22. What If? •

113 10 0
                                    

Bagaimana Jika?

"Aku bisa sendiri," jawab Genda yang mana akan keluar dari mobil Revan dan posisi keduanya kini berada di samping gerbang rumah pemuda itu. Gadis itu hanya merasa berlebihan jika menyuruh, ah bukan menyuruh lebih tepatnya memperbolehkan bosnya itu untuk membopongnya lagi. Sementara Revan hanya diam tanpa sepatah kata, dan menatap gadis itu datar.

"Kau sakit?" tanya Genda memastikan dan Revan pun keluar dari mobilnya dengan tubuh yang agak lemas. Wajah dan bibir pemuda itu pun nampak pucat pasi sekaligus dingin seperti ditabur oleh bedak bayi.

Revan pun hanya bisa menggeleng pelan.

"Kau berlebihan, aku hanya karyawanmu. Tapi ... aku berterima kasih, kau sudah menyelamatkanku." 

Brukkk,

"Rev?" Genda lantas terperanjat pelan karena Revan tiba-tiba memeluk dan menelusupkan kepalanya di ceruk lehernya.

"Shhh, badanmu panas!" khawatir Genda.

"Aku sakit karenamu, Gen." Dan di akhir katanya pun ia tersenyum sekilas.

"Ka-kau kenapa? Aku? Aku membuatmu sakit?" Genda yang melihat bahasa tubuh Revan yang memegang dadanya pun hanya bisa bertanya-tanya tak mengerti. Ia pun takut jika bos nya terkena serangan jantung di umurnya yang masih muda itu.

Tak ada jawaban.

Telapak tangannya yang kanan itu pun lantas beralih memegang bagian tengkuk gadis itu, sementara yang kiri mencoba menangkup pipinya. Gadis itu tak bodoh sama sekali, ia tahu apa yang akan dilakukan Revan padanya.

"Ak...."  

Belum selesai Genda melanjutkan kalimatnya, bibirnya itu pun sekarang sudah bertautan dengan milik pemuda itu— ya, lebih tepatnya Revan kini benar-benar menciumnya. Ia pun merasakan darahnya seolah berdesir, kakinya serasa layu, denyut nadinya yang bergerak naik turun dengan begitu cepat. Matanya secara otomatis pun terpejam di sela ciuman itu. Waktu di sana pun seperti berhenti sejenak, Revan lantas semakin mengeratkan pelukannya dan semakin memperdalam ciumannya dengan lembut.

"Emph ....,"

Genda tak bisa bohong sekarang, ia juga seperti tak asing dengan aroma tubuh Revan. Ia merasa jika pernah menghirup aroma ini sebelumnya. Semakin dalam, Revan pun lantas mengeratkan pelukannya pada gadis itu dan entah sihir apa yang mengenai Genda, gadis itu pun lantas membalas ciuman itu dan ikut memejamkan matanya.

Hawa malam itu cukup dingin, tapi suhu tubuh mereka bukannya turun tetapi naik. Karena kehabisan napas, Revan lantas menghentikannya sejenak, dan Genda juga melakukan hal yang sama pula. Pikirannya seperti menerawang jauh kemana tapi nyatanya memang sekarang ia berciuman dengan pemuda itu.

Dia ... menciumku?

Demi apapun, ini pertama kalinya untuk Genda.

Revan pun selanjutnya menolah ke sekeliling dan menyadari ternyata di depan pintu sana sudah ada Ria, bibi Ela, dan pak Satpam. Suasana yang semula nampak biasa saja berubah menjadi canggung, dan kini keduanya seperti tikus yang ketahuan mencuri keju.

"Non Genda masuk saja, saya sudah siapkan kamar untuk menginap di sini. Tak apa," sahut bibi Ela mencoba menyadarkan Genda yang sedari tadi mematung akibat perbuatan Revan. Genda tak bisa menolak, ia juga merasa jika badannya terasa pegal-pegal dan ... entah apa, ia merasa jika menginap sekali saja di rumah itu bukan ide yang buruk, bukan?

Kamar Revan.

"Ah, sial. Mengapa aku menciumnya! Tapi tadi .... " Revan lantas mengusak rambutnya kasar.

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang