42. Dumpstruck? •

Mulai dari awal
                                    

"Nak, bagaimana kita? Ini sungguh keterlaluan! Di mana Dion! Dimana! Akan kucabik-cabik dia kalau bertemu."

"Ayo, Bu. Kau memang harus bertemu dengannya."

Sesaat pintu mobil itu terbuka, tiba-tiba saja Lina dan Diandra pun bersimpuh tepat di hadapan Revan sambil menangis sejadi-jadinya. Revan yang lantas tak tega pun langsung merengkuh bahu keduanya sembari mencoba menenangkannya, "Tidak apa-apa, kalian tak perlu merasa bersalah. Kalian segera masuk mobilku saja. Kita ke kantor polisi sekarang untuk bertemu dengan Dion."

KANTOR POLISI

Tidak ada yang menarik dari tempat ini, terlebih bagi siapapun yang berani bersikap kriminal tentunya ini adalah semacam neraka bagi mereka. Dion, salah satu karyawan yang memang sudah sangat lama bekerja dengan bos nya itu malah diduga menjadi tersangka atas pembunuhan orang tua pemuda itu. Miris, bukan? Kejadian yang mana bermula karena atas dasar balas dendam yang tak terbalaskan berujung kerugian dan yang terpenting dengan lenyapnya nyawa dua orang manusia yang bahkan sama sekali tak bersalah.

Plakkk

Saat itu juga wajah Dion ditampar oleh Lina. Wanita paruh baya itu lantas menatap wajah anaknya dengan tatapan tajamnya tak mengira jika sikapnya itu sudah sangat kelewatan.

"Kenapa kau lakukan hal ini, hah? Kenapa!"

"Aku tidak rela kalau ayah dibunuh oleh keluarga John, Bu," ucapnya sambil tertunduk tak berani menatap mata ibunya itu.

"Dion! Sudah, Nak. Kau tahu, kan? Revan itu sangat baik dengan kita? Ibu tak peduli siapa yang kau bunuh, tapi yang namanya niat jahat pasti akan menyebabkan malapetaka."

"Maafkan aku, Bu. Aku tak sengaja membunuhnya. Tapi tak apa ini konsekuensiku, pada intinya aku sudah melenyapkan nyawa manusia."

"Ibu pergi dulu. Kau ini sangat memalukan, Dion! ibu kecewa denganmu!" Sementara Diandra pun hanya bisa menatap Dion dengan perasaan sedihnya. Jadi, selama ini ia tak begitu jauh dengan kakaknya? Tapi kenapa harus dalam keadaan yang sangat tak mengenakkan seperti ini? Ia pun hanya bisa diam tak lupa sambil mengusap cairan bening yang kian tak bisa terbendung dari sudut matanya.

"Pak Rev, maafkan kami," cicit Diandra pelan, kemudian beranjak berdiri dari kursinya dan keluar dari ruangan itu.

"Diandra!" teriak Genda mencoba mengejar Diandra.

"Tak apa, yang salah Dion bukan adik-adiknya. Akan kupastikan dia baik-baik saja dan kau!" sambil menatap tajam Kayla.

"Biarkan, Gen. Kita pulang saja," ujar Revan datar kemudian menarik tangan Genda dan juga menyusul keluar dari ruangan itu. Dan tinggal lah Dion di sana sendirian dengan masih wajah yang tertunduk dan air mata yang membanjiri wajahnya. Salah satu polisi di sana juga mengisyaratkan pemuda itu untuk kembali ke dalam ruangan bertembok kan besi-besi panjang yang tertancap di salah satu sisi ruang tersebut.

"Rev, kau tahu ini sudah dari lama?"

"Ya, bahkan awal mula paman, bibi, kakek, dan nenekku merencanakan ingin membunuh almarhum ilham."

"Kenapa baru sekarang?"

"Aku hanya ingin mendapatkan bukti lain. Meskipun aku tak yakin, tapi nyatanya memang benar sikap mereka tak berubah dan semakin ganas dan memunculkan beberapa kasus kriminal baru. Jadi, dengan adanya kasus yang terbaru, itu bisa dijadikan bukti utama supaya kejadian pembunuhan yang lain terbongkar."

"Kau lelah?"

"Iya. Tapi bagaimana lagi, namanya juga hidup harus selalu dijalani."

"Terus bagaimana nasib bu Lina dan Diandra?"

"Tenang saja, aku tak sekejam itu."

Sementara di Vanrevco.

"Di mana mereka? pacaran? Oh, bagus. Sekarang aku jadi kesepian di sini."

"Rio." Itu Friska yang memanggil nama pemuda berumur 23 tahun itu.

"Kau tak ke apartemen? Menunggu siapa?"

Rio POV

Aku sebenarnya sedang mencoba memahami perasaanku, tapi jujur dari dalam lubuk hatiku sama sekali tak menyukai gadis di depanku ini. 

Sore itu hujan begitu deras hingga banyak yang pulang terlambat dari sekolah. Aku lantas mencari-cari ukuleleku satu-satunya yang entah hilang ke mana. Hari terakhir dari kegiatan MOS memang sangat melelahkan membuatku ingin sekali merebahkan badanku yang tentunya tak enak sama sekali. Bahkan, salah satu kakak kelas yang dulunya jadi osis yaitu Friska senantiasa membully-ku habis-habis an dan membuatku ingin sekali menyumpahinya tapi aku memakluminya dengan alasan adik kelas harus menurut dengan senior. Di saat kami berdebat, di situ lah  kedatangan seseorang yang menegur sikap nakalnya itu yang mana tak lain dan tak bukan adalah Bang Revan. Nah, setelah kami bertiga debat, ah, lebih tepatnya si Friska dan bang Revan datanglah di sana Genda yang mana menemukan ukulele milikku itu.

Hufth, aku pun sedikit lega. 

Terima kasih, Genda.

Sialnya, entah kenapa bibirku terasa begitu kelu hanya untuk berucap padanya dengan frase singkat nan bermakna itu?

Aku tidak bodoh, bahkan, kulihat John juga tengah melihat pertengkaran kami dari balik gudang di atap sekolah SMA dulu. Aku rasa, sejak hari itu John juga jatuh cinta pada Genda. Oke, jika difokuskan lebih dalam pun tak hanya dia saja yang jatuh cinta, melainkan juga sorot mata Genda yang begitu terpesona akan kehadiran bang Revan di sana. 

Helaan napas berat pun kembali terulang dari rongga mulutku.

Jadi, apakah ini alasan dia hanya menganggapku sebagai teman dan juga menolak cinta dari John sebelumnya? Apakah ini yang membuat Genda seperti tak nyaman saat berpacaran dengan John dan hanya bermain-main dengannya? 

Pertanyaanku satu, ada apa dengan Revan hingga membuat gadis itu jatuh hati padanya?

Rio POV end.

TBC

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang