Scene 8.0 - The Beginning

346 35 4
                                    

"Silahkan diminum, Nak. Keburu dingin nanti kalau ditunda-tunda," pinta Professor Ranarendra kepada Scene begitu dua gelas teh hangat Chamomile telah dihidangkan di atas meja untuk menemani bincang santai mereka hari ini.

Dengan canggung, Scene meraih cangkir yang telah tersaji di depannya dan menyesap teh tersebut sekali. Aroma dari bunga Chamomile yang khas membuat wanita itu tanpa sadar menyunggingkan senyum tipis di bibir. Teh Chamomile adalah satu dari favoritnya.

"Autentik ya aromanya," singgung Professor Ranarendra begitu melihat reaksi dari Scene. "Saya sangat terkejut ketika menyaksikan kamu yang ternyata leader utama dari Maheswari. Kenapa tidak berkabar dengan saya, Scenery. Bisa-bisanya kamu baru muncul di paparan babak ketiga," lanjut lelaki yang berumur sekitar enam puluh tahunan itu.

Scene tersenyum dan ia membalas sopan. "Dari paparan pertama sebenarnya saya sudah hadir, Prof. Hanya saja, rasanya kurang berkenan kalau saya tiba-tiba datang dan menyapa Professor Ranarendra. Karena seperti yang kita tahu, Professor sendiri adalah sebagai judge untuk pergelaran tahun ini." Dulu, meskipun ia dan Profesor Ranarendra termasuk cukup dekat ketika di Beaux-Arts karena sama-sama berasal dari negara yang sama, namun hampir setahun tidak bertemu dan berkontak lagi—rasanya cukup membuat Scene merasa sangat sungkan. "Dan ketika itu saya juga melihat Professor sedang sibuk bersama judges yang lain. Jadi, saya pikir, bahwa mungkin lebih baik bertemu sebagaimana yang terjadwalkan saja," lanjutnya disertai tawa kecil.

Mendengar itu, Professor Ranarendra menggelengkan kepalanya—seperti menyayangkan. "Ada-ada saja kamu, Nak. Saya kira kamu bahkan tidak ikut berpartisipasi kali ini. Saya tahu bahwa Tim Maheswari dari ACSJ tempat kamu mengajar sekarang, bukan? Sebenarnya agenda utama saya adalah mencari kamu."

Scene tampak sedikit terkejut. "Professor tahu kalau saya mengajar ACSJ?"

"Bisa-bisanya kalau saya tidak mengetahui tentang itu." Professor Ranarendra bergurau. "Hebat ya kamu, kembali ke negeri sendiri dan memutuskan untuk mengambil tanggung jawab yang begitu luar biasa mulia. Saya sangat salut Scenery, senang sekali mendengarnya. Boleh lah kalau kamu bisa mengikuti jejak saya nanti."

Scene tertawa. "Amin, doakan saja ya, Prof."

"Beaux-Arts tidak boleh kehilangan dan berhenti memiliki tenaga pengajar dari Indonesia, harus ada yang meneruskan. Karena setelah kamu lulus kemarin, cukup banyak anak dari negara ini yang mulai diterima. Berkat salah satu track record dari alumni yang memberi bukti bahwa sumber daya manusia kita juga ternyata cukup menjanjikan," jelas Professor Ranarendra yang sukses membuat Scene tersipu malu.

Lima tahun yang lalu, Scene ingat betul bagaimana memasuki Beaux-Arts bukan luar biasa mudahnya. Apalagi informasi yang disajikan di internet tidak sebanyak sekarang. Beaux-Arts sangat tertutup. Apalagi uji kompetensi dan sesi interviewnya yang cukup gila, membuat Scene antara diambang percaya atau tidak ia dapat lolos di Universitas tersebut. Berulang kali rasanya Scene ingin juga menyerah.

"Oh iya, saya turut mengucapkan selamat, ya. Terlalu banyak memberikan wejangan, saya sampai lupa memberikan selamat untuk kamu," ucap Profesor Ranarendra kepada Scene yang disertai tawa renyah.

"Terimakasih banyak, Prof." Scene membalas sopan.

Profesor Ranarendra lalu menyesap sebentar tehnya—kemudian melirik sebentar arloji yang melingkar pada pergelangan tangan lelaki itu. "Nanti ada anak saya Randitya yang akan ikut bergabung dengan kita. Tidak apa-apa, Scenery?"

Scene menganggukkan kepalanya.. "Tidak apa, Prof, silahkan saja."

"Semangat ya untuk projectnya, saya doakan kamu dan tim selalu lancar dan sukses. Saya sebenarnya sudah meyakini sejak awal, karena sebelumnya proposal yang dimiliki tim kamu sudah memiliki skor yang tinggi," papar Professor Ranarendra optimis. "Strategi yang kamu turunkan juga apik, sebagai leader kamu dikeluarkan pada babak pamungkas. Kamu bisa lebih dahulu meneliti apa yang kurang pada tahap awal, sehingga ada celah untuk dibabat pada babak akhir. Sebenarnya Maheswari dan Gelanggang sama bagusnya, dan dua tim ini yang memang menjadi kandidat kuat hingga akhir. Hanya saja, tadi Gelanggang menurut saya agak sedikit melenceng dari presentasi awal mereka. Good job, Scenery and team," lanjut lelaki paruh baya itu dengan garis senyum bangga.

Just Skies are Drawing | T1 (COMPLETED)Where stories live. Discover now