15. Where We Started •

688 129 330
                                    

Di mana Kita Memulai

"Hidup terkadang seperti filosofi bongkahan gunung es di lautan (an iceberg). Orang lain tahu hanya bagian pucuknya saja. Lantas, bagian terdalamnya bagaimana? Benar, tentunya tidak bisa terungkap begitu saja! Sulit sekali, layaknya menyelam ke dalam hati seseorang. Perlu digali dengan pengalaman, kesungguhan, dan ketulusan."

Era 90-an

Bukan kasih sayang, juga bukan setidaknya rasa iba. Yang ada hanya kebencian yang tertanam. Reyhan selalu merasakan perlakuan tidak adil dari ayah dan ibunya. Jerih payahnya tidak pernah dihargai sedikitpun. Ia benar-benar tersiksa tinggal dalam keluarga yang memiliki sikap gengsi yang tinggi. Jadi, singkat cerita dalam kehidupan Reyhan itu terdapat masing-masing sanak kerabat yang mana saudara dari pihak ayahnya memiliki kekayaan yang cukup melimpah, entah itu hasil pertanian, usaha makanan, dan lain sebagainya. Tentunya, mereka sangat sukses dan pantas jika dibilang sebagai para keluarga sultan. Namun, hal ini tidak sinkron dengan keluarga Reyhan yang mana tidak memiliki kelebihan itu. Hal demikian pun yang membuat orang tuanya Reyhan menghalalkan segala cara supaya terlihat seperti orang kaya sebagaimana kerabat mereka yang tadi. Tidak lain dan tidak bukan adalah dengan cara berhutang.

Haha, apakah manusia harus sempurna supaya diperlakukan dengan baik?

Keputusan Reyhan untuk menikah muda bukan tanpa alasan. Hidupnya seperti hancur kala itu. Ia tidak bisa memilih kebahagiaannya untuk dia sendiri. Hingga sampailah ia memikirkan untuk menikah di usia muda. Ia rasa dengan menikah ia kan baik-baik saja. Ia hanya ingin bahagia menggunakan jalur pernikahan.

Salah, keputusan itu lah yang mana sekarang membawanya pada rasa yang teramat sakit.

Di samping ia membina rumah tangganya, ia juga bertanggung jawab untuk tetap mengayomi adiknya yang harus melanjutkan studinya di tingkat universitas dan membayar hutang orang tuanya tadi.

Semakin mengganjal dan Reyhan takut kehilangan Anggita. Orang tuanya juga tak segan mengolok-olok Anggita karena wanita itu dikira tak pantas menjadi bagian dari anggota keluarganya. Sungguh, pikiran Reyhan kalang kabut, ia takut jika Anggita akan berubah pikiran dan meninggalkannya. Reyhan sungguh malu, keluarganya yang begitu gengsi padahal tak punya apa-apa malah menolak wanita sebaik Anggita.

Tiga bulan berlalu

"Sepertinya aku mengandung anakmu, Mas," ucap Anggita lirih yang kini duduk di pinggiran kasurnya.

"Benarkah?" Reyhan yang baru saja mandi karena mau berjualan pun seketika menghambur istrinya.

"Iya, kemarin aku ke dokter, pas kamu lagi jualan hehe," ungkap wanita muda itu.

"Terimakasih sayang," sambil mengecup punggung tangan isterinya.

"Semoga, ia akan menjadi anak yang baik dan berbakti kepada orang tua," lanjut Reyhan kemudian mengelus perut istrinya yang masih rata.

"Kau harus banyak istirahat," pinta Reyhan. Namun, Anggita malah memalingkan wajahnya.

"Kau marah?" heran Reyhan.

"Tidak apa-apa," jawabnya singkat.
Reyhan tahu, pasti ada sesuatu, bisa dilihat dari reaksi istrinya yang barusan.
__

"Anggita! Lihatlah! kenapa kau hanya tidur saja. kau harus bersih-bersih rumah!" perintah sang mertuanya itu tidak memedulikan menantunya sedang mengandung atau tidak.

"Ba-baik, bu..." jawab Anggita dengan nada yang parau. Wanita yang sedang hamil muda itu lantas beranjak dari tidurnya dengan tertatih. Kepalanya juga pusing serta perutnya yang terasa mual karena 'morning sickness.' Siapa yang peduli? Bahkan, ia yang ngidam ingin makan sate pun tidak bisa terkabulkan.

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Where stories live. Discover now