14

16 15 0
                                    

Kejadian di meja makan semalam masih terekam dengan jelas di memorinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kejadian di meja makan semalam masih terekam dengan jelas di memorinya. Annora tidak tau sedekat apakah sang ibu dengan Om Dharma dahulu hingga Tante Sesil dapat berpikir demikian.

Annora lalu menatap pada Geandra yang kini di sebelahnya. Pandangannya kosong menatap langit. Mereka memilih untuk absen dari kuliah hari ini, pun dengan jam kerja Annora di Solar Beans. Annora beruntung sang pemilik yang merupakan kenalan dari tetangganya itu dapat mengerti keadaannya.

"Gea...," panggil Annora dengan suara lirihnya. Tangannya saling menggenggam. Pikirannya masih menimbang-nimbang apa yang harus ia ucapkan.

Semalam setelah debat panjang itu, Geandra memilih untuk masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu bahkan menolak hadirnya Annora untuk menemaninya.

"Nora, maaf," ucap Geandra sebelum Annora sempat melanjutkan apa yang ingin ia ucapkan. "Maaf, gue nggak tau kalo Mama sampe segitunya ke lo," lanjut gadis itu.

Annora memutar sedikit badannya. Membuat ia berhadapan dengan sisi kiri Geandra yang masih menengadah ke langit. "Nggak, harusnya gue yang minta maaf."

"Maaf, gue nggak ada buat jadi perisai lo," ucap Geandra lagi. Gadis itu seolah tuli, tidak dapat menangkap apa yang Annora katakan.

Annora lalu memaksa saudara perempuannya itu untuk menghadap padanya. Memakasa gadis itu untuk fokus padanya. "Nggak, Gea. Gue nggak tau kalo ternyata gue udah jadi duri buat keluarga lo," ucapnya.

Tetes demi tetes air mata mulai turun dari mata keduanya. Kontras dengan langit yang cerah. Keduanya menundukkan kepala, saling mengucap maaf. Saling memohon ampun atas sesuatu yang seharusnya tidak perlu.

"Saya yang harusnya minta maaf," ucap Sesil yang sedari tadi menonton adegan itu lalu memilih memunculkan dirinya. Matanya tak kalah merah, seolah lelah mengeluarkan air dari kedua bola matanya. "Saya yang udah nyakitin kamu, saya yang udah buruk sangka."

Annora hanya dapat menggelengkan kepalanya sebelum turut merangkul wanita yang kini berlutut di hadapannya. Tidak ada kata yang mampu ia ucapkan. Hanya syukur dan harap dalam hatinya. Syukur karena semua gelapnya telah berganti terang, dan harap agar terang itu akan terus menyinari mereka.

"Nora, kalo kamu pindah karena Tante, pulang. Tante janji bakal berubah," ucap Sesil. "Kamu juga, Gea."

Annora menggelengkan kepalanya. "Nggak, Tante. Mungkin awalnya iya, tapi Nora juga harus belajar hidup mandiri, kan? Nora nggak mau terus bergantung sama Om sama Tante," jelasnya.

"Gea juga mau tinggal di kosan, soalnya lebih deket. Terus juga ada Nora," ucap Geandra.

***

Mario kembali mendudukkan dirinya di salah satu kursi di Solar Beans. Lelaki itu pikir, ia akan dapat bertemu dengan sosok gadis yang dikenalnya. Rasanya banyak tanya yang ingin ia ungkapkan.

Netranya melirik ke sekeliling ruangan. Namun sosok yang dicarinya tidak kunjung muncul. Bahkan setelah minuman yang ia pesan nyaris terminum habis.

"Oy!" seru Yuda yang kini sudah duduk di hadapannya. "Nyari siapa?"

"Eh, Mas Orbit," ledeknya.

"Jijik! Nora hari ini nggak masuk, tadi izin." Pernyataan dari Yuda membuatnya lesu. Padahal ia sudah terburu-buru datang ke kedai ini. Rasa tidak sabarnya nyatanya harus dikubur kembali.

"Kirain yang pulang Gea doang," gumam Mario.

Setelah menghabiskan minumannya, lelaki itu lalu bangkit dan mengucapkan selamat tinggal pada Yuda. Membuat lawan bicaranya melemparkan tatapan aneh.

"Bego! Kan gue ada nomornya!" serunya saat menyadari ia telah bertukar nomor dengan gadis yang dicarinya.

Dengan cepat jari itu mencari nomor yang dituju lalu menghubunginya. Dering nada tunggu itu membuat kakinya mengetuk-ngetuk tanah. Tidak sabar.

"Halo?" Saat suara dari seberang panggilan terdengar, bibirnya tersenyum.

"Maknya Rora!"

"Kenapa, Kak?"

"Hmm... lo sibuk nggak?" tanyanya. Ia takut jika pertanyaannya akan terlalu panjang dan menyita banyak waktu gadis di ujung panggilan itu.

"Nggak terlalu, sih. Cuma ada dikit lagi tugas yang udah mau selesai," jawabnya.

"Nora, gue mau ngerepotin, lo."

"Oke, boleh."

"Gue belom bilang?" tanya Mario. Sedikit heran karena ia bahkan belum mengucapkan pintanya. "Hmm... gue kirim list pertanyaan, ntar kalo lo senggang aja isinya, terus kirim balik ke gue, gimana?"

"Oke, boleh."

***

Apa yang diucapkan oleh Geandra tempo hari rasanya cukup nyaman untuk berputar dalam otak Harsha. Lelaki itu kini tengah berjalan kesana-kemari mengelilingi sisi kamarnya. Menimbang-nimbang bagaimana cara untuk mengungkapkan rasanya.

Mengatakan langsung, namun rasanya ia ingin sesuatu yang istimewa. Lewat surat, namun ia ingin melihat reaksi dari gadis incarannya itu.

Kedua tangannya lalu bergerak mengacak rambutnya. Seolah dapat meringankan bimbang.

"Lo butuh gue panggilin dokter?" tanya Jovano dari ambang pintu. Mulutnya tengah asyik mengunyah makanan yang ada di genggamannya.

"Lo makan apa?" Pertanyaan Jovano justru dibalas tanya oleh Harsha.

"Nggak mau bagi-bagi sama orang minim kewarasan," balas Jovano. Lelaki itu lalu menghampiri Harsha, masih dengan aksi mengunyahnya. "Kalo mikir mau confess ke cewek mah jangan dulu, deh."

Harsha mengernyitkan dahinya. "Kenapa?"

"Takutnya dia sawan." Harsha menyesal menanggapi temannya itu dengan serius.

"Tenang aja, gue nggak minta saran ke lo," ucap Harsha. Lelaki itu lalu memutar badan Jovano. Memaksanya untuk keluar dari kamarnya.

"Ini kan kamar gue juga!" seru Jovano tidak terima atas perlakuan yang diterimanya.

Setelah berhasil mengusir hadir Jovano dan mengunci pintunya. Lelaki itu lalu mendudukkan dirinya di pinggir kasur. Matanya menatap hadir bulan yang malam ini dengan percaya dirinya bersinar.

"Oke, surat!" serunya. Lelaki itu lalu menarik keluar secarik kertas dari dalam bukunya. Diambilnya bolpoin untuk menuliskan apa yang ada di dalam pikirnya.

"Nggak, ini aneh," gumamnya. Harsha lalu kembali menarik keluar kertas lainnya, dan memulai ritual yang sama.

Malam itu, Harsha tenggelam dalam pikirannya. Sudah banyak sobekan kertas yang berserakan di lantai. Kurangnya kata-kata yang cocok menurutnya adalah penyebab banyaknya korban kertas yang berjatuhan.

 Kurangnya kata-kata yang cocok menurutnya adalah penyebab banyaknya korban kertas yang berjatuhan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Whisper of the Silent Hearts [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang