19

16 11 0
                                    

Bibirnya sejak tadi terus menyunggingkan senyum

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bibirnya sejak tadi terus menyunggingkan senyum. Tidak selaras dengan jari jemari yang asyik menari di keyboard laptopnya. Seakan otaknya tengah terbagi. Di satu sisi tengah mengingat kejadian tempo hari, dan sisi lainnya tengah dipaksa untuk mengerjakan sang tugas.

Tidak jauh darinya, Jovano hanya dapat memandang sosok temannya dengan bingung. Sedikit penasaran apa yang ditampilkan pada layar persegi itu hingga membuat bibirnya terus tersenyum.

"Lo lagi nonton yang aneh-aneh ya, Sha?"

Mendengar pertanyaan dari temannya, Harsha lalu menghentikan aktivitasnya. Kepalanya lalu menoleh ke arah sosok Jovano berada.

"Nggak, kenapa?"

"Kayaknya gue perlu minta info dokter jiwa, deh." Giliran Harsha yang kini bingung atas balasan Jovano.

"Buat siapa, No?"

"Buat lo. Takut gue liat lo senyam-senyum dari tadi," ucapnya. Lelaki itu lalu pergi ke arah dapur. Sebuah hal yang jarang sekali didapati oleh Harsha selama tinggal di apartemen itu.

"Mau masak?"

"Nyuci, mie." jawabnya asal. "Eh, lo belom cerita lo kemaren abis ke mana aja sampe basah kuyup?"

Harsha lalu melipat kembali laptopnya. Punggungnya ia sandarkan pada sofa. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum.

"Gue ngerasa keren banget kemaren, No," ucapnya sebagai pembuka atas ceritanya. "Jadi, kan Nora ngajak ke zoo gara-gara film, terus di sana malah ketemu sama anak kecil yang kepisah sama orang tuanya," lanjutnya lagi.

"Oke, ini nggak ada hubungannya sama lo basah-basahan padahal naik mobil." Jovano rasanya tidak sabar menunggu hingga temannya itu menceritakan inti dari pertanyaannya.

Harsha terkekeh. Ia dapat merasakan kekesalan lelaki yang tengah mengaduk mienya itu. "Terus kan pas nganterin pulang, tuh kita makan dulu. Eh, kayaknya gue harus ngajak lo juga deh kapan-kapan ke sini, makanannya enak."

"Sha, ini air panasnya belom gue buang, loh."

"Intinya sih, abis bayar makanannya, gue terus nyemplung ke ember orang yang lagi ngepel."

Jovano mengerjapkan matanya. "Kok bisa?"

"Ada anak kecil nyenggol gue," jawabnya.

"Bukan. Kok bisa lo bilang lo kemaren keren padahal nyemplung?"

***

Langkahnya terasa amat ringan menuju huniannya. Tangannya yang menenteng sebuah bungkusan tampak terayun secara bergantian. Malam itu, Annora nampak seperti anak kecil yang tengah senang karena mendapatkan sepatu baru.

"Gea!" serunya saat membuka pintu kamar kosnya. Di sana, didapati sosok yang dirindunya tengah sibuk dengan kuas yang beradu dengan kanvas.

"Yo!"

Annora lalu dengan cepat menghampirinya. Tangannya yang menenteng sebuah bungkusan, ia tunjukkan pada gadis yang sejak tadi fokus pada kanvas di hadapannya.

"Gue bawa bakpao, ayo makan!" serunya. Geandra lalu menolehkan kepalanya. Bibirnya tersenyum. Gadis itu lalu duduk di pinggir tempat tidurnya, tepat di sebelah Annora yang tengah memakan bagiannya.

"Tumben bawa makanan," ucap Geandra.

"Laper. Lo nggak mau?" Tangan Annora nyaris saja merebut kembali bakpao yang ada di tangan Geandra, untung saja gadis itu dengan cepat bergerak menjauh.

"Lo nggak ikhlas, ya?"

Annora terkekeh kala mendapati saudaranya itu dengan cepat menggigit bagiannya. Seolah takut jika tangan milik Annora akan bergerak merebut.

"Ra, gue mau curhat," lirihnya setelah menyelesaikan kunyahannya.

"Cerita aja, telinga gue masih nempel, kok."

"Gue ditembak sama cowok."

Annora menghentikan kunyahannya. Ia lalu menoleh ke arah Geandra. Menatapnya lamat-lamat seolah memastikan apa yang rungunya tangkap itu benar.

"Serius? Terus-terus?" tanya Annora dengan nada semangatnya.

"Ya, nggak terus-terus."

"Lo terima?!"

Geandra menggelengkan kepalanya. Ia lalu menghembuskan napasnya.

"Gue bilang butuh waktu," lirihnya.

"Lo nggak suka orangnya?" tanya Annora. Nada bicaranya sudah tidak bersemangat.

"Gue suka, banget. Tapi, gue nggak tau, Ra." Geandra lalu menaruh sisa bakpaonya. Gadis itu lalu memilih menutup wajahnya pada bantal. "Bodoh banget, kan?"

"Apa yang buat lo ragu, Ge?"

"Gue...belom pernah pacaran. Gue takut kalo dipikir terlalu gampang didapetin," jawabnya. Suaranya sedikit samar, teredam oleh bantal. "Gue takut dia cuma penasaran doang."

"Emang tingkahnya jelek, ya?" Geandra sedikit menggelengkan kepalanya. "Terus? Kenapa lo bisa mikir gitu?"

Geandra terdiam atas pertanyaan saudaranya. Gadis itu lalu bangkit dan menghadap ke arah Annora. Tangannya dengan cepat bergerak menggenggam tangan sang saudara yang masih memegang bakpaonya.

"Kalo misal dia macem-macem, lo mau kan marahin dia juga?" tanya Geandra penuh harap.

"Gea..." ucap Annora. Gadis itu melepas genggaman tangan saudaranya dengan perlahan.

"Pertama, nggak ada yang tahu isi hati orang, jangan mikir jelek cuma karena lo takut," ucapnya. "Terus, yang jalanin hubungan ini kan kalian berdua. Walaupun gue nggak tau orangnya, tapi kalo lo emang yakin, jalanin. Kalo masih ada ragu, jangan. Kasian lo, kasian dianya juga."

Geandra kembali bungkam. Otaknya memikirkan apa yang diucapkan oleh gadis yang hanya selisih tiga bulan dengannya itu.

"Lo ketemu sama dia di mana?" tanya Annora dengan nada meledeknya.

"Gue mau lanjut ngelukis, jangan ganggu." Geandra seakan ingin kabur. Gadis itu kembali duduk di depan kanvasnya. Namun netranya sesekali melirik ke arah Annora yang masih setia melemparkan tatapan meledek itu ke arahnya.

 Namun netranya sesekali melirik ke arah Annora yang masih setia melemparkan tatapan meledek itu ke arahnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Whisper of the Silent Hearts [Completed]Where stories live. Discover now