22. What If? •

Começar do início
                                    

"Dia bakal risih gak, ya?" lanjutnya meratapi aksinya barusan.

"Apa kau gila, Rev! kau itu menaruh harapan! Ah, sial! semoga demamku ini tak menular padanya! Tapi ... kenapa aku jadi ngerasa mendingan, ya?" racau Revan sambil mondar-mandir tidak jelas di kamarnya itu, tapi di akhir kalimatnya ia pun menyunggingkan senyuman bodoh.

"Shh, jadi Rio sudah tahu penyamaran Genda? Atau memang sudah tahu dari dulu?"

Keesokan harinya,

Suara sendok sedari tadi menggema di ruang tengah itu. Dua insan yang semalam saling berciuman tak tahu tempat itu pun hanya bisa diam sembari mengunyah makanan mereka dengan lambat. Keduanya seperti tengah beradu dengan pikiran mereka masing-masing.

"Ekhemm." Itu Ria yang berdehem mencoba mencairkan suasana.

"Apa kalian akan seperti ini terus?