19. Hush •

198 14 21
                                    

Diam Lah

Drtt drtt drtt

"Sebentar, Fris." Revan lantas menjeda percakapannya dengan Friska karena HP-nya bergetar, menandakan ada yang menelponnya.

"Maaf, Bos sebelumnya, apakah saya dan teman- teman bisa bekerja lagi?" ujar salah satu karyawannya yang menelponnya itu. Revan pun lantas menghela napasnya berat, sembari menyampaikan hal yang sekiranya membuat karyawannya itu mengerti.

"Saya seharusnya yang minta maaf karena ini terlalu mendadak. Tapi tenang saja, demi kelancaran saya akan tetap bertanggung jawab dengan memberikan kalian sejumlah uang pesangon. Saya menyesal sebenarnya takut kalian pada pergi. Misal kalian ingin pergi saya tidak keberatan, namun kalau mau masih di sini ya gakpapa," balas Revan mengakhiri sambungan telepon itu.

"Oh, baik, Bos. Nanti saya sampaikan ke yang lain."

Tuttt tutt.

"Hufth, kau harus cepat menyelesaikan
permasalahanmu yang ini, Bang. Semoga karyawan lain memahami meskipun ini terkesan kurang menguntungkan bagi mereka. Kalau aku sih gakpapa, aku masih punya gaji tambahan dari penjualan tanaman-tanaman itu," ucapnya seraya menatap tanaman hias yang dipajang di
depan rumahnya.

"Iya, dah. Tapi ingat ya, aku menyembunyikan ini semua karena aku tak ingin ...," ucapnya menggantung.

"His! Iya, aku tahu. Sana, enyahlah dari sini. Kau menggangguku saja!" ketus Friska sambil menutup pintu rumahnya kasar.

Brakk!

"Si sialan ini!"

***
Ting! tong!

"Oh, Kak Rev. Kukira siapa." Ria pun menyilangkam lengannya menatap kakaknya yang tampan itu.

"Kenapa, Dek?" tanya Revan seraya mengusap pucuk kepala adiknya.

"Hm, aku kesal soalnya tadi para ibu-ibu
komplek yang gosip kalau Kakak itu bangkrut. Kau tahu, Kak?" gerutu gadis itu mengingat hal menyebalkan yang dialaminya tadi.

"Tak apa, biarkan para anjing menggonggong. Kakak mau ke perpus dulu, Dek. Mau ikut gak?" ajak Revan pada Ria mencoba mengalihkan perhatian.

"Yeyyyy! Bertemu kak Genda. Hayuk, siapa sih yang gak mau!!" heboh Ria. Beralih mengambil tas kecilnya kemudian lari ke halaman rumah dan langsung masuk ke mobil kakaknya itu.

"Dek, kapan-kapan kakak mau ganti cat rumah ah. Ck, terlalu cerah, kurang estetik," ujar Revan menyadari warna cat rumahnya yang out of the box itu (tosca).

"Ya, juga sih."

Di dalam mobil pun mereka ngobrol kembali.

"Aku akhir-akhir ini menunggu waktu yang tepat saja."

"Maksudmu?!" bingung Revan karena Ria berujar aneh.

"Berharap saja sih, kau segera menikah
dengannya, Kak." Ria menaikkan alisnya beberapa kali mencoba menggoda kakaknya itu.

"Hiss, kau ini jauh menyebalkan! Dikira, menikah itu gampang apa?" dengus Revan mencoba sambil fokus menyetir.

"Pffttt," ejek Ria sambil menjulurkan lidahnya.

"Sudah, lupakan," kesal Revan.
Ria pun masih dalam mode menggoda kakaknya beberapa kali di dalam mobil itu.

'Cukup aneh memang, padahal kau ini tampan sekaligus jomblo. Tapi, kau itu selalu malu, dan tidak mengakui nilai plus-nya yang satu ini. Lagian, kalau dipikir-pikir, banyak wanita yang ingin bersamamu, Kak. Sungguh, kau ini terlalu datar untuk sekadar bergaul dengan wanita,' heran Ria sambil menatap kakaknya dari samping.

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Where stories live. Discover now