TIGA

922 72 4
                                    

Suasana rumah terlihat begitu ramai ketika Nicha dan keluarganya melangkahkan kaki pada teras rumah utama keluarga Caskey. Terdengar gelak dan tawa dari masing-masing perwakilan keluarga layaknya telah lama tidak saling berjumpa—dan Scene ikut menampilkan senyum tipisnya seakan-akan ia begitu bahagia menyambut kedatangan mereka. Wanita itu kemudian menggandeng lengan ibunya dan ibu dari Nicha berjalan mendekati mereka—ikut memeluk ibu Scene untuk saling menyalurkan perasaan rindu.

'Kalau yang ini memang jarang bertemu. Tetapi yang di depan dua orang itu, jangan ditanya.' Scene menggerutu dalam hati—hampir saja menyunggingkan senyum remehnya. 'Keluarga Cemara they said, when it's actually Cempaka. Cemara penuh luka.'

"Boleh mungkin kita langsung menuju ruang makan saja, yuk. Karena semua sudah disiapkan." Ethan datang dan keluarga Nicha dipersilahkan untuk masuk terlebih dahulu, yang kemudian diikuti oleh Scene di belakang. Setelah Ethan menutup pintu rumah, lelaki berumur tiga puluh satu tahun itu tampak berlari sedikit — menyesuaikan langkahnya disamping adiknya dan meninju lengan Scene sengaja.

Kini, mereka semua sudah duduk di kursi makan masing-masing, sementara Scene duduk diapit oleh ibunya dan juga Ethan—takut-takut mungkin ia akan melakukan hal yang tidak diinginkan, seperti kabur ditengah perjamuan misalnya.

"Scene apa kabar, Nak? Semakin cantik, ya," tegur Tante Amara yang menyapa Scene hangat.

"Jelas cantik, dari kecil dia yang paling cantik di keluarga Caskey." Kini Erfan—ayah Nicha juga ikut menambahi dan tertawa renyah.

Scene tersenyum kecil mendengar pujian yang dilontarkan kepadanya. Ia meletakkan alat makannya sebentar dan menjeda kegiatan menyantapnya. "Baik, Tante dan Om. Terimakasih," balasnya sopan.

"Katanya mengambil pekerjaan menjadi guru ya sekarang?" tanya Tante Amara lagi kepada Scene.

"Asisten Guru, Tante. Masih belum bisa untuk posisi guru utama, karena setidaknya Scene harus lulus pendidikan Magister terlebih dahulu."

"Ah begitu. Ternyata untuk menjadi seorang Guru Kesenian pun harus memiliki pendidikan yang tinggi ya," celetuk Erfan sambil terkikik kecil yang membuat Scene lantas sedikit menyipitkan matanya. 'Hmmm, mulai.' keluh wanita itu dalam hati yang seperti sudah sangat terbiasa mendengar kalimat-kalimat yang seperti itu. 

Sebelum Scene membuka suara, ayahnya tampak lebih dahulu memberikan balasan, "Scene masih belum siap, katanya. Dia masih butuh banyak pengalaman untuk sampai bisa punya keberanian menjadi penerus Patricia," tukas Marteen santai. "Maklum, dia masih muda, biarkan saja puas-puas terlebih dahulu dengan kegiatan eksplorasinya."

"Tapi jangan terbuai juga lah. Umur semakin bertambah, lebih baik ada keberanian dari sekarang agar lebih bisa semakin terampil nantinya."

"Scene masih belum ada niatan kemana-mana, Om, santai saja, seperti kata Papa," sahutnya yang mencoba memberikan pembelaan diri. Dalam hati kecilnya, ia ingin berteriak begitu keras karena sudah tidak sabar untuk menutup pembicaraan mereka malam ini.

"Iya santai saja, Nak. Jangan tergesa-gesa, kumpulkan pengalaman dan portfolio sebanyak-banyaknya. Karena, lebih bagus kalau kamu melangkahkan diri pada dunia Magister jika disertai dengan pengalaman kerja yang sudah matang." Tante Amara memberikan sarannya kepada Scene. 

Jangan heran jika ibu dari Nicha terlihat hangat dan lebih bisa memahami dunianya, karena Tante Amara adalah seorang Psikolog Ahli. Itulah mengapa Scene mengatakan bahwa keluarga Nicha adalah kind of type not bad but not good. Not bad, untuk Tante Amara yang bagai malaikat, sedangkan not good untuk Om Erfan yang selalu ambius akan hidupnya. Kemudian anaknya — nightmare.

Just Skies are DrawingWhere stories live. Discover now