24. Too Young I•

Mulai dari awal
                                    

“Aku hanya ingin bertanya, Rev? Sebenarnya aku agak mencurigaimu karena kau ini punya ibaratnya gimana ya aku jabarinnya ... Kau punya dua perusahaan yang bagiku itu sangat unik. Langka maksudnya, kaya yang satu restoran dan yang satunya kursus bahasa. Aku tak bisa membayangkan bagaimana pusingnya dirimu. Kau kerasukan apa memangnya?” cibir gadis itu pelan.

“Hmm, aku ....” jawabnya lesu dan tak tersinggung sama sekali akan ucapan Genda kemudian menghela napasnya panjang.

“Aku tak meragukan kemampuanmu. Aku hanya heran saja, karena seumur hidupku, bertemu dengan orang sepertimu itu serasa tak mungkin. Bisa kau katakan padaku mengapa begitu?” penasaran Genda seraya menatap bosnya tanpa berkedip.

Revan POV.

Revan Agif Adhyaksa, orang-orang biasa
memanggilku Revan. Umurku baru 26 tahun, cuma kata orang-orang aku ini sudah sukses di usia muda. Ya, walaupun ukuran sukses itu tak bisa diukur seperti layaknya makanan yang punya tanggal kadaluarsa tapi kata mereka umur segini dengan keadaanku yang sekarang ya dibilang sudah sukses. Aku agak kesal sebenarnya kalau mereka hanya membahas sisi suksesnya saja, tapi tak tahu bagaimana mencapai kesuksesan itu sendiri. Sini, kuceritakan sedikit mengapa aku memilih sukses ketimbang mati tak berdaya di tengah hujan yang mengguyur ku.

Jadi, sejak tahun 2015 sebuah kejadian naas menimpaku—kejadian di mana aku kehilangan orang tuaku untuk selama-lamanya. Aku sungguh tak bisa menggambarkannya kecuali dengan satu kata yaitu 'mustahil'. Aku pun mengalami depresi berat dan ingin sekali mengakhiri hidup. Hidupku serasa hancur, kacau balau, dan aku tak tahu harus bagaimana.

Aku pernah menyalahkan keadaan sebenarnya hingga sampai aku bangkit meskipun seringkali hal itu selalu menghantuiku, pertama; aku ini cucu dari Parvez dan Utari, ini masalah karena bagiku sikap mereka yang suka sekali blaming, playing victim, manipulative, tidak tahu diri, dan menyusahkan mendiang ayah terus-menerus supaya  membayar hutang mereka; kedua, aku pernah menyalahkan mengapa mendiang orang tuaku menikah di usia muda padahal mereka, khususnya ayah masih belum punya apa-apa. Tapi di sini aku merasa sedih saat mendengar fakta yang mana aku adalah alasan mereka untuk bertahan setelah segalanya menjadi bubur; ketiga, aku selalu cekcok dengan sepupuku si John dan sampai sekarang tak tahu bagaimana cara supaya kembali membaik. Aku rasa jika John juga merasa tertekan karena orang tua dia tak kalah bejatnya seperti kakek dan nenek. Hatiku masih merasakan rasa sakit yang luar biasa kala mengingatnya.

Pastinya, tinggal dalam keluarga yang tak pernah akur membuatku frustasi berulang kali, tetapi nyatanya Tuhan semakin mengujiku sebagaimana orang tuaku yang meninggalkan dengan cara kurang wajar dan mendadak. Aku ingin membanggakan mereka dengan upaya kerja kerasku sebenarnya. Namun, keadaan berkata lain, di mana saat itu kematian ayah dan ibu yang kuduga sebagai pembunuhan dialihkan oleh kepolisian menjadi upaya tindakan bunuh diri. Aku tidak percaya begitu saja kalimat fitnah itu. Karena bagaimanapun pula, ini pasti ada kaitannya dengan paman, bibi, kakek, dan nenek.

Selain itu, alasan lain aku ingin hidup karena kulihat wajah adikku, Ria, yang masih sangat butuh kasih sayang orang dewasa. Ya, dewasa, aku mencoba dewasa untuknya juga.

Jadi, sepulang dari rumah sakit, aku pun langsung menjemput adikku di sekolah. Aku pun berpura-pura supaya seperti seolah tak terjadi apapun. Kutatap juga mata polos adikkku itu sembari menahan air mataku—kumohon jangan mengejekku karena aku menangis, aku manusia biasa yang bisa merasakan sakit juga. Kelas empat SD memangnya tahu apa? tapi, bagaimana pun pula, ia seperti peka melihat kakaknya yang berbeda dari biasanya. Ia lantas menatap sendu padaku hingga beberapa hari.

“Kak Revan tidak apa-apa? Mengapa kakak
seperti menangis? Kok gak ibu yang menjemputku? Ke mana dia?” Degg, satu kalimat yang mana membuatku semakin tak ingin membuka mata untuk menghadapi kenyataan yang ada.

“Kita habis ini ke rumah kakek ya," kataku pada Ria. Kakek Harry maksudnya, kakek dari pihak ibu. Kakek Harry ini sebenarnya hanya pria tua biasa dan bukan dari keluarga yang kaya dan beliau punya sikap yang memang sederhana dan penyayang. “Ayah sama ibu gak ada di rumah untuk waktu yang lama,” bohong diriku pada adikku. Tapi ya, bagaimana pun pula ia adalah gadis kecil yang polos dan hanya manut saja mendengarkan perkataanku.

Pasca acara perpisahan sekolah, aku pun
membuka hasil seleksi beasiswa perguruan tinggi. Aku juga telah mendaftar tiga universitas sekaligus dan dua di antaranya aku lolos seleksi. Namun, aku ini tak bisa berharap lebih karena hanya satu saja yang mana bisa memperbolehkan menggunakan jalur beasiswa full semester. Agak putus asa sebenarnya, karena aku merasa mentalku begitu terombang-ambing. Namun satu harapanku, aku masih punya Ria, ia hanya adikku satu-satunya dan ia juga harus bergantung padaku. Meskipun kakek Harry membantuku, tapi aku tak ingin merepotkan dia terus menerus. Lagian, usianya juga sudah tua dan membutuhkan banyak istirahat.

“Van, andaikata tidak seperti ini, aku tak akan merestui ibumu dengan ayahmu. Tapi gimana ya … mereka katanya juga saling cinta,” kata Kakek.

“Revan rasa, karena cinta itu alasan di balik benar atau salahnya orang mengambil keputusan. Ia sangat serakah,” jawabku pelan.

“Ingat, Van. Tuhan memilihmu karena ia menyayangimu. Karena hal ini, kau akan menjadi anak yang kuat,” lanjutnya sambil menyeruput teh hangat yang ada di depannya.

Beberapa hari yang lalu aku pun sudah berkemas dan pindah ke rumah kakek Harry. Kulihat juga wajah polos Ria yang sepertinya ia sudah tidak bisa dibohongi lagi kali ini. Ia lantas bertanya sesuatu hal yang mana kini aku harus menjawabnya dengan jujur sejujur-jujurnya.

“Maafkan kakak, ayah dan ibu sudah tidak ada, Dek. Maaf, kakak berbohong denganmu.” Mendengar hal itu Ria langsung saja menangis tetapi sesaat kemudian dia berkata padaku yang mana membuatku semakin tak tega
untuk tak bersamanya.

“Kak Revan jangan pergi, ya. Aku hanya punya kakak. Sepertinya kakak yang lebih sedih di sini karena kakak harus mengurusiku juga, hiks.” Degg, sontak jawaban dari mulut kecilnya itu membuatku semakin … ya, Tuhan. Mengapa ini harus terjadi padaku?

Panjang lebar kuceritakan hal ini, dan aku pun melihat Genda yang semakin penasaran denganku, kini aku pun mencoba menjabarkan mengapa aku bisa segila ini memiliki dua perusahaan yang kubangun beberapa tahun silam itu.

TBC

Btw, part ini aku breakdown jadi dua hehe.
Ditunggu, ya!!

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang