40. There's No Shelter •

24 4 0
                                    

Tak ada Tempat Berteduh

2 Maret, 2015.

Revan POV.

Nasib untuk anak SMA kelas 12 memang lagi sibuk-sibuknya, entah itu untuk mempersiapkan ujian, pendaftaran universitas, dan apapun itu yang mana berkaitan dengan kebutuhan masa depan. Kala itu aku memang baru saja mengikuti ujian sekolah, dan kebetulan pulang lebih awal dibanding dengan biasanya. Sedari tadi, aku sungguh merasa tak tenang, seolah ada saja yang menganggu pikiranku.

"Hufth, kenapa tak enak begini, ya?"

Saat pulang, aku lantas menekan pedal sepedaku dengan tempo yang sangat cepat. Aku juga hampir saja terjatuh karena menerabas beberapa jalanan yang berlubang di sana. Nafasku pun memburu, dan benar saja dugaanku yang mana dilihat dari kejauhan sudah banyak polisi yang berdatangan ke rumahku, dan tak lupa dipasang oleh garis polisi yang berwarna kuning itu. Wajahku pun seketika nampak panik dan langsung menghambur ke beberapa tetangga yang berkerumun di sana.

Sesuatu pun lantas terlintas di kepalaku di mana tak seorang pun di rumah yang mau mengurus ayah dan ibuku yang sudah dinyatakan meninggal. Aku sungguh tak menduga, padahal tadi pagi aku masih bersalaman dengan ayah dan ibuku sewaktu mau berangkat ke sekolah. Bagiku, ini begitu mendadak dan ... apa benar jika orang tuaku ini sengaja bunuh diri atau ... dibunuh?

Pikiranku pun sangat berkecamuk, bahwasanya aku merasa jika orang tuaku tak mungkin bunuh diri. Buktinya, ada jenis luka sayatan yang sangat dalam bukan luka tali di leher orang tuaku. Oh, satu lagi, polisi juga menemukan serbuk bunga wolfsbane—bunga paling beracun di dunia—yang tercecer di nakas tempat tidur orang tuaku (Reyhan dan Anggita). Aku tidak mengerti, kalau dipikir-pikir memang tak mungkin jika kakek, nenek, bibi, dan pamanku yang melakukannya. Tapi, kenapa mereka juga seperti bahagia ketika melihat orang tuaku yang meninggal?

Aku sempat protes dengan polisi, tapi bagaimana pun pula aku tak punya bukti apapun. Sebenarnya, aku ingin dokter melakukan otopsi, tapi kuterlalu kasihan dengan mereka. Aku tidak rela jika jasad orang tuaku disayat-sayat, diambil organnya hanya untuk memastikan kematian mereka yang konyol ini. Ya, Tuhan, aku sungguh merasa terpuruk, dan mungkin satu jalan yang harus kuterima adalah mengikhlaskan. Dan ... sejak kematian orang tuaku, aku pun memilih pergi ke rumah kakek Harry bersama Ria.

Ya, sebuah pikulan yang sangat berat untuk umurku yang masih belia seperti ini. Yang ada di pikiranku apakah mereka bunuh diri terus dibunuh, atau memang murni bunuh diri? atau memang dibunuh saja tapi pelaku membuat skenario seolah tindakan bunuh diri? Kenapa ini terjadi? kalau bukan kakek, nenek, paman dan bibi yang membunuh mereka terus siapa?

Jangan kira sehabis ini aku baik-baik saja. Nyatanya, aku semakin menderita di kala aku juga harus mengejar mimpiku. Aku benar-benar ingin mati juga, tapi lagi-lagi aku juga masih punya adikku, dan ... mungkin diriku sendiri yang juga jangan sampai terbunuh hanya karena cobaan yang yang sebenarnya akan hilang di beberapa waktu ke depan. Miris sekali, aku pun jadi sulit mempercayai siapapun, aku juga merasa harus melakukan segalanya sendiri, karena setiap orang pasti akan meninggalkanku. Aku merasa tak bisa jika harus seperti ini terus.

Memasuki dunia perkuliahan aku memang membuka usaha makanan dan menginjak di hari kelulusan aku pun bisa membangun tempat kursus dan juga restoran. Restoran itu pun kuberi nama Vanrevco, sangat cocok dengan namaku, bukan? Aku sebenarnya agak bingung karena belum ada karyawan yang bisa bekerja di sini hingga suatu ketika aku melihat seseorang yang senantiasa mau dan sukarela bekerja di tempatku meskipun dia tak dibayar dulu hingga restoranku benar-benar sukses. Aku yang merasa ini semacam rezeki yang tak terduga pun hanya bisa bersyukur tak henti-hentinya.

Wajahnya nampak tak asing, dia juga memiliki postur tubuh yang tinggi. Bagiku, lebih tinggi dia sih dibanding aku. Di sini, aku memang tidak membebaninya untuk bekerja yang aneh-aneh, aku hanya meminta untuk menjadi pelayan dan juga yang mendata bahan-bahan makanan dari distributor.

"Aku sangat berterima kasih padamu, Bang."

"Tak apa, aku yang harusnya berterima kasih, bukannya kamu."

Ya, aku pun lantas mengernyit dengan kalimatnya itu, tapi aku sama sekali tak memusingkannya. Kami hanya bekerja dua orang, sementara kakek Harry juga sering mampir bersama Ria. Satu lagi,  jujur aku merasa sedikit lebih hidup dengan ini semua, meskipun aku juga harus mengimbangi pekerjaanku ini dengan tugas kuliah.

Revan POV end.

Revan memang memutuskan untuk pindah kota demi untuk melanjutkan kuliahnya dan sebagaimana dia membangun usaha restorannya di sana. Ya, anggap saja lokasinya juga tak begitu jauh dengan rumah kakek dari pihak almarhum ibunya, si Harry. Kematian orang tuanya yang secara mendadak pun tentunya sangat meninggalkan bekas trauma bagi Revan. 

Waktu pun berlalu, hingga Revan bisa mengembangkan usaha restorannya dan melakukan setidaknya renovasi di berbagai sudut tempat restorannya itu. Ia juga kedatangan seorang mahasiswa bernama Friska dan tanpa basa-basi pun Revan memberikan posisi chef pada gadis itu setelah gadis itu merampungkan studinya. Sangat beruntung, bukan? Revan menyadari, mencari pekerjaan bukan lah hal yang mudah juga untuk saat ini.

"Kau?" Rio, salah satu karyawan di restoran Revan itu pun tertegun saat mandapati Friska, yang juga bersekolah di SMA yang sama kini bekerja di tempat kerjanya itu.

"Rio?" gumam gadis itu. Pipinya pun seketika memerah dan berjalan cepat ke arah dapur sementara Rio yang hanya bisa mematung tanpa ekspresi.

"Kau kenal dengan Friska? Sebentar, aku punya sekelebat memori tentang kalian. Ohhh, ternyata dia Friska yang pernah membulimu itu, kan? Terus ...." Tapi Revan seketika terdiam, mengingat ada seorang gadis cantik tak lupa dengan senyum manisnya yang juga membela Rio.

"Terus, kenapa, Bang?" tanya Rio tapi dengan wajah masamnya.

"Tak apa. Ya, sudah kau lanjutkan dulu pekerjaanmu. Ngomong-omong aku juga sedang sibuk sama lembaga kursus yang sedang kugarap sekarang. Jadi, aku juga bakal jarang ke Vanrevco."

"Oke, Bang." 

"Kurasa aku masih menyimpan payung itu."

Tanpa sepengetahuan Revan, gerak-geriknya pun nampak diperhatikan oleh seseorang dari kejauhan.

"Rev, kau ingin bertemu dengannya? Brosur lowongan kerja dan dua kucing ini akan membantuku juga. Berterima kasih lah padaku, karena kau akan bertemu pujaan hatimu esok atau lusa. Aku tahu kau tak akan menolak kedatangannya. Kalau pun cara ini tidak berhasil, aku akan melakukan alternatif lainnya sampai bisa. Tapi satu hal, kau juga harus menyelamatkanku dengan tidak membenciku. Maafkan aku."

TBC

Ya, begitu lah manusia berlagak seolah penentu keseluruhan hidupnya ;)

Ah, tapi setidaknya berusaha terlebih dahulu.

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Where stories live. Discover now