chapter 0

168 15 11
                                    

Ruang kelas selalu menjelma menjadi pasar malam tiap kali jam kosong menyapa. Orang-orang yang seharusnya duduk menyimak penjelasan guru mengosongkan kursi mereka. Sebagian keluyuran cari angin, sebagian memanfaatkan lantai untuk leha-leha, dan sebagian menempati kursi teman untuk berbincang dengan teman lain. Kelompok terakhir itulah yang mengubah bentuk kelas menjadi pasar malam. Saking berisik, mereka sering diprotes guru yang mengajar kelas sebelah. Sayang, protes itu masuk telinga kanan-keluar telinga kiri. Mereka yang diam saat diprotes akan kembali ke mode awal dan mempertahankan berisiknya sampai jam kosong berakhir.

Suara mereka mengusik Nagita, membangunkannya dari tidur siang yang tenang. Kepalanya yang terbenam dalam jaket perlahan terangkat. Matanya yang sembap melirik ke sekeliling, memastikan ruang kelas sepi. Bagus, tidak banyak orang yang menetap dan mereka yang tersisa pun kelihatannya abai akan kondisinya. Sebuah situasi yang bagus untuk mencari tisu yang dapat menyeka air mata.

"Agit, lo nangis?" Lain cerita kalau Tanisha yang seingatnya pergi ke kantin tetiba lari menuju tempat duduknya. "Ih, iya. Lo kenapa nangis?"

Nagita yang hendak mengelap air mata malah tenggelam lagi dalam tangisan. Ia menunduk, menyembunyikan wajah merananya di balik rambut panjangnya yang tergerai. Tisu yang diambilnya untuk menghapus bekas tangisan ujung-ujungnya dipakai menutup mulut, menahan isakan yang berpotensi memanggil orang lain.

Tanisha menghela napas pasrah. "Lo kayak orang mabuk yang baru bangun habis berhari-hari molor," komentarnya sembari merapikan buku-bukunya yang penuhi meja, "terus pas bangun keinget kalau lo mabuk gara-gara stres diputusin pacar."

"Gue enggak diputusin, ih," bantah Nagita, padahal hati kecilnya membatin heran karena tebakan Tanisha nyaris kena sasaran.

"Tau. Lo, 'kan, enggak punya pacar." Tanisha menepuk bahu teman sebangkunya. "Kalau gue boleh bawa motor, gue anterin balik, dah," ujarnya sebelum tawarkan, "Mau dipesenin ojek, ga?"

"Boleh."

"Oke," putus Tanisha yang langsung mengubah keputusannya dalam sekali kedip. "Gue tanya yang lain dulu aja, siapa tau ada yang mau nebengin. Tuh, mumpung si Nday balik ke kelas." Ia lalu berteriak, "Langsung balik, ga, Nday?"

Meskipun penglihatannya tertutup air mata, Nagita tahu Linda sedang berjalan ke kursinya. "Latihannya anak tatra dimajuin," jelas perempuan yang duduk di depan mejanya dan Tanisha. "Gita, lo diapain sama siapa?" Nada bicaranya berubah saat mendengar isak tangis Nagita. "Siapa, Git? Biar gue omelin orangnya."

"Enggak, gue cuma lagi ga enak badan."

Nagita mendengar bisikan setelah menyatakan keadaannya. Sumbernya pasti dari Tanisha dan Linda. Entah apa yang mereka obrolkan, Nagita tidak pernah berhasil menangkap kalimat yang dua orang itu lontarkan. Mereka selalu berbicara dalam kalimat-kalimat panjang yang diucapkan secepat kilat.

Ia bahkan tidak tahu pembicaraan tersebut sudah mencapai titik akhir atau belum karena Tanisha keburu teriak, "Langsung balik, ga, Ndah?" Tanisha melambaikan tangannya pada Indah yang masih mengobrol dengan seseorang di depan pintu.

Nagita segera menghapus air matanya dan menidurkan kepalanya di meja. Lebih baik Indah mengiranya tidur daripada mendapati jejak kesedihan di wajahnya, lalu menanyakan keadaannya. Indah sedang sibuk. Dan Nagita tidak mau orang yang menghabiskan jam kosongnya di ruang organisasi itu malah fokus dengan kondisi orang lain. Lagi pula, belum tentu kembalinya Indah ke kelas menandakan urusan organisasinya sudah selesai.

"Kenapa, Tan? Lo mau nebeng?" sahut Indah sesampainya di kelas. "Gue habis ini ada rapat. Makanya dari tadi di sana terus."

"Lah, si Kanya ga balik ke sini?" Tanisha menunjuk ransel Kanya yang dibawa oleh Indah. Dibalas anggukan, ia bercanda, "Betah amat. Ngadem apa keasyikan bucin ke ketuanya?"

iya, kamu!Where stories live. Discover now