38

621 122 19
                                    

Maghriban dulu ya sebelum baca.

.
.
.

Ara selalu percaya bahwa dia akan mengecap bahagia suatu hari nanti, walau entah kapan itu akan terjadi. Namun, ia juga tidak menilai hidup yang sedang ia jalani sangat buruk. Ara tau masih banyak orang-orang yang bernasib lebih tidak beruntung darinya salah satunya Hyunjin. Ara tak dapat membayangkan jika ia berada di posisi pemuda itu. Terusir, harus tinggal dari satu rumah teman ke rumah teman lainnya. Bukankah itu tak tau malu dan sangat merepotkan?

Sepulang sekolah, tepatnya satu jam yang lalu, gadis itu menyempatkan diri mencari kamar sewa untuk Hyunjin. Ia berjalan kaki hanya beberapa blok tak terlalu jauh dari tempat mereka belajar. Beruntung, Ara dengan mudah mendapatkan kamar sewa dengan fasilitas lumayan lengkap dan harga yang cukup baik. Ia pun membayarnya untuk satu tahun ke depan.

Merasa bahagia dan lega karena telah melakukan satu kebaikan, Ara segera mengabarkan berita tersebut pada Hyunjin dan menyuruh pemuda itu menunggunya di halte bus, untuk menyerahkan kunci kamar.

Ara memasang earphone, menggulirkan layar pada ponselnya dan  memilih lagu berirama riang untuk menemani selagi menunggu Hyunjin. Sebenarnya Ara menginginkan ketenangan setelah kemarin dirundung galau karena kunjungan ke sekolah Bora.

Dia ikut bersenandung lirih, mengikuti lirik pada lagu yang didengarnya itu. Sampai pada suatu titik, di mana ponselnya bergetar dan memperlihatkan pop up pesan, Ara bahkan tidak menyangka bahwa rintangan berikutnya cukup berat dibanding bisik-bisik para orang tua siswa yang iri itu.

Akhir pekan aku membutuhkanmu di rumah utama, ada acara bersama teman-temanku.
Kau bisa datang kan?

Jawab Lim Ara!

“Apa?!” pekik Ara dengan hati mencelus.

Ara bahkan bisa membayangkan bagaimana intonasi angkuh dan mendominasi sang ibu mertua pada pesan masuk itu. Astaga, tengkuknya seketika meremang. Entahlah, aura ibunya Yoongi itu memang tidak main-main, antagonis sekali.

Baik Nyonya Min

Itulah yang segera dijawab sang gadis, bahkan dia masih memanggil wanita paruh baya itu dengan sebutan nyonya saking takutnya.

Ara masih berdiri di halte bus dengan beberapa orang siswa kelas bawah yang tidak mengikuti kelas tambahan. Sudah lima belas menit menunggu, tetapi pemuda itu belum juga menampakkan batang hidungnya, dan lagi-lagi Ara harus mencebik kesal karena pada pesan terakhirnya, Hyunjin mengabarkan sedang mengantre di toilet.

Noona, kau sendirian saja?” Terdengar suara menyapa Ara setelah seseorang menepuk pundaknya pelan. Itu Jisung, yang seharian kemarin selalu mengiriminya pesan, khawatir karena gadis itu tidak masuk sekolah. Oh andai saja Jisung tidak memiliki barisan pemuja yang super posesif, Ara barang kali akan memperlakukan pemuda itu lebih baik, bukannya judes seperti saat ini. Lihat saja, bahkan dua orang siswa kelas bawah yang tadi berdiri di sebelahnya ikut mendelik tak suka karena pemuda itu menyapa sang gadis.

“Mn,” jawab Ara tanpa minat, kenapa juga Jisung harus muncul dan menjadi sasaran kekesalan Ara saat ini. Jisung itu terlalu imut untuk disakiti.

Noona kenapa belum pulang? Menunggu jemputan? Ikut saja denganku, aku diantar supir.” Jisung menawarkan dengan begitu manis, hingga Ara tak kuasa kalau sampai harus menjawab dengan nada ketus seperti semula.

“Tidak perlu, terima kasih, aku sedang menunggu seseorang.”

Jisung kemudian menoleh ke kiri dan kanan untuk melihat siapa yang Ara tunggu. “Menunggu siapa? Karena aku tak melihat seseorang.”

“Umm ... aku menunggu—“

“Sayang!” Wah siapa itu yang memanggil Ara dengan sebutan romantis? Jisung sampai harus tersentak kaget dan selanjutnya menelan saliva lamat.

"Hai, Jisung-ie." Hyunjin mendekat menampilkan senyum jahilnya, menatap Jisung yang termundur satu langkah. Rupanya kejahilan pemuda itu memberikan trauma tersendiri pada lelaki sepolos Jisung.

"Oh hai, Hyunjin Sunbaenim," cicit Jisung dengan mata mengerjap lantas membungkuk sembilan puluh derajat.

"Sedang apa kau dengan kekasihku?" Kali ini Hyunjin melingkarkan tangannya di pundak Ara yang langsung dihadiahi sikutan di perut pemuda itu.

"Yak! Jangan berkata sembarangan!" sergah Ara galak sementara Hyunjin hanya tertawa, tetapi tetap meneruskan sandiwaranya.

"Sayang, apa kau malu mengakui pemuda setampan diriku sebagai pacar? Uh, kau menyakiti hatiku." Hyunjin menyentuh dada kirinya berakting terluka.

"Bodoh!"

"Jisung-ie, kau menyukai Lim Ara, ya?" tanya Hyunjin, kini mengalungkan tangannya di pundak Jisung yang segera menggeleng.

"Um, ti-tidak Sunbaenim, aku hanya berhutang budi padanya. Noona baik sekali," jawab Jisung canggung.

"Iya aku baik karena menolongnya dari makhluk jahil sepertimu," timpal Ara masih sewot, "awas saja kalau kau berani mengganggu Jisung lagi."

"Iya Sayang, tidak akan. Santai saja Jisung-ie," ucap Hyunjin terkekeh, "sekarang boleh aku berbicara dengannya?" Dengan kata lain Hyunjin mengusir Jisung dari sana. Pemuda itu cukup peka dan segera pamit seraya membungkuk sopan pada kedua kakak kelasnya itu.

Ara lantas menuntun Hyunjin ke tempat aman, setidaknya cukup jauh dari jangkauan pendengaran para adik kelas yang sejak tadi mau tak mau memperhatikan bagaimana sandiwara yang dilakukan pemuda itu pada Jisung.

"Kau ini kenapa selalu saja menjahili Jisung, eoh? Tidak kasihan apa? Kenapa juga kau berkata kalau aku pacarmu. Kalau Suamiku tau, habislah kau," cecar Ara sambil menggeleng dan mendesis galak.

"Lebih jahat mana dengan menaruh harapan palsu? Jelas-jelas Jisung menyukaimu, dan dia tidak tau kalau kau sudah menikah," terang Hyunjin, kali ini terlihat serius, "kau tak tau ya, bagaimana dia membelamu habis-habisan di grup chat sekolah saat rumor kau jadi sugar baby itu mencuat? Aku ini kasihan padanya, jadi aku patahkan saja hatinya tadi."

Ara tidak tau juga bagaimana harus menyikapi ulah Hyunjin tadi, karena binar Jisung kala membungkuk benar-benar mengusiknya.

"Jadi, apa yang membuatmu menyuruhku datang kemari?" tanya pemuda jahil itu mencoba mengalihkan pembicaraan.

Ara tersentak karena baru mengingat tujuannya tadi, merogoh saku jas sekolahnya, gadis itu menyerahkan kunci kamar untuk pemuda itu. "Ini."
Hyunjin tak langsung menerimanya, tetapi menilik kunci berwarna perak itu saksama. "Ini kunci apa?"

"Kunci hatiku," ucap Ara lirih sebelum berteriak, "tentu kunci kamar bodoh!"

Hyunjin kemudian menatap Ara lamat. "Apa kau benar-benar akan menjadikanku peliharaan?"

Demi nama setiap binatang yang ada di dunia. Ara ingin memaki karena dibuat kesal sekali oleh pemuda jahil di depannya itu, kenapa terlalu percaya diri sih?

"Yak! Aku hanya membantumu agar berhenti menjadi pencari suaka menyedihkan. Kalau tak mau ya sudah." Ara sudah akan menyimpan kembali kuncinya saat Hyunjin menyahutnya buru-buru.

"Terima kasih Lim Ara cantik. Kuanggap ini hutang yang akan kubayar saat sukses nanti. Aku doakan semoga hidupmu bahagia dan mendapatkan anak-anak lucu menggemaskan dari si pemilik sekolah," ucap Hyunjin tulus sebelum menghela napas panjang dan berdecak, "Min Yoongi, sampai sekarang aku bahkan tak menyangka kau bisa menggaet duda kaya seperti dia. Apa kau memakai guna-guna?"

"Yak! Oh Hyunjin sialan! Kembalikan kuncinya!"

Kedua kalinya di hari ini Ara dan Hyunjin saling kejar-keajaran, Ara yang lebih pendek dari si pemuda sampai melompat-lompat saat berusaha mengambil kunci yang Hyunjin pegang di tangannya. Namun, sebuah kejadian tak terduga Ara alami, sampai-sampai ia mengaduh saat menyadari sesuatu masuk ke matanya.
" Ah, aduh! Astaga! Jin-ah!

"Eh?! Kau kenapa?" tanya Hyunjin khawatir.

"Mataku kemasukan sesuatu, tolong tiup, cepat!"

Tanpa berpikir panjang, pemuda itu mencondongkan tubuhnya dan mulai meniup mata Ara yang kelilipan.
"Membaik?"

"Mn," jawab Ara masih mengucek matanya dan mengedipkannya cepat.
Sebenarnya, tak ada hal aneh yang mereka lakukan, tetapi posisi tempatnya berdiri sangat tidak menguntungkan karena tak jauh dari tempat mereka, Yoongi tampak mencengkeram kemudinya kuat.

Sejurus kemudian, Yoongi menghentikan mobilnya di depan Ara dan Hyunjin, membuka pintu roda empat tersebut cepat, lalu memanggil sang gadis dengan intonasi yang lebih keras dari yang dia inginkan. "Lim Ara! Masuk!"

Ara sampai memaku di tempat, kaget dengan raut tak terbaca Yoongi yang hanya menatap ke depan.

"A-ahjussi," cicit Ara dan dia tau dengan pasti, saat ini Yoongi tidak bisa dibantah, "mm ... Jin—"

"Lim Ara masuk!"

When Yoongi Says Marry Me | End 💜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang