Dan ya … sejak hari itu kisah persahabatanku dengan Irza kandas. Meskipun kala itu aku sudah mengalahkan egoku untuknya, tetapi ia masih saja memusuhiku dan sampai detik di mana aku dan ia berkeluarga pun masih sama. Ia semakin membenciku tanpa alasan yang berarti.

Ya, aku sekarang yang notabennya menjadi pengacara membuatnya semakin dongkol. Ia pernah bekerja denganku sebenarnya di salah satu perusahaan di Jakarta, tetapi apa? Setiap muncul kasus apapun itu, ia selalu sepi klien dan kala itu hanya aku yang mendapatkannya. Hingga tiba saatnya, sebuah kejadian naas menimpa sebuah anggota keluarga yang melaporkan tindakan pembunuhan dalam anggotanya dikarenakan ulah dari  Irza dan isterinya, Silfi. Sungguh, kala itu aku agak shock, mengapa ia sampai sejauh itu tega melakukan tindakan kriminal pada orang lain? aku tidak tahu mengapa ia berubah menjadi seratus derajat. Aku sungguh tidak menyangka sebenarnya sampai saat ini. Kala itu tepat di hari ulang tahun anakku, Genda. Dan sejak saat itu aku mulai menaruh dendam yang teramat dalam padanya.

Malamnya, sebelum kejadian naas yang mengakibatkan istriku yang meninggal dunia.

20.45 WIB

“Kau sombong sekali, Dy! Oh, kau nampak pamer dengan gelar dan honormu itu kulihat-lihat. Kau menertawakanku karena sekarang aku jadi pembunuh juga, 'kan? Ingat, kalau kau menolakku, kau pasti akan menyesali sesuatu. Ingat itu!”

“Apa maumu hah! Aku bahkan sudah
membantumu supaya kasus ini ditutup saja karena korban memang tak punya bukti yang kuat untuk melaporkanmu.”

“Ingat, aku sangat tidak mempercayaimu. Jadi, besok kau jangan menyesal.”

“Apa yang ingin kau lakukan hah!”

“Cih, si sombong.”

Sumpah, kutekankan lagi, sejak hari itu rasa simpatiku menjadi sebuah kebencian yang teramat dalam.

“Kalau kau berani macam-macam, aku tak segan membunuh anak dan istrimu itu. Bagaimana pun caranya," kata Irza.

“Kita bisa berhubungan baik, Za, tanpa perlu seperti ini. Aku tetaplah sahabatmu bagaimana pun itu meskipun kau membenciku.”

“Hmm, kau payah, ya. Lantas, serahkan saja anakmu itu pada anakku kelak kalau mereka sudah dewasa. Jadi, aku tak akan pernah melenyapkannya.”

Satu kata yang mungkin tepat untukku sendiri adalah, 'Bodoh'. Ya, benar, itu yang paling tepat karena aku seperti melakukan perjanjian dengan iblis berwujud manusia itu.

“Kayla, kau cantik sekali, Nak. Maafkan ayah, kau seharusnya tak seperti ini. Kau anak yang baik.”

“Tidak apa-apa, Yah. Aku tidak menyesali apapun. Kurasa, John menyukaiku, aku juga harus melakukan hal yang sama.”

“Terima kasih,” jawabku padanya. Sungguh, anak-anak di dunia ini tidak ada yang nakal sebenarnya, karena yang kadang lebih bejad adalah orang tua mereka sendiri. Anak-anak sering terbebani dengan istilah ‘anak durhaka’ kala mereka memberontak. Padahal, dari hati kecil mereka, hanyalah kita para orang tua.

***

‘Aku benci jika harus melibatkan cinta di saat yang serius seperti ini. Aku benci kelemahan ini! Bagiku cinta adalah kelemahan. Aku membencinya,’ batin Revan kecewa dengan rahangnya yang berubah mengeras.

“Gen, bajumu bagus. Em, mulai sekarang kau bebas memakai itu. Oh, mana kopermu? Sudah siap, bukan?" ujar Revan pelan ketika memasuki ruang kamar Genda. Ia sama sekali tak menatap lama orang di depannya, hanya sekilas tetapi berulang kali. Kedua tangannya juga dimasukkan ke saku celananya seraya matanya yang mengedar ke seluruh ruangan itu. Sementara Genda yang menyadari kedatangan Revan pun hanya menatap dengan penuh tanda tanya.

“Oh, ma-maaf ini udah aku lipat tinggal menaruhnya di koper yang kau maksud. Aku rapihkan dulu bentar," jawab Genda dengan sedikit kikuk. Sungguh, pesona Revan kali ini membuat Genda kesulitan untuk mendeskripsikannya. Ia nampak bukan manusia; wajahnya yang simetris, tak lupa setelan kemeja hitam panjang yang ditarik sampai siku, gaya rambut comma hair-nya, dan parfum dengan aroma maskulin membuat Genda terhipnotis sejenak.

"Aku bantu mencarinya," timpal Revan yang melihat Genda kelabakan mencari koper yang dibelikannya itu.

"Sial, kemana benda itu." Demi apapun, Genda sebenarnya merasakan pipi dan kupingnya memanas. Ia seperti gerah dari atas sampai bawah saat Revan di kamarnya. Ia berharap pemuda itu segera meninggalkannya saat ini juga.

"Gen ...." gumam Revan yang masih sibuk mencari koper itu di atas almari.

Bruk. Itu Revan yang baru saja turun dari kursi yang ia gunakan untuk menjangkau almari bagian atasnya itu.

"Aku bisa mencarinya sendiri," protes Genda mencoba mengusir bosnya secara halus. Ia sama sekali tak menghadap ke pemuda itu, tetapi malah membelakanginya.

"Gen ...." Revan yang tadi posisinya di samping almari dekat pintu seketika pun berjalan dengan cepat ke arah Genda.  Menarik lengan gadis itu yang memunggunginya supaya saling berhadapan.

"Tetap lah seperti ini." Revan menghembuskan napasnga pelan.

"Kau nampak menghindariku, kenapa? Apa aku terlihat akan memakanmu?" lanjutnya. Keduanya pun lantas saling pandang dengan cukup intens. Nafas Genda seketika tercekat, mendapati pinggangnya yang dipegang erat oleh tangan kekar pemuda itu. Jika ia bisa menahan napas panjang tapi masih dengan kondisi hidup mungkin saja ia sudah melakukannya. Ia benar-benar merasa kakinya mendadak seperti layu dan darahnya yang berdesir dengan cekat. Perutnya juga terasa menggelitik seperti kupu-kupu yang asyik menari di sana.

Cupp,

Kaget, detik itu juga Genda dengan refleks mengeratkan jemarinya pada pundak pemuda itu. Ia pun lantas merasakan bau mint dari mulut Revan mengenai belahan bibirnya itu. Terasa juga lidah milik pemuda itu yang bermain-main dengan lembut dengan miliknya. Mengulum miliknya hingga terdengar suara kecupan beberapa kali.

Emphh,

"Manis," gumam Revan menghentikan acara ciumannya. Suaranya terdengar sangat rendah dan membuat bulu kuduk Genda seolah berdiri dengan sempurna.

"Kau menyukainya?" Rasa hangat pun menyapu wajah gadis itu. Manik indah miliknya yang terpejam perlahan terbuka, memastikan dirinya bermimpi atau sedang di dunia nyata.

Genda sungguh merasakan nafasnya yang perlahan habis, baginya bosnya itu namak brutal kali ini. Ia tidak menyangka jika ia sangat pandai dalam bercumbu.

"Akhhh." Genda meringis pelas karna sudut bibirnya yang digigit oleh Revan tanpa aba-aba.

"Gen! Ini koper--"

Rio pun seketika menghentikan laju kakinya ke kamar Genda karena melihat pemandangan yang amat pedih, seolah menjatuhkan ribuan harapan yang ia bangun selama ini.

“Oh, kurasa dia memang lupa," hembus Rio pelan beralih pergi dari tepi pintu kamar di sana. Ia sekaligus juga meninggalkan koper yang Genda cari dari tadi tepat di ambang pintu kamar.

TBC
Vote dan komen!!

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Where stories live. Discover now