25. Darah Lebih Kental dari Air

4K 373 9
                                    


Rasya menyenderkan tubuhnya ke punggung sofa. Tangan kanannya ia gunakan untuk memijit keningnya yang terasa pening.

Sementara itu, Dokter Prana masih sibuk dengan tabletnya, mencatat hal-hal penting dan membuat coretan di sana. Setelahnya, Dokter Prana pun mematikan tablet di tangannya dan meletak benda hitam itu ke meja.

"Sebelumnya saya minta maaf, Rasya. Tapi, sepertinya seberapa gigihnya kamu melakukan terapi ataupun membuka diri pada anak kecil, kamu akan selalu kembali ke titik yang sama jika kamu belum bisa memperbaiki hubungan kamu dengan adikmu."

Dokter Prana menjeda ucapannya sejenak. Ia melepas kacamatanya dan membersihkannya dengan tisu sembari menunggu Rasya memperbaiki posisi duduknya.

Dokter Prana memakai kembali kacamatanya dan menatap lurus ke arah pria yang telah ia 'asuh' selama dua puluhan tahun itu. "Menurut analisis saya, trauma kamu berasal dari rasa bersalah yang besar karena kamu secara tidak langsung yang membuat adikmu jatuh."

Jakun Rasya naik turun karena menelan saliva. Gestur tubuhnya mulai terlihat bila ia sedang gelisah.

"Dalam lubuk hatimu, kamu sebenarnya sayang dia, dan kamu suka dengan anak kecil. Tapi, karena waktu kejadian itu adik kamu masih bayi, kamu jadi menghindari semua bayi dan anak kecil."

"Rasya, yang harus kamu sembuhkan bukan hanya ketakutan kamu untuk dekat dengan anak kecil. Tapi, leburkan rasa bersalahmu pada adikmu. Dekati dia dan bangun hubungan dengan Raisa selayaknya kakak adik yang saling sayang."

•°°•°°•

Rasya memperhatikan sebuah foto masa kecilnya yang tersimpan di galeri ponselnya. Dalam foto itu ia sedang tersenyum manis di samping bayi cantik yang sedang terlelap. Terhitung sudah belasan menit ia memandangi foto itu dalam diam. Percakapannya dengan Dokter Prana di terapi terakhir kemarin membuat perasaan Rasya campur aduk. Ia membenarkan ucapan Dokter Prana. Ia tidak akan bisa sembuh dari traumanya dengan anak kecil jika dengan Raisa pun ia masih menghindar.

Setelah beberapa saat, Rasya menggulir ponselnya hingga menampilkan foto tangkapan layar postingan Instagram Davina yang mengunggah foto kertas hitam dan abu-abu yang ditengahnya terdapat sebuah bentuk yang hampir mirip dengan bayi. Cek kandungan beberapa waktu lalu akhirnya mendatangkan kabar jika anak pertama mereka berjenis kelamin laki-laki.

Jari Rasya memperbesar dan memperkecil foto tersebut. "Kecil banget," gumam Rasya kala ia kembali mengingat ukuran serta berat dari sang bayi.

Pikiran mulai berkelana, ia membayangkan jika dirinya mungkin saja akan menjadi mala petakan bagi bayi itu. Kelak bayi itu tidak bisa berlari ke arahnya ketika sedang menangis karena mungkin saja ia adalah penyebab tangisannya.

Pikirannya pun berlari ke masa dimana dia dihadapkan dengan Mamanya yang menatap nyalang ke arahnya sementara Papanya hanya menatap datar dirinya. Masa itu adalah hari ketika Raisa terjatuh dan berakhir demam tinggi.

Rasya meletakkan ponselnya ke meja yang ada di sampingnya. Dia mulai memejamkan matanya dengan kepala yang disandarkan ke dinding, pikirannya mulai ramai kembali.

Kini ia sedang duduk di kursi santai samping rumah yang menghadap ke halaman yang ditumbuhi beberapa pohon bunga. Lampu taman yang menyala di antara pot membuat halaman itu tidak terlihat seram di malam hari.

WANGSA [selesai | terbit]Where stories live. Discover now