19. Usaha

3.6K 257 8
                                    

Vote dulu dong, kalo nggak nanti hp kalian kebelah sama pisau dagingnya ibunya Tio. Galak loh si ibu itu... wkwkwk.
.
Makasih kalo uda vote...
.
.

Makasih juga karena udah sabar nunggu cerita ini update.
.
.
.

•°°•°°•

"Break dulu, mata lo merah banget itu," tegur Dion. Dion meletakkan satu cup kopi di meja kerja Rasya. Pukul lima sore di hari Kamis ini, di kantor masih ada beberapa orang yang lembur untuk mengejar deadline. Seperti halnya Rasya yang sejak tadi terus duduk di depan komputer.

"Cari angin dulu sana, biar mata lo gak sakit!" suruh Dion yang tengah menikmati burger hasil pesan antarnya.

Di kantor tempat Rasya bekerja memiliki tempat seperti balkon terbuka guna menyegarkan mata setelah seharian fokus ke layar komputer. Fasilitas ini tentu membuat para karyawan menjadi nyaman dan betah kerja di kantor dan tetap produktif.

"Ya, makasih."

"Yoi," balas Dion.

Rasya merenggangkan badannya dan beranjak menuju sebuah kaca besar yang menampakkan pemandangan dari lantai tiga.

Hujan lagi-lagi mengisi waktu di sore ini. Awan mendung yang telah menyebar di langit sejak sore tadi akhirnya menurunkan air yang dibawanya.

Rasya merogoh saku celana bahannya untuk mengambil ponsel dan membuka pesan yang masuk dari nomor Tio.

Tio
"Mba Davina masih di rumah soalnya tau klo Abang mau lembur."

Rasya
"Titip ya, nanti klo ga ada yg jmput tlong anter."

Tio
"Beres."

Tio telah menjadi teman di rumahnya selama dua minggu ini. Sementara istrinya pulang ke rumah  orang tua. Ingin rasanya menjemput Davina kembali dan membawa wanita itu untuk menemani harinya di rumah kembali. Namun, apa daya. Jangankan melawan rindu, melawan traumanya dirinya masih sangat pengecut. Usahanya melawan trauma masih terbilang jauh. Rasya masih tetap gelisah mendengar suara anak-anak apalagi ketika makhluk kecil itu tengah menangis atau merengek seperti yang terjadi di hari Minggu kemarin.

Taman bermain, adalah salah satu tempat yang paling Rasya hindari. Suara tawa, tangis, teriakan, suara lainnya yang berasal dari mulut anak kecil membuat Rasya tidak nyaman. Namun,  di hari Minggu ini, Rasya dan salah satu Dokter Psiater didikan Dokter Prana mengunjungi taman bermain yang ada di sebuah mall di kotanya.

"Tenang, Pak. Biasakan dulu sama suara mereka."  ujar pria yang bernama Sastra itu.

Rasya hanya mengangguk sembari memejamkan matanya. Sejak tadi ia duduk dengan gelisah di sebuah bangku tak jauh dari pintu masuk taman bermain.

Rencananya hari ini Rasya hanya akan duduk di sana. Mendengar suara anak kecil dan membiasakan diri dengan kehadiran anak-anak.

"Huaa, Bunda, mau naik lagi!" pekik seorang anak laki-laki yang digendong oleh ayahnya menjauhi tempat bermain itu.

"Dok," panggil Rasya dengan gelisah.

"Iya, tenang, Pak. Anak kecil itu hanya ingin kembali bermain tapi orang tuanya sudah tidak memperbolehkan."

"Dok, nggak bisa." Ingatan Raisa yang menangis kencang membuat Rasya mengerutkan dahinya. Alisnya saling bertaut dan kedua tangannya mengepal.

"Oke, Pak. Mari keluar. Ini sudah menjadi sebuah kemajuan yang bagus." Dokter Sastra mematikan timer yang telah menyala dalam 16 menit 38 detik yang berarti misi Rasya sudah terpenuhi karena Dokter Prana dan Dokter Sastra memprediksi bahwa Rasya akan bertahan sekitar sepuluh menit.

WANGSA [selesai | terbit]Where stories live. Discover now