya. Seakan diamnya gadis itu adalah sebuah sinyal buruk baginya. Kini, semakin bertambah takut yang ia miliki.

"Sha..." lirih Annora saat mereka sudah duduk di dalam satu kedai makan.

"Nggak usah dipikirin, gue beneran bercanda aja." Harsha memaksakan tawanya keluar. Menutupi sakit yang terasa. Jantungnya bahkan masih berdegup dengan cepat. "Mau pesen apa?" tanyanya.

"Samain aja, deh." Annora lalu menundukkan kepalanya. Masih berpikir akan pernyataan dari lelaki yang duduk di hadapannya.

"Oke, tunggu, ya?"

Sosok Harsha perlahan menjauh. Memberikan ruang bagi Annora untuk semakin tenggelam dalam pikirannya.

"Beneran bercanda, kan?" gumamnya. Masih mempertanyakan kebenaran.

Matanya menatap lekat pada sosok Harsha yang tampak antre di depan kasir. Memesankan pesanan untuk mereka.

"Gue jahat banget kalo lo suka sama gue, tapi gue malah cerita tentang cowok lain ke lo, Sha," gumamnya lagi. 

 

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.
Whisper of the Silent Hearts [Completed]Onde histórias criam vida. Descubra agora