4. Trauma

4.5K 310 2
                                    

Rasya Kalandra yang kala itu masih berumur 5 tahun terkikik geli karena menahan gemas terhadap adik bayinya yang masih berumur 4 bulan.

Raisa Kaladari, adik Rasya itu menguap kecil dan mengerjapkan matanya dengan lucu. Bayi itu telah kenyang dengan meminum ASI yang telah dipompa oleh ibunya.

"Mbak, adek mulai merem!" seru Rasya dengan heboh.

Pengasuh yang menggendong Raisa pun menempelkan jari telunjuknya ke bibir, " sst, adeknya mau bobo, udah ngantuk."

Rasya menutup mulutnya dengan telapak tangan mungilnya. Meringis namun kemudian tersenyum senang ketika Raisa sudah terlelap dengan sepenuhnya.

Pengasuh itu pun meletakkan tubuh Raisa di ranjang bayi dan menaikkan pembatas kayunya agar Raisa aman di dalamnya, tak lupa ia menyelimuti bayi cantik itu.

"Kakak, Mbak cuci botol susu adek dulu ya. Kakak tunggu sini sama mainan Kakak." Pengasuh itu menunjukkan lantai yang tak jauh dari tempat mereka berdua berdiri yang terdapat mainan khas anak laki-laki berserakan.

"Tapi, jangan kenceng-kenceng ya mainnya," lanjutnya.

Rasya mengangguk patuh. Setelah Pengasuhnya pergi, Rasya mulai bermain menyusun balok dan dengan semangatnya mulutnya mengeluarkan suara khas deru mobil hingga, "brum..brum..boom!" sernya senang. Balok yang ia susun tinggi-tinggi akhirnya roboh dan berhamburan di lantai dan menimbulkan suara gaduh.

Tak Rasya sangka, suaranya tadi menyebabkan Raisa, adiknya terbangun dari tidurnya dan mulai merengek tak nyaman.

Rasya mendekati adeknya, susah payah ia menurunkan pembatas kayu yang menjadi pelindung Raisa agar tidak jatuh. Rasya dengan telapak tangan kecilnya mencoba menepuk pantat Raisa dengan maksud menidurkan adeknya lagi. Mulutnya bersenandung pelan. Berharap peri mimpi lantas menidurkan adeknya lagi.

Namun, bukannya tertidur. Raisa justru menangis kencang dan membuat Rasya kewalahan dengan gerakan adeknya yang menyulitkan dirinya untuk menepuk pantat Raisa lagi.

Tanpa pikir panjang lagi, Rasya kecil berlari menuju dapur dan langsung menyeret mengasuhnya untuk kembali ke kamar dan betapa terkejutnya dua orang itu ketika mendapati bayi Raisa telah jatuh tertelungkup dengan selimut yang melilit salah satu kakinya.

Akibat hal itu bayi Raisa jatuh sakit, tubuh bayi itu demam tinggi di malam harinya dan membuat orang tua Rasya dan Raisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Orang tua Rasya marah besar, terutama mamanya. Wanita itu menyalahkan Rasya atas apa yang terjadi pada Raisa.

"Masuk kamar dan jangan keluar lagi! Mama nggak mau liat muka kamu. Anak nakal!" Kalimat itu mampu membuat hati seorang anak yang masih berusia 5 tahun hancur berkeping-keping.

Ditambah lagi, Rasya tidak diizinkan untuk menyentuh bahkan menengok Raisa ketika Raisa demam.

Dimalam harinya, dengan ditemani suara tangis Raisa dari luar sana, Rasya meringkuk di atas kasur. Kedua telinganya ia tutupi dengan bantal, berharap jeritan Raisa tak bisa ia dengar karena hal itu membuat rasa bersalah Rasya semakin menumpuk.

"Maaf. Maafin Kakak, Dek! Maafin aku, Ma. Maaf, maafin aku, Ma."

Rasya mulai menangis, tergugu begitu lamanya di tengah kedinginan malam hingga ia sudah tidak bisa menangis lagi. Hingga Rasya sudah lupa cara bernapas dengan benar.

"M-ma-maaf, maaf, Dek. K-ka-kak ja-ja-hat."

Kepalan tangan yang mungil itu berpindah untuk memukul dadanya sendiri. Sungguh sesak sekali rasanya menangis dari malam hingga sebelum ia kehilangan kesadaran, ia melihat jendela kamarnya dan ternyata sudah pagi.

Ketika Rasya sadar, ia sudah dikelilingi oleh Mama, Papa, dan Raisa yang berada di gendongan Mama.

