04

40 26 0
                                    

Mentari baru saja mengucapkan salam perpisahannya hari itu, rona merah masih sedikit nampak di langit saat Annora melangkah keluar dari kamar kosnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mentari baru saja mengucapkan salam perpisahannya hari itu, rona merah masih sedikit nampak di langit saat Annora melangkah keluar dari kamar kosnya. Ia kembali memereksi tasnya sebelum mengunci pintu berwarna putih itu. Memastikan tidak ada buku atau barang lain yang tertinggal.

Langkahnya terasa berat. Rasanya baru kali ini ia menuju Solar Beans bukan dengan tujuan bekerja. Kiara yang menjadi alasannya. Gadis itu menyarankan tempat kerjanya sebagai lokasi mengerjakan tugas bersama. Beralasan lokasi yang dekat dengan kampus, gadis itu berhasil mengantongi persetujuan dari Laura dan Tania.

"Bisa-bisanya Orbit ngizinin," gumamnya kesal. Seperti biasanya, gadis itu menyempatkan untuk mengintip ke arah tempat makan Rora.

"Masih ada isi." Annora menghela napasnya.

Langkah berat itu membawanya hingga ke depan tempat yang dituju. Annora kembali menghela napasnya sebelum tangannya mendorong pintu kaca di depannya, mengusir sejenak pikiran jeleknya. Kiara yang masih mengenakan seragam kerjanya tampak mengangkat tangannya untuk segera bergabung.

"Sorry, udah pada nunggu lama?" tanyanya pada tiga kepala yang sudah menunggunya di satu meja.

"Nggak kok, nih si Kiara aja belom ganti, kok," suara lembut dari Tania menjawab pertanyaan Annora. Gadis itu tersenyum sembari menunjuk pada Kiara yang duduk di hadapannya.

"Jadi, udah cari-cari tentang opiknya?" tanya Annora untuk memulai diskusi mereka.

Di salah satu sisi ruangan, sepasang mata tengah menaruh fokusnya sejak Annora melangkah masuk. Napas lega keluar saat akhirnya ia mendapati sosok itu dalam jangkauan pandangnya.

"Oh, jadi gara-gara Moon, lo loyo banget berapa hari ini," celetuk Star yang sudah berdiri di sebelahnya.

"Ini pesanan meja no berapa?" tanya Harsha dengan kikuk. Lelaki itu malu karena tertangkap basah oleh temannya. Memang, alasan ia kehilangan semangat beberapa hari ini adalah tidak adanya hadir dari gadis incarannya itu.

"Meja nomor 12." Netranya seketika semakin membulat. "Iya, samperin Moon sekalian."

***

Belum genap seminggu sejak dimulainya semester baru, Mario sudah dibuat ingin mengibarkan bendera putihnya. Ia tidak tahu jika menjadi panitia dalam dies natalis kampusnya cukup menyita banyak waktunya. Ingin rasanya ia marah pada Ares yang telah membodohinya, mengatakan bahwa kepanitiaan adalah tempatnya membunuh waktu.

"Iya bener, bunuh waktu sampe gak kesisa waktu istirahatnya," kesalnya.

Mario baru saja tiba di kontrakannya. Pintu yang masih terkunci menandakan temannya itu belum tiba di sana.

"Makan sama cewek mana lagi, astaga."

Baru saja ia akan menutup kembali pintunya, rungunya mendengar suara kucing yang mengeong di depan rumahnya. Bibirnya tersenyum. Kucing kecil itu nampak telah menunggunya pulang.

"Meng nungguin ya?" tanyanya seolah makhluk berbulu itu dapat memberikan jawaban padanya.

Setelah mengambil satu bungkus wet food yang ia beli tadi siang, Mario kembali keluar. Ia mendatangi tempat makan berwarna biru yang senantiasa ia isi saat pergi dan pulang.

Kucing kecil yang ia jumpai saat kepindahannya itu nampak tengah menggosokkan kepalanya pada kaki kiri Mario. Seolah mengatakan terima kasih padanya.

"Rora!" Suara nyaring dari seseorang menyapa rungunya. Ia lalu berdiri dan membalikkan badannya.

Tidak jauh darinya, sosok gadis tengah berlari ke arahnya. Tangannya tengah menenteng totebag yang nampak cukup penuh.

"Oh, namanya Rora?" tanya Mario saat gadis itu hanya berjarak satu langkah darinya. Gadis itu nampak tengah mengelus kepala kucing kecil yang tengah menikmati makan malamnya itu.

"Eh, sorry. Gue pikir Rora pergi, soalnya tempat makannya keisi terus."

"Ini kucing lo?"

"Bukan, cuma dari pas pindah gue sering kasih makan Rora, sih. Jadi kaget klo tempat makannya full terus. Takut dianya pergi," jelas gadis itu panjang lebar. "Nama gue Nora," lanjutnya sembari mengulurkan tangan.

"Nora, Rora," Mario terkekeh. "Gue Mario, panggil Rio aja biar mirip dikit sama Rora," lanjutnya sembari menyambut uluran tangan itu.

Annora terdiam melihat lelaki di hadapannya. Angin malam seolah menambah keindahan yang dimiliki lelaki yang dengan leluasa tersenyum di hadapannya.

"Gue...baru liat lo di sekitar sini."

"Oh, gue emang baru pindah, sih." Annora menganggukkan kepalanya, menerima alasan mengapa sosok itu baru muncul.

"Rora kayaknya lebih suka wet food yang ini deh," gumam Annora. Kucing kecil itu memang tampak lebih lahap menyantap hidangannya malam ini.

"Lo punya kucing lain di rumah?" Gelengan kecil dari kepala Annora menjadi jawab atas tanya yang dilemparkan oleh Mario.

"Sodara gue ada alergi sama kucing soalnya," jelas Annora. Mario hanya menganggukkan kepalanya, paham atas situasi dari gadis yang baru dikenalnya itu.

"Lo kuliah atau kerja?"

"Dua-duanya. Soalnya gue gak mau bergantung lagi." Jawaban dari Annora membuat Mario terdiam. "Eh, sorry. Gue oversharing, ya?"

Mario menggelengkan kepalanya. "Nggak kok. Lebih ke kagum aja. Soalnya pasti capek banget."

Lelaki itu seolah tidak sadar atas efek yang ditimbulkan oleh senyumnya. Gadis di hadapannya kembali dibuat terpaku. Seolah lupa jika ada yang menanti kedatangannya.

"Lo tinggal sendirian?" Pertanyaan dari Mario telah mengembalikan kesadarannya. Benar, ia berjanji pada Geandra untuk makan bersama malam ini.

"Ehm, lo keberatan gak kalo semisal gue tanya kabar tentang Rora ke lo?" tanya Annora sedikit malu. Pasalnya, baru kali ini ia memberanikan diri meminta hal itu pada orang yang baru ditemuinya.

Mario tersenyum, ia lalu mengambil ponsel yang berada pada saku celananya, menyodorkan gawai itu pada gadis di hadapannya. "Nomor lo aja sini."

Balasan dari lelaki itu sungguh tidak terpikir olehnya. Annora pikir, lelaki itu akan dengan berat hati mengetikkan nomornya, atau malah menolak mentah-mentah memberikan data itu pada orang asing sepertinya.

 Annora pikir, lelaki itu akan dengan berat hati mengetikkan nomornya, atau malah menolak mentah-mentah memberikan data itu pada orang asing sepertinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Whisper of the Silent Hearts [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang