01

101 43 47
                                    

Hujan yang sejak siang mengguyur kota, akhirnya reda

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hujan yang sejak siang mengguyur kota, akhirnya reda. Genangan air di pinggir jalan menemani langkahnya menuju tempat persinggahan. Angin sejuk dengan aroma air menyapa indranya, seakan mengucap terima kasih atas kerja kerasnya hari ini.

Keputusan untuk hidup seorang diri yang Annora ambil sebulan lalu adalah sebuah harap yang menjadi nyata. Walau pada awal Om Dharma sempat menolak dan ingin dirinya terus tinggal di bawah atap rumahnya bersama Tante Sesil dan Geandra. Namun, Annora cukup pintar untuk menangkap adanya sorot mata penuh rasa tidak suka setiap mendapati sosoknya berada di ruangan yang sama.

Bibirnya tersenyum kala mengingat hari pertama kakinya melangkah keluar. Fisik lelahnya tidak berarti apa-apa jika mengingat untaian kata berduri yang senantiasa terdengar oleh rungunya. Ia tahu, Tante Sesil sangat tidak menyukai hadirnya.

Rasa terima kasih karena telah membesarkannya hingga sekarang selalu ada. Pun marah yang ia simpan kala kalimat penuh benci dari sang tante dilayangkan untuk orang tuanya. Marah yang tidak pernah ia keluarkan. Hanya terpendam dalam senyum yang selalu ia latih tiap paginya.

Kamar kos yang menjadi tempat singgahnya memang tidak semegah kamar lamanya. Namun berkat keras kepalanya Om Dharma, setidaknya ia dapat sedikit bernapas lega karena luasnya kamar yang ia huni pun dengan fasilitas yang lebih dari cukup, pikirnya. Syarat yang harus ia setujui agar tangannya diizinkan untuk memulai hidup sendiri.

"Rora malem udah dapet makan?" matanya melirik pada sebuah tempat makan berwarna biru yang sudah terisi. Kucing dengan bulu calico itu tengah asyik menikmati makannya.

Annora bertemu dengan Rora di minggu awal kepindahannya, saat ia berjalan pulang setelah bekerja. Kucing yang kala itu tengah tertidur saat berteduh di pinggir jalan. Gadis itu seolah merasa memiliki nasib serupa dengan si kecil Rora. Sama-sama ditinggalkan.

Setelah sedikit menceritakan harinya pada Rora, Annora memilih masuk ke dalam kaamr kosnya. Berniat merehatkan badannya sebelum mengulangi rutinitasnya esok hari.

"Loh?" Gadis itu cukup terkejut kala kenop pintunya berhasil terbuka. Pemandangan koper-koper besar seakan menyambutnya hari itu. Ditambah dengan hadirnya sosok Geandra yang kini masih asyik dengan dunianya.

"Kapan dateng?" Annora bertanya setelah memungut kembali kesadarannya.

"Yo!" Lawan bicaranya hanya menjawab singkat lalu melanjutkan kegiatan melukisnya. Saudaranya itu memang berencana turut tinggal dengannya. Berbekal alasan ingin menemani Annora serta jarak ke kampus yang cukup dekat, Geandra berhasil mengantongi restu dari sang ayah.

"Dianter siapa tadi?" Annora kembali melanjutkan tanyanya sembari menaruh barang-barangnya. Kamar yang ia bereskan tadi pagi nampak cukup berantakan. Botol cat berserakan, baju yang ia pikir adalah milik Gea pun beberapa mencuat dari koper yang ia buka.

"Sendiri, dong. 'Kan gue udah gede." Gadis yang masih memegang kuas itu tersenyum bangga. Annora hanya mengangguk. Tidak berniat melanjutkan percakapan, ia mempersilahkan saudaranya itu kembali melanjutkan kegiatannya.

Whisper of the Silent Hearts [Completed]Where stories live. Discover now