10

23 18 0
                                    

Akhir pekan yang dulu dihabiskan untuk pergi bersama keluarga kecilnya, berubah menjadi dirinya yang memilih untuk tenggelam dalam pekerjaan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Akhir pekan yang dulu dihabiskan untuk pergi bersama keluarga kecilnya, berubah menjadi dirinya yang memilih untuk tenggelam dalam pekerjaan. Siapa sangka, dirinya yang dulu sangat kesal karena sang kakak terlalu memilih pekerjaan, kini merasakan posisi yang sama. Bukan karena pekerjaan yang banyak. Mereka tidak lagi menemukan nyamannya di tempat yang dipanggilnya rumah itu. Terlebih saat Geandra memilih untuk tidak lagi tinggal bersamanya.

Dharma pikir, anak gadisnya itu akan kembali setelah menghabiskan waktu beberapa minggu bersama saudaranya. Pria paruh baya itu tidak menyangka bahwa gadis kecilnya mampu bertahan hingga lebih dari dua bulan jauh dari rumahnya.

Banyak yang menjadi beban pikiran terkait keluarga kecilnya. Terlebih setelah makan malam yang direncanakan sang istri dua bulan lalu. Ia pikir, saat itu hanya perselisihan kecil yang terjadi antara anak dan ibu itu. Namun dengan absennya nama Geandra dari bibir manis sang istri selepas makan malam, kini ia merutuki keputusannya untuk membiarkan dan tidak bertanya langsung.

Lelaki itu akhirnya mengetuk pintu di hadapannya. Berharap orang yang menjadi tujuan singgahnya ada di balik pintu itu. Jika tidak, rasanya menunda semua jadwal meeting hari itu menjadi sia-sia.

"Papa!" seru dari sang anak saat pintu terbuka. Lengan gadis itu dengan cepat melingkar padanya. Ah, Dharma merindukan ini.

"Anak Papa gimana kabarnya?" tanyanya berbasa-basi. Tangannya digerakkan untuk mengelus surai panjang sang anak.

"Baik, dong! Mau masuk?"

"Jangan, deh. Keluar aja, yuk?" usul Dharma. "Nora di mana?"

"Hari ini Nora masih kerja," jawab Geandra. Gadis itu lalu mengambil ponsel dan tas miliknya sebelum mengunci pintu kamar kos.

"Kamu tau tempatnya?" Alasan Dharma singgah tidak hanya untuk anaknya, namun juga keponakannya. Terlebih jika ia mengingat janji yang mengikatnya saat Liliana, ibu dari Annora memintanya untuk menjaga keluarga kecilnya. Seolah tahu jika sang suami akan menjadi berantakan saat kepergiannya.

Hanya butuh waktu lima menit mengemudikan di jalan raya, kendaraan roda empat yang dinaiki oleh Dharma dan Geandra kini sudah parkir di depan Solar Beans. Sebuah kedai kopi dengan nuansa antariksa.

"Kamu masuk duluan, ya," ucap Dharma kala ponselnya menunjukkan panggilan masuk dari sang istri.

***

Otaknya terasa cukup berisik. Padahal kelasnya sudah usai sepuluh menit lalu. Beruntung Jovano masih setia duduk di sebelahnya, menanti Harsha tersadar dari pikirannya.

Sedari pagi, lelaki itu sudah membungkam bibirnya. Bahkan saat Jovano memintanya untuk dibuatkan sarapan, Harsha langsung bertindak, tanpa adanya protes seperti yang biasa mereka lakukan.

"Lo kangen sama emak lo gak, No?" Sebuah tanya yang mendadak itu membuat Jovano mengerutkan keningnya.

"Nggak juga sih, gue kalo kangen kan tinggal pulang. Cuma jarak dua jam doang," jawabnya. "Lo abis ditelepon Bunda lo ya?"

Harsha hanya menganggukkan kepalanya. Mendapat telepon dari sang ibu merupakan hal yang jarang didapatnya, walaupun jarak membentang diantara keduanya. Harsha sampai berpikir bahwa sang ibu sudah sibuk dengan keluarga barunya, hingga lupa dengan putranya.

Bukan hanya karena sang ibu yang mendadak menghubunginya. Suara yang ia tangkap tadi pagi cukup menyita ruang di otaknya. Suara yang dulu ia ingat cukup bersemangat itu terdengar cukup lemas, diselingi batuk yang Harsha duga diredam oleh sang ibu.

Rindu dan khawatir benar-benar tercampur di pikirannya.

"Ayo, gue laper." Harsha berdiri. Diikuti oleh Jovano yang masih setia berjalan di belakangnya. Lelaki yang sedikit lebih tinggi dari Harsha itu terus menatap punggung yang cukup merunduk hari ini. Seolah bebannya terasa semakin berat.

"Kalo emang kangen, jangan nunggu ditelepon, lah. Lo duluan aja yang telepon." Memang benar. Harsha tidak dapat menyangkal pernyataan temannya.

"Tapi, Bunda udah seneng sama suami barunya."

"Lo nggak pernah tau apa yang ada di hati orang lain. Yang lo liat belom tentu yang beneran dirasa, kan?"

Harsha menghentikan langkahnya. Memupuk baik-baik perkataan temannya. Mungkin nanti, ia akan bertaya tentang keadaan sang ibu. Berharap Tuhan selalu melindungi wanita yang sangat disayangnya itu.

***

"Om, Nora lanjut kerja lagi ya. Jam istirahat Nora udah mau abis," pamit Annora pada dua pengunjung yang ia kenali.

Gadis itu tidak berpikir bahwa saudara serta pamannya itu berkenan mengunjungi saat jam kerjanya berlangsung. Ia pikir, suasana canggung akan menyelimuti mereka. Beruntung berkat perlakuan lembut sang paman, suasana rumah seakan menjadi selimut ketiganya.

"Gih, Om mau nge-date sama princess." Dharma lalu berdiri, diikuti oleh Geandra. Setelah memastikan keponakannya itu dalam keadaan sehat, pria paruh baya itu lalu berniat mengajak anaknya ke kedai lain guna diskusi yang lebih tertutup. Tadinya ia berpikir kedai ini akan cukup sepi sehingga ia dapat fokus pada sang anak juga keponakannya.

"Gue pergi dulu ya, hati-hati sama Bima sakit!" seru Geandra sembari melambaikan tangannya.

"Padahal si Harsha beda shift," gumam Annora yang diabaikan oleh Geandra.

Ayah dan anak itu kini duduk di salah satu kursi di kedai yang cukup sepi. Tidak jauh, hanya berjarak tiga toko dari Solar Beans.

Geandra duduk di hadapan sang ayah. Mata gadis itu sedikit menggambarkan cemasnya. Seakan tahu jika ada hal penting yang akan disampaikan oleh kepala keluarganya.

"Kamu ada masalah sama Mama?" Sebuah tanya yang menjadi pembuka itu sungguh tidak diduga oleh Geandra. "Kamu nggak pernah dateng lagi abis acara makan malem waktu itu," lanjutnya.

"Pa, kalo Mama jahat sama Nora, Papa bakal ada di pihak Mama?" Dharma mengerutkan keningnya. "Waktu itu, Gea liat Mama narik rambutnya Nora. Nora diseret ke kamar dari ruang tamu."

Dharma terdiam. Kalimat dari sang anak masih belum dapat tercerna olehnya. Tidak, ia masih belum percaya.

"Terus Gea tanya sama Bi Inah. Penyebabnya cuma karena Nora nggak sengaja mecahin vas bunga yang dari tante Dian," ucap Geandra. Kepalanya tertunduk.

"Gea, kamu jangan ngelantur gitu."

"Kalo emang nggak percaya, Bi Inah yang jadi saksi tiap Mama nyiksa Nora." Gadis itu tidak memiliki keberanian untuk mengungkap semua perlakuan kasar sang ibu. Tiap kata yang ia ucapkan rasanya cukup menyakitkan. Terlebih dengan pandangan mata yang dilempar oleh sang ayah. Rasa tidak percaya yang keluar berhasil Geandra tangkap.

 Rasa tidak percaya yang keluar berhasil Geandra tangkap

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Whisper of the Silent Hearts [Completed]Where stories live. Discover now