Bab 21

16.5K 1.9K 48
                                    

Lethisa duduk di salah satu kursi di ruang tamu paviliun—bangunan tempat tinggal Edgar di istana. Tidak menunggu lama, hanya sekitar lima menit sampai akhirnya Edgar tiba. Pria itu berjalan dengan ekspresi yang hangat lengkap dengan seulas senyum yang terpatri di wajahnya.

“Maaf membuat anda menunggu, Nona Lethisa.”

“Saya tahu anda sibuk. Jadi bukan masalah,” balas Lethisa sembari tersenyum tipis—itu sekadar senyum kapitalis.

“Saya tidak sesibuk itu sebenarnya,” sahut Edgar seraya duduk di kursi kosong di hadapan Lethisa.

Arah pandang pria itu pertama kali jatuh pada perban yang melilit kedua tangan Lethisa. Edgar menatapnya dalam selama beberapa detik sebelum akhirnya menatap sang empu sembari meringis getir.

“Bagaimana kondisi kesehatan anda saat ini? Apa luka yang anda miliki masih belum sembuh juga?”

“Saya sudah jauh lebih baik. Perban ini sudah bisa dilepas besok kata dokter.”

“Begitukah? Syukurlah.”

Lethisa mengagumi bagaimana reaksi dan ekspresi Edgar. Pria itu tampak begitu tenang dan tulus, seolah benar-benar bersimpati. Sehingga tampak sangat tidak mungkin jika orang sepertinya memiliki andil di dalam sebuah kejahatan besar. Citranya adalah sebagai orang baik.

“Saya masih tidak menyangka. Bagaimana bisa Devon tega melakukan hal buruk pada anda, tunangannya sendiri, sampai sejauh itu?” gumam Edgar retoris.

Lethisa paham ke mana Edgar membawa arah pembicaraan. Ia pun tahu, jika ‘hal buruk’ yang Edgar maksud adalah soal kasus penculikan.
Perkataan Edgar berbeda dari tanggapan-tanggapan lain yang sudah Lethisa dengar sejauh ini. Yang masih skeptis dan mempertanyakan apakah penculikan itu benar ulah Devon, atau bukan. Edgar justru memberi klaim jika dirinya percaya, sekalipun pilihan kata yang ia gunakan mengarah pada intensi seolah ia juga masih tidak menyangka.

Tindakannya seakan ingin melempar kesalahannya pada orang lain lalu mencuci tangan hingga bersih.

“Sebenarnya, apa alasan Devon sampai mengirim penculik untuk anda?” susul pria itu lagi.

“Entah lah. Apa ya? Saya juga ingin tahu.”

Jawaban asal dan respons acuh tak acuh yang Lethisa beri membuat Edgar mengerjapkan kelopak mata. Sikap gadis itu terlalu tenang sampai membuatnya bingung dan penasaran.
Karena reaksi Edgar itu, Lethisa menyeringai tipis sebelum akhirnya buka suara.

“Pangeran Edgar, apa anda tahu satu rahasia besar Devon?”

“Tidak. Apa itu?”

“Sebenarnya, Devon tidak memiliki alasan untuk menculik putri dari keluarga Wesley. Tetapi, kalau untuk membunuhnya, dia punya satu.”

Wajah Edgar menegang. Namun, ia segera memperbaikinya, takut Lethisa menyadari perubahan mimik mukanya.

Sayangnya, Lethisa terlanjur menyadarinya. Itu terlambat.

“Bukan sekadar berniat menculik, tetapi ingin membunuh anda? Astaga,” ujar Edgar, berpura-pura terkejut—seolah tidak mengetahui apa pun.

Pfftt ..!”

Lethisa sudah berupaya untuk menahan tawanya. Namun, pada akhirnya pecah juga. Ia tertawa garing selama beberapa saat tanpa peduli pada Edgar yang menatapnya dengan kening berkerut dalam.

Villainess Want to Die [END]Where stories live. Discover now