26. Berjuang Bersama

3.1K 307 5
                                    

Rasya menginap di rumah sakit selama lima hari. Dalam lima hari itu, tiga hari diantara Rasya lewati dengan demam tinggi. Tubuhnya hangat dan terus kedinginan. Setiap hari, Rasya memendam rasa sakitnya sendirian sebagai wujud rasa bersalah kepada Raisa yang juga demam tinggi. Tapi, untungnya bayi itu hanya demam selama dua hari saja dan dapat pulang di hari ketiganya.

"Rasya, makan dulu yuk. Dari pagi kamu belum makan," bujuk Papa. Pria itu mengusap surai hitam putranya dengan penuh sayang.

Rasya membuka matanya, rasa sakit di sekujur tubuhnya mulai muncul lagi setelah tadi sempat bisa ia lupakan karena tertidur.

Kening Rasya berkerut, matanya mulai basah. Ia meringkuk tanpa suara dan berharap bahwa sakitnya ini akan segera berakhir, entah itu sembuh atau justru dikebumikan seperti yang ia lihat ketika nenek dari pihak papanya meninggal.

"Masih sakit ya? Mana yang sakit, bilang sama Papa, sayang," ucap Papa. Pria berkemeja putih itu awalnya telah pergi ke kantor. Tapi, fokusnya selalu pecah saat teringat si sulung yang terus diam selama tiga hari belakangan. Papa lantas membolos dan langsung menuju rumah sakit.

Sejak masuk rumah sakit, Mama, Papa, dan si pengasuh bergantian menjaga Rasya dan Raisa. Raisa yang tidak bisa tidur kalau tidak di gendong pun menyita perhatian Mama. Mama meninggalkan pekerjaannya dan mengurus Raisa. Mama juga sesekali menengok Rasya. Tapi, karena Mama selalu menggendong Raisa, Rasya pun selalu histeris dan mengusir Mama keluar kamar.

"Rasya, kalo kamu enggak makan. Demamnya nggak bakal sembuh. Papa suapin ya, lima suap aja," bujuk Papa.

Rasya menggeleng cepat. Tangannya menepis tangan Papanya yang terus mengusap rambutnya.

"Ini udah tiga hari lho, Rasya sakitnya. Makan ya, biar cepet sembuh, terus bisa pulang."

Rasya yang tetap diam dan menutup matanya membuat pria yang telah memasuki usia tiga puluhan tahun itu tertunduk lesu. Ia menyesali sikap dirinya dan istrinya yang tampak begitu menyudutkan Rasya atas kejadian yang menimpa Raisa.

Kalimat perandaian selalu muncul di akhir dengan membawa penyesalan.

"Andai, kemarin Papa bisa sabar, ya, Bang." Pria itu dengan teratur mengusap punggung anak sulungnya meski mendapat beberapa kali penolakan.

"Tapi, kamu ingat, kan, kalau Papa Mama enggak benci kamu." Papa merendahkan tubuhnya dan mencium pipi Rasya yang hangat. Hal itu pun membuat Rasya terisak, meski matanya masih tetap menutup.

"Maafin Papa Mama ya, Sayang,"

Sejak saat itu, Rasya yang masih berusia lima tahun akhirnya menutup diri. Ia selalu menyendiri di kamar dan menyibukkan diri agar dirinya tidak ada kesempatan untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarganya, khususnya Mama dan Raisa.

Sejak saat itu, Rasya memaksakan diri untuk mandiri. Bangun tidur sendiri, mandi, memakai baju, sarapan lebih awal, dan berangkat sekolah dalam diam. Selama masa sekolahnya hingga ia lulus sarjana, Rasya selalu mencari kegiatan yang dapat membuat dirinya bertahan lebih lama di luar rumah. Nilai, bakat, dan prestasi menjadi teman Rasya bertumbuh hingga akhirnya setelah Rasya menikah, Rasya langsung memboyong Davina ke rumah pribadinya.

•°°•°°•


Setelah percakapan yang tidak terduga itu berakhir menggantung, baik Rasya maupun Raisa berpisah dengan kondisi tidak baik-baik saja. Rasya pergi ke teras samping rumah untuk merokok dan menenangkan diri, sementara Raisa lantas berkemas dan pergi dari rumah kakaknya itu dengan kondisi mata yang masih basah.

WANGSA [selesai | terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang