11. (Pura-pura) Baik

2.8K 221 3
                                    

Kenapa kalian masih bertahan baca cerita ini sampai sini? Spill dong, biar aku tau apa yang kalian suka dari cerita ini.

.
.
.
.

Pulang dari rumah mertuanya Rasya menjadi lebih pendiam.

Rasya selalu memikirkan tentang istrinya yang menginginkan seorang anak dalam pernikahan mereka.

Sebelum mereka memutuskan untuk menikah, Rasya memang sudah jujurlah pada Davina bahwa dirinya tidak bisa memiliki anak.

Disalah satu malam minggu sebelum akhirnya Rasya berani melamar Davina, Rasya mengajak kekasihnya itu pergi berkencan.

Setelah memutari mall lalu berhenti di salah satu tempat makan, Rasya pun mulai jujur.

"Vina, kalau aku ada kekurangan apa kamu masih mau nikah sama aku?" tanya Rasya.

"Kekurangan apa? Menurut aku kekurangan itu nggak penting, keputusan aku buat sama kamu nggak bakal berubah," jawab Davina dengan tegas.

"Kamu suka anak kecil?" tanya Rasya pelan.

"Suka, aku suka gendong keponakan aku pas mereka masih bayi. Gemes gitu liatnya."

Mendengar jawaban Davina, Rasya mulai ragu. Apa Davina akan menerimanya?"

"Dav, maaf, aku nggak bisa ngasih kamu mereka," aku Rasya.

"Mereka?" tanya Davina.

"Anak, Dav," jelas Rasya.

Mereka saling diam sejenak, sebelum akhirnya senyum Davina mengembang.

"Nggak papa kali, kan kita bisa adopsi atau kalo Mas Dewa atau Mas Tara lagi kerepotan kita bisa asuh anak mereka."

"Bukan gitu, Vin. Aku nggak bisa bukan karena itu."

"Lalu?"

"Aku," Rasya sedikit ragu untuk mengatakannya. Tangannya di atas meja mulai bergetar.

Davina yang mulai paham kondisi Rasya akhirnya menggenggam tangan Rasya dan menenangkannya.

"Udah, nggak papa. Nggak usah cerita."

Setelah pertemuan itu, Davina secara diam-diam datang ke rumah orang tua Rasya dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi dan disanalah Davina mengerti sebab Raysa tidak bisa memiliki anak. Karena trauma.

Untuk beberapa saat Davina menjaga jarak dengan calon suaminya itu. Namun, setelah meyakinkan diri akhirnya Davina datang ke apartemen Rasya dan berkata bahwa tidak memiliki anak bukan masalah dalam kehidupan pernikahan mereka.

"Aku menerima kamu karena kamu adalah kamu, Mas. Aku menerima kamu dengan segala kekuranganmu, seperti kamu menerimaku dengan segala kekuranganku," tegas Davina.

"Tapi, kamu pasti pengen punya anak, Dav," ujar Rasya

"Aku akan lebih sakit kalau harus menikah dengan orang lain daripada tidak memiliki anak, Mas, percaya deh, aku memilih kamu, aku merelakan mereka karena kamu lebih berarti untukku. Mereka belum hadir, sementara kamu udah ada di samping aku," jelas Davina.

Hingga akhirnya mereka menikah dan telah memasuki umur pernikahan 2 tahun, Davina sama sekali tidak pernah mengeluhkan tentang keturunan.

Davina selalu menyemangati Rasya, bahkan saat mereka berdua selesai bercinta dan Rasya merasa payah karena tidak berani membuahi istrinya.

•°°•°°•

Rasya mengacak-acak rambutnya yang memang sudah kusut. Malam ini dirinya sedang dalam perjalanan pulang. Rasanya Rasya ingin putar balik saja, menghindari istrinya yang tengah menunggunya pulang dengan beberapa hidangan makan malam yang telah siap di meja makan.

Rasya sudah mengulur waktu kepulangannya yang seharusnya jam kantornya sudah berakhir pukul 4 sore, Rasya memilih untuk diam kantor hingga pukul 7 malam.

Sesampainya di rumah, ia mendapati beberapa motor milik karyawan Davina yang biasanya di jam seperti ini masih berkumpul di lantai 2.

Rasya memasuki rumah dengan tak semangat, ia berharap istrinya ada di lantai 2 dan tidak menyambut dirinya.

"Udah pulang, Mas? Lesu banget kayaknya, kerjaan lagi banyak ya?" Suara lembut seorang wanita membuat Rasya mengurungkan niatnya untuk membuka pintu kamar. Davina berjalan dari arah tangga menuju lantai 2 dan mendekati Rasya, menyalimi suaminya dan mendapat kecupan singkat di kening dari Rasya.

Rasya tersenyum tipis sembari mengangguk. Bohong, pekerjaannya baik-baik saja, ia sedang tidak sibuk dan tidak pernah lembur. Rasya hanya menghindari Davina karena perasaan bersalahnya.

"Aku mandi dulu ya," pamit Rasya pada Davina, kemudian Rasya pun memasuki kamar mereka.

"Mau air anget nggak, Mas? Kalo mau, Mas, copot-copot aja dulu, biar aku yang siapin airnya," tawar Davina.

"Nggak usah," tolak Rasya.

Rasya melepas sepatu dan dasinya dengan cepat lalu segera memasuki kamar mandi agar istrinya tidak perlu menyiapkan air hangat untuknya karena ia memang ingin menyegarkan pikiran dan badannya dengan air dingin.

Davina menjadi termenung karena sikap suaminya. Perubahan sikap Rasya ke Davina masih bisa Davina rasakan meski Rasya telah berupaya agar mereka masih bisa merasakan suasana baik-baik saja.

Makan malam berlangsung sepi. Rasya makan banyak meski ia sedang tidak berselera.

Rasya tahu Davina mengamati dirinya, maka dari itu Rasya berusaha biasa saja.

Setelah makan malam selesai dan karyawan Davina semua telah pulang, bahkan Raisa yang tadinya mau menginap juga akhirnya memilih pulang, kini tersisa Rasya di ruang tengah dan Davina yang masih tinggal di lantai 2. Mereka sama-sama sibuk dengan layar laptop masing-masing.

Hal itu sudah terjadi selama beberapa waktu. Keduanya bermalam bersama namun, memiliki malam masing-masing.

Namun, kali ini berbeda. Setelah Davina memilih untuk pergi tidur duluan karena Rasya membentaknya, Rasya akhirnya memilih untuk mengabulkan keinginan terpendam istrinya. Seorang anak.

Rasya masuk ke kamar tidur mereka, meminta maaf pada istrinya dan memberikan sentuhan nikmat pada istrinya agar istrinya melayang dan tak sadar dengan apa yang telah Rasya lakukan.

Rasya mengeluarkan cairannya di rahim Davina dan itu merupakan bercinta yang Rasya tidak nikmati sama sekali. Tubuhnya memang memberikan respon positif. Namun, disaat ia mencapai puncak tiba-tiba tangisan anak kecil bergema di kepalanya. Kedua tangannya mengepal erat, menggenggam sprei hingga kain itu lusuh.

'Kalau memang ini maumu, aku kabulkan sekarang, Sayang. Maaf karena sudah menjadi suami yang payah untukmu.'

.
.
.
.
.
Maaf pendek :(

WANGSA [selesai | terbit]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant