24. Too Young I•

148 10 1
                                    

Terlalu Muda I

20.34

"Mau ke mana, Gen?" cegat Rio yang mana melihat Genda sudah sangat rapih dan keluar dari pintu unit kamar apartemennya itu.

"A-aku mau keluar sebentar."

"Ikut boleh?"

"Tidak, aku hanya ingin sendiri."

"Tapi, Gen."

"Aku pergi dulu, hujan sudah reda."

Hujan seharian dari pagi buta seringkali membuat sejumlah aktivitas orang terganggu; rasa malas, kesal, kecewa, dan tak berdaya seringkali menjadi tantangan setelahnya. Banyak dari mereka yang menunda atau bahkan menerjang meskipun basah karena demi mencapai suatu hal. Bayangkan, berjuta-juta orang mendoakan supaya datang hujan dan satu saja yang mendoakan supaya reda karena ia membenci hujan, begitupun sebaliknya. Lantas, apakah dia akan membenci Tuhannya hanya karena hujan membawa bencana baginya? Apakah Tuhan setega itu? Tidak, bukan?

"Hufthh, aku nampak egois. Padahal hujan juga anugerah buat orang lain. Lantas, mengapa aku berharap bahwasanya aku menunggu hujan mereda? Kurasa itu hanya perlu diterjang saja."

Saat akan menaiki bus, lagi-lagi ia merasa seperti dejavu. Ia pun seperti melihat bayangan Revan yang menegurnya kala itu dan mengatai dirinya sebagai pencuri. Ia pun lantas tersenyum miring, “Sebenarnya aku dari dulu agak meragukan kalau Revan itu punya ingatan yang bagus, atau memang ia pura-pura bodoh saja?” gumam Genda sembari menyenderkan bahunya di kaca bus.

Setelah hampir 15 menit mengendarai bus, ia pun kemudian perlahan menuju ke minimarket yang lokasinya tidak jauh dari halte.

“Hufthh,” hembus napasnya pelan sesekali menyeruput kopinya yang baru dibelinya itu. Matanya juga mengedar pelan menatap orang yang berlalu lalang menyusuri jalanan. Ia bahkan sampai menyadari bahwasanya tepat di salah satu butik ia melihat mantan pacarnya, John, yang sedang memilah setelan tuxedo. Jelas sekali karena butik itu nampak begitu menonjol di banding dengan toko-toko di sebelahnya—tercetak ornamen bangunannya yang full kaca dan lampunya yang memancar begitu terang. Tapi sialnya, gadis itu pun seolah tenggelam sesaat mengingat bagaimana mantan pacarnya itu akan resmi menjadi milik orang lain.

“Berhentilah berpikir macam-macam, Gen, ini sudah selesai. Dan … sebaiknya kau fokus pada ini,” sarannya pada dirinya sendiri. Gadis itu pun kini beralih mengulas senyum, menatap brosur kampus yang ia idam-idamkan dari dahulu.

“KAU! sahut Revan dari kejauhan.

"Bisa-bisanya, shh." Genda pun menyadari langkah cepat Revan yang menghampirinya. Ia nampak begitu tampan dengan jaket mantel hitamnya yang bertengger di tubuhnya itu

“Kenapa tak bisa diam saja di apartemen? Ah, maksudku kau ini kenapa pergi tanpa mengajakku?” katanya setelah berhadapan dengan Genda yang beralih di kursi depan minimarket itu. Entah dari mana pemuda itu tahu kalau Genda di sana. 

“Hooo, kau juga dari mana?" gumam Genda seraya memicing tajam ke wajah pemuda itu. Ia pun kembali teringat bagaimana Revan menciumnya kala itu dan ya ... semuanya berputar terus menerus seolah sedang membangunkan realitanya.

"Oh, aku? Aku gak ngapa-ngapain."

"Nahkan, pura-pura tolol lagi."

“Aku lagi ingin sendiri, kau menggangguku tahu?” dengus Genda  sambari memutar bola matanya malas.

“Shh, ya sudah aku pergi,” gerutu Revan yang mana membuat gadis itu yang melihatnya seperti ingin menampolnya tepat di wajah tampannya itu.

Ck, apa dulu ia pernah terbentur sesuatu yang mana membuat dia jadi pikun seperti ini?" batin Genda sambil menghabiskan ramen yang sedang ia makan itu. Menatap bergantian pemuda itu dan jalanan di sana.

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Where stories live. Discover now