Mama yang menyadari putra sulungnya telah sadar pun berjalan mendekat dengan Raisa yang masih terlelap di gendongannya.

"Jangan, Mama!"lirih Rasya.

"Jangan dekat!" Rasya mulai menangis.

"ADEK JANGAN DEKAT SAMA KAKAK!" Teriak Rasya.

"Pergi, Mama. Adek pergi juga! Kakak Jahat!"

Raungan Rasya mulai tidak terkendali namun intinya sama bahwa Raisa tidak boleh mendekat, atau nanti hanya akan terluka lagi.

Seorang dokter yang diikuti dua suster akhirnya datang. Mencoba menangani Rasya yang terus meronta, mengusir Mamanya sendiri dan Raisa. Bahkan, Papanya yang ingin mencoba menenangkan pun tak luput kena usir.

"Kakak jahat, Ma. Adek jangan dekat Kakak lagi, nanti sakit." Kalimat itu lah yang terucap dari bibir mungil Rasya sebelum akhirnya Rasya tertidur karena tindakan yang dilakukan dari dokter.

Sejak saat itu, Rasya tumbuh menjadi seseorang yang sangat takut jika bertemu dengan anak kecil, terutama bayi. Rasya tidak takut pada mereka. Rasya takut pada dirinya sendiri yang mungkin nanti hanya akan melukai makhluk kecil tanpa dosa itu.

Rasya juga tumbuh menjadi seorang kakak yang hanya bisa memandangi adik perempuannya dari jauh. Mengamati pertumbuhan Raisa dari jauh sudah menjadi anugrah yang indah bagi Rasya.

•°°•°°•

Raisa menuruni tangga dengan ponsel di tangannya. Ia berniat untuk mencari air minum di dapur rumah kakaknya. Begitu memasuki area dapur, Raisa melihat Rasya tengah mencari sesuatu di dalam laci, tempat dimana biasanya pisau, sendok, garpu, dan sumpit disimpan.

Raisa ragu untuk mendekat. Bukan rahasia lagi jika kakaknya itu tidak ingin dekat dengan dirinya. Ia mendapat cerita dari Mamanya. Sempat ia meremehkan sikap Rasya, menganggap jika kakaknya itu hanya terlalu melebih-lebihkan.

Namun, setelah menyaksikan sendiri saat dimana psikiater yang menangani Rasya datang terburu-buru dan langsung masuk ke kamar Rasya tepat di Hari Raya Idul Fitrikarena kakaknya itu tak sengaja menumpahkan teh di baju sepupunya yang kala itu masih berusia 3 tahun, Raisa pun memahami apa yang dialami kakaknya.

Bukan karena insiden tumpahnya teh, toh teh itu bukan teh panas, hanya teh dingin yang ingin Rasya bawa ke dapur setelah tamu yang disuguhi pulang. Namun, setelahnya Rasya terlarut dalam rasa bersalahnya dan kembali mengingat trauma masa kecilnya hingga Rasya berniat bunuh diri di kamarnya.

Kembali ke posisi sekarang, Raisa hanya berdiri mematung mengamati kakaknya yang sedang kebingungan.

"Pisau buat ngupasnya dimana sih? Perasaan tadi ada, ck!" Rasya berdecak kesal sembari terus mencari benda yang ia maksud. Mohon di ingat lagi, kelemahan Rasya adalah pelupa untuk hal yang sepele dan juga lemah dalam mencari barang.

Mata Raisa ikut sibuk memindai area dapur, mencari pisau khusus untuk mengupas. Raisa hampir tertawa saat ia menemukan pisau yang Rasya cari sebenarnya sudah berada di samping apel yang akan di kupas Rasya.

"Pisaunya ada di samping apel, Bang!"

"Huh? Pisaunya di samping apel?" beo pria itu sembari menatap apel yang tergeletak di meja makan.

"Lho? siapa yang taruh pisaunya tadi?"

"Ck, umur 29 aja pelupanya minta ampun," ejek Raisa.

Rasya melirik adiknya sekilas, mengucapkan kata terimakasih dengan pelan dan hendak pergi meninggalkan dapur.

"Abang," Langkah Rasya terhenti.

Raisa berjalan mendekati Rasya, namun belum ada sekitar 2 meter jarak mereka, Rasya sudah memilih pergi meninggalkan Raisa yang menghentikan langkahnya dan menatap nanar punggung kakaknya itu.

"Sabar, Rai. Itu udah kemajuan besar. Ternyata butuh 10 tahun lebih buat Abang mau dengerin gue pas gue panggil," ujarnya dengan senyum mirisnya.
.
.
.
.
.
.

WANGSA [selesai | terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang