10. Don't Lie •

671 197 220
                                    

Jangan Berbohong

"18, lilin, dan pisau yang mengirisnya."

"Sialan! mengapa aku bertemu dengan si Kayla itu. Oh, jadi ia kerja di sini? Bareng kak Revan?" umpat Genda seraya menyeka air matanya yang perlahan kering.

"Eh, kakak barusan menangis? Ma-maaf sebelumnya, gelagat kakak seperti bukan laki-laki," cegat salah satu siswa perempuan di sana menghentikan langkah Genda. Tanpa diduga oleh Genda, siswa itu tahu jika ia hanyalah gadis biasa yang tidak dalam kondisi menyamar.

"Hah? B-bagaimana kau?"

"A-aku lihat tadi kakak bareng sama pak Revan," tebak siswa itu.

"Maaf, bagaimana kau bisa tahu kalau aku perempuan?" lanjut Genda memastikan.

"Ahaha, kau cantik, Kak. Bagaimana bisa aku tak menyadari itu," celetuk siswa perempuan itu.

"Ya, sudah. Sepertinya aku harus pergi." Genda pun berlari kecil di koridor sana dan meninggalkan seorang siswa yang tiba-tiba penasaran akan dirinya itu.

"Oh, iya, hati-hati, Kak!" sahut siswa itu.

"Ah, langka sekali. Baru kali ini aku lihat wanita menyamar menjadi pria," geleng siswa perempuan itu.

Lega, Genda sekarang sudah menapakkan dirinya di depan halte. Kakinya sedari tadi mengayun, kemudian berdiri, sedetik selanjutnya mondar-mandir. Entahlah, ia merasa gelisah dan tak enak. Ia juga sudah masa bodoh dengan Revan, toh dia juga bukan siapa-siapanya pemuda itu.

Diam sejenak, ia merasa jika handphone-nya bergetar.

"Pak Ilham nelpon?" heran Genda.

"Apa benar ini dengan nona Genda?" tanya orang di seberang telepon itu.

"Maaf sebelumnya, ini bukan pak Ilham?" tanya Genda pada orang yang ada di seberang telepon.

"Lebih baik kamu ke rumah beliau. Saya biasa melihatmu sama pak Ilham, jadi saya hanya bisa menghubungi kamu."

"Baiklah, ta-tapi ada apa ya, pak?" balas Genda dengan tangannya yang bergetar.

"Langsung saja ke sini, cepat!!" ujar orang itu tak sabar.

"I-iya, pak."

Kebetulan sekali, saat itu juga sebuah bus yang ditunggu Genda muncul. Dalam posisinya yang duduk, kakinya sedari tadi tidak berhenti bergerak menandakan ia sangat gelisah. Digigit juga kukunya dengan matanya yang mengedar ke arah jendela bus dengan perasaan yang sama, alias tidak tenang. Lanjut, Genda kini berhenti di sebuah perpustakaan yang biasa ia kunjungi. Namun, Ilham, pemilik perpustakaan itu benar tidak ada di sana. Tanpa pikir panjang, ia lantas bergegas melewati ke ruas gang. Setelah sampai di halaman rumah Ilham, ia pun segera menerobos masuk ke ruang depan, tengah, hingga ke kamar Ilham yang tidak terkunci itu.

Degg!!

"Pak! Genda pun segera menghambur pada tubuh Ilham. Kondisi Ilham nampak begitu memprihatinkan.

"Beliau mengalami stroke. Sekarang beliau juga sulit untuk berbicara, dan harus memakai kursi roda ini," ujar warga yang menelponnya tadi. Sekedar informasi, orang itu adalah tetangga yang kebetulan tinggal di samping rumah Ilham, ia dan keluargannya juga membawa Ilham ke rumah sakit.

"Iya, Pak. Hikss, terima kasih karena sudah menolong beliau."

"Iya, sama-sama," balas orang itu kemudian melipir sebentar ke ruang tamu karena melihat Genda yang ingin berbicara hal pribadi pada Ilham.

"Hiks, aku tak bisa. Aku tak bisa melihat bapak seperti ini. Ini menyakitkan." Pikiran Genda pun berkecamuk, ia merasa jika Ilham yang selama ini menjadi orang tuanya.

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Where stories live. Discover now