7. Prestige? •

757 225 232
                                    

Gengsi?

"Dududududu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Dududududu...dududuudu." Gadis bernama Genda itu pun bersenandung pelan. Melihat dirinya sendiri di cermin sembari menyisir rambutnya yang sedikit berantakan karena baru bangun.

Tangan kirinya yang tidak memegang sisir pun dengan isengnya meraba laci yang ada di sana. Nihil, ia tidak menemukan uang sepeserpun. Gelisah pun lantas semakin menghinggapi perasaannya. Benar, uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.

"Hufth," desahnya pelan. "Aku rasa kak Revan cuma pura-pura. Aku heran, orang seganteng dia gak punya kekasih begitu?" monolog Genda.

Meoww!!

"Pasti kucing yang waktu itu," tebak Genda menuju ke jendela kamarnya. Matanya pun mengedar pelan dan menangkap dua kucing yang ia temukan sebulan yang lalu sedang asik memakan ikan asin.

"Seharusnya, kau tak makan ini, kucing-kucing manis."

Genda POV:

Aku baru saja bangun tidur kemudian menyisir rambutku perlahan. Kutarik gagang laci dekat nakas, tapi tidak ada apapun di sana. Kubuka dompetku yang buluk, tapi menyisakan uang yang jika dihitung tidaklah banyak.

Namun, yang menjadi pertanyaanku sampai detik ini, mengapa rumah ini selalu mengalirkan air yang tiada henti dan tidak pernah mati lampu? Pikirku, sambil telinga ini yang mendengar gemericik air dari kran. Ini seolah menjadi salah satu misteri yang belum terpecahkan untukku.

Lanjut, aku pun hanya duduk termenung menatap yang ada di luar melalui tembok kaca yang ada di sisi lain kamarku. Cukup tenang, air sungai yang biasa ku seberang nampak terlihat jelas seolah menyalurkan energi yang positif. Burung-burung bersenandung indah sejalan dengan mentari pagi yang tersenyum ramah.

Aku hanya ingin bilang, aku sebenarnya bohong sama kak Revan saat di apartemen. Ya, aku berdusta kalau hujan adalah bencana bagiku. Ya, aku hanya ingin bertemu ayah kala mengingat hujan. Hujan selalu saja membangunkan segala memori tentangnya. Miris saja, mengapa beliau tidak mencoba mencariku? Mau kubilang menyedihkan, tetapi aku rasa aku sudah biasa melewatinya. Aku sudah kebal, seperti ya sudahlah, setidaknya ragaku masih ada. Aku merasa kuat meskipun tak lagi bersamanya.

Lagian, mulai detik ini, aku akan anggap dua kucing ini menjadi temanku. Yaampun, inikah yang dinamakan kesepian sesungguhnya? Atau hanya akunya saja yang masih enggan untuk kenal dengan orang baru karena takut ditinggalkan?

Krukk krukkk krukkk...

Ah, pagi ya. Waktunya makan pastinya, dan aku merasakan lapar yang luar biasa. Dari kemarin malam aku belum mengisi perutku. Sungguh, sebuah ide berlian tiba-tiba meluncur di otakku. Aku pun mencoba mengambil kail untuk mencari ikan di sungai sana. Dengan tekad yang kuat, aku pun segera memakai celana pendek selutut dan kaos oblong warna abu-abu. Aku juga sengaja menguncir rambutku hingga ke atas supaya tidak ribet nantinya.

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Where stories live. Discover now