38. Bold Decision •

21 4 0
                                    

Keputusan yang Berani 

"Ya, ini kesempatanku untuk bertemu ayah. Cih, apa si Kayla itu gila? berlagak seolah ayahku adalah ayahnya? Dasar tak tahu malu," umpat Genda di sela perjalanannya menggunakan bus itu.

"Hufth, tapi dia sudah meminta maaf," timpalnya pelan tak mengerti kenapa ia jadi sering menahan amarah dan sulit memaafkan orang lain.

"Hufth, Revan, aku juga tak mengerti kenapa bisa bertemu lagi dengannya setelah sekian lama. Sial, hanya dengan duduk di bus pun bisa mengingatkanku padanya."

17 Desember, 2007

"Bu, ayah ke mana?" tanya Revan kecil, usianya pun baru menginjak 10 tahun.

"Ayahmu sedang ada urusan penting di rumah sebelah. Katanya, mau dipekerjakan oleh seseorang untuk membangun ... ah, apa ya? ibu lupa. Intinya, dia tuh seorang penulis."

"Woah, aku rasa itu perpustakaan, kan kalau penulis suka ya sama itu."

"Hmm, mungkin saja. Ya, sudah kau berangkat sekolah dulu, ibu mau masak di dapur untuk keluarga sini."

"Apa ibu capek? Maaf, kalau Revan bandel."

"Tak apa, sudah sana belajar yang rajin."

"Ehem, Anggita benar ya suamimu itu akan mendapatkan pekerjaaan? Di mana tuh?" Tiba-tiba saja seseorang nyeletuk sesaat Revan keluar dari rumah itu.

"Gak tahu, Mbak."

"Jangan lupa bayar hutang!"

Saat itu juga Anggita merasa kesal setengh mati dengan Silfi. Ia juga heran kenapa suaminya itu tidak bekerja dan hanya mengandalkan kakanya, alias Reyhan.

"Kejam. Itu kan hutang kalian, kenapa kami yang repot!" Saat itu juga Anggita kembali ke dapur menyelesaikan kegiatannya yang tertunda tadi. 

"Wah, udah berani nyolot juga, ya! dasar tak tahu diri!" ejek Silfi pada Anggita. 

Malam itu tepat jam 23. 45 Revan pun terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya yang mana lupa tidak mengerjakan PR yang tadi pagi gurunya berikan.

"Kau sedang apa, Nak?" tanya Reyhan mendapati anaknya sedang membuka tas nya dan entah lah nampaknya sedang mengerjakan sesuatu.

"Itu, Yah, Revan lupa tidak mengerjakan PR tadi."

"Jangan terlalu keras, Nak. Maafkan ayah, seharusnya kau tak perlu seperti ini. Seharusnya ayah memberikan les tambahan untukmu."

"Tak apa, aku lebih suka belajar sendiri seperti ini. Sebentar ... apa ayah mendengar sesuatu, itu suara ambulance, ya?"

"Ah, iya. Tengah malam seperti ini ... ya, ampun, apa ada kecelakaan?" bingung Reyhan kemudian ia mencoba membuka pintu depan rumah. Jedarr! Ia pun hanya bisa mematung setelah beberapa orang-orang berbondong-bondong ke salah satu rumah. Samar-samar juga terdengar, "Hei, rumah mewah Ilham terbakar, entah lah aku tak tahu dia dan keluarganya selamat atau tidak!"

"Ilham?" Reyhan yang mendengar hal semacam itu lantas lari dengan terbirit. Berarti ambulance yang tadi tak hentinya berbunyi sedang menuju ke rumah temannya itu? pikirnya. Revan kecil yang juga merasa penasaran akan apa yang ayahnya lakukan pun lantas mengikutinya tak peduli itu waktu tengah malam atau tidak. 

Sesampai Reyhan di sana, ia pun disuguhkan dengan pemandangan rumah temannya itu yang sudah hangus terbakar oleh si jago marah.

"Pak, bagaimana kabar dari korban? Apakah mereka selamat?"

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Where stories live. Discover now