32. Scariest Feeling •

58 3 0
                                    

Perasaan Paling Menakutkan

Pun di saat yang bersamaan ia semakin kesal dengan bibi, paman, nenek, dan kakeknya itu. Ia lantas seperti membenci semuanya sejak hari itu. Jika ingin mengucapkan sepatah kalimat tentang cinta, mungkin Revan kecil akan kebingungan karena selama ini yang ia terima hanyalah ungkapan berkonotasi negatif seperti; penyangkalan, penolakan, pembatasan, keraguan, pengabaian, dan penghindaran.

"Kenapa nilaimu turun!" kesal Anggita dan ia sangat marah akan perubahan hasil nilai anaknya itu di sekolahan.

"Hiks, maaf, Bu. Revan akan belajar lagi."

"Sudah ibu bilang, kan. Kau harus jadi anak yang rajin. Kau tak perlu memikirkan ibu atau ayah, yang penting kau harus rajin belajar supaya tidak bernasib seperti kami. Ibu kecewa denganmu, Van."

Deggg....

Ibu dan ayahmu mungkin tak bisa memberikanmu les atau apapun itu seperti teman-temanmu, tetapi yang terpenting kamu harus bersyukur karena bisa sekolah. Peringkat memang bukan segalanya, Nak, tetapi nilai yang bagus akan membuatmu bahagia. Tenang saja, ibu dan ayah akan menyekolahkanmu bagaimanapun caranya." Terlihat oleh Revan kalau ibunya kini menangis di hadapan dirinya.

"Maaf, Revan seharusnya fokus." Revan pun kini meneteskan air matanya dengan posisi wajahnya yang menunduk. Revan pun hanya bisa takut saat ibunya sudah murka dengan dirinya.

"Kita bukan orang kaya, Nak. Lihat, ayahmu juga tak pernah pulang, dan ibu hanya punya kamu di sini. Hanya punya kamu. Makanya kau harus jadi anak yang kuat dan mampu berdiri sendiri tanpa mengandalkan bantuan orang lain! jangan mudah percaya pada orang lain. Ini saran ibu, semoga kau memahami," tukas Anggita kemudian berlalu ke luar mengambil beberapa jemuran di depan rumah karena memang sudah sore. Revan yang diperlakukan dengan demikian pun kemudian hanya bisa menunduk dan langsung diam seharian memikirkan segalanya.

"Baik, Bu."

"Kau harus makan dan rajin belajar."

"Iya," jawab Revan singkat. Pikirannya pun berkecamuk karena ia mungkin akan semakin kesepian karena segalanya dituntut sempurna sementara dirinya  juga kewalahan memahami segalanya.

"Kalau kata bu guru, anak pertama akan selalu mengalah. Jadi, aku mungkin akan seperti itu," gumam Revan kecil dan ia lantas melanjutkan aktivitasnya itu. Tanpa disadari, John pun mendengar percakapan Anggita dengan Revan.

"Hiks, mengapa ayah dan ibu tidak seperti paman dan bibi?" Ya, begitulah yang ada di pikiran John. Karena, setiap kali John mendapatkan nilai rendah pun orang tuanya tetap memberikan hadiah, tapi selama ini yang ia lihat Revan tak pernah mendapatkan itu meskipun ia lebih berprestasi darinya." Apa selama ini ayah dan ibu meremehkan kemampuanku?" batin John yang mana kini beringsut dari sana dan menemui ibunya entah apa yang ia katakan pada wanita itu.

Flashback off

"Aku melihatmu saat itu, John. Sejak hari itu kau juga membenciku, bukan? Ingat John! Selama ini aku hidup dalam kesendirian, meskipun aku nampak sempurna di matamu tapi nyatanya tidak. Tidak sama sekali, aku kesepian setiap saat, aku kesepian! Di saat semua teman-temanku punya keluarga harmonis tetapi aku tidak sama sekali. Kalau kau ingin berlomba tentang pencapain prestasi kita, kita bisa melakukannya bersama–sama tanpa memandang kita anak siapa. Tuhan itu adil!" timpal Revan yang mana membuat John semakin kesal padanya.

"Hentikan, Van!" John pun menghela napas panjang sambil memejamkan matanya.

"Beraninya kau mengatakan hal itu pada
anakku!" getak Irza yang mana malah membuat John seketika menggeleng heran.

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Where stories live. Discover now