15. Pikiran Rasya

3.2K 257 10
                                    

Jangan lupa like dulu ya, Friends.
.
.
.
.

Di sore hari yang mendung ini, ketika semua orang berlomba-lomba agar cepat sampai rumah. Rasya justru masih termenung di dalam mobil yang masih terparkir rapi di parkiran kantor.

Ia akan pulang ke rumah, bertemu istrinya yang sedang hamil, kembali bersandiwara seolah-olah tidak tau apa-apa, lalu selanjutnya bagaimana? Apa ia bisa bertahan seperti itu sampai 9 bulan ke depan? Tentu tidak, perut istri tercintanya itu pasti akan kian membesarkan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan si bayi.

Hah, menyebut bayi itu adalah bayi mereka saja, Rasya tidak sanggup.

Rasya akui, ia sangat gegabah dalam bertindak. Ia hanya berpikir tentang kebahagiaan istrinya yang akhirnya memiliki seorang anak. Namun, ia sendiri tidak memikirkan sikap seperti apa yang akan ia lakoni dalam menghadapi itu semua.

Segala traumanya adalah tentang bayi dan masa kecil. Lalu ia dengan mudahnya menghadirkan bayi di tengah pernikahan yang ia jalani.

Rasya menelungkupkan wajahnya ke lipatan lengan yang bertumpu kemudi mobil.

Helaan napas panjang keluar dari mulut Rasya. Kemeja hijaunya pun telah kusut. Tangannya mulai mengepal, memukul mukul kecil kemudi mobilnya hingga pada akhir pukulan itu semakin kencang.

"Arggh, sial!" Maki Rasya, pada dirinya sendiri. Rasya paling tidak suka jika dirinya tak berdaya, apa lagi dengan trauma masa lalunya.

Mata Rasya menerawang jauh ke depan. Sorot matanya begitu lelah dan kuyu. Dengan pikiran yang masih berkecamuk, Rasya akhirnya menghidupkan mesin mobilnya dan melajukan mobilnya untuk bergabung dalam kemacetan petang ini. Pulang.

Sesampainya di rumah, Rasya mendapati suara riuh dari lantai dua rumahnya. Seperti biasa, para editor kanal YouTube milik Davina selalu berhasil menghidupkan suasana di rumah.

Rasya memutuskan untuk mandi terlebih dahulu karena ia teringat akan curhatan Dion, teman satu kantornya yang nelangsa akibat didiamkan istrinya yang waktu itu sedang hamil, sampai beberapa hari gara-gara Dion langsung memeluk istrinya sepulang kerja tanpa bersih-bersih terlebih dahulu.

Selesai mandi, Rasya belum menemui istrinya juga. Ia terlalu malas untuk naik ke lantai dua dan mengganggu Davina dan teman-temannya.

Rasya memilih untuk duduk di teras samping rumahnya dengan membawa segelas matcha hangat dan kotak rokok beserta korek apinya.

Lewat hidung dan mulutnya, Rasya terus menghembuskan kepulan asap dari hisapan rokoknya. Bibir sehat--yang tentunya berkat dirawat oleh istri tercintanya--itu tampak lihai mengapit batang candu yang telah ia sentuh sejak masa kuliahnya.

Awan kelabu yang telah menggantung sejak senja belum menyapa itu mulai menumpahkan air yang dibawanya. Hawa sejuk yang datang bersamaan dengan butiran air hujan menyapa kulit Rasya. Namun, pria yang hanya memakai celana pendek dan kaos tipis berwarna hitam itu tidak bergeming. Ia masih setia dengan rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.

Di bulan November seperti sekarang ini, hujan sudah lebih sering berkunjung. Turunnya pun tak kenal waktu, bahkan ketika semua orang berlomba untuk segera sampai ke kantor, hujan telah sering menyertai doa mereka di sepanjang jalan.

Andai Rasya bisa menerima kehadiran seorang anak seperti dia menerima hujan di hari Senin. Mungkin hidup Rasya bisa lebih bahagia seperti para siswa-siswi yang bersuka cita karena tidak ada upacara bendera.

Andai Rasya bisa beradaptasi. Mungkin perjalanan rumah tangganya bisa lebih nyaman, seperti sejarah payung hijau yang Rasya dan Davina pakai bersama sewaktu kuliah. Kecil, tapi penuh kehangatan.

WANGSA [selesai | terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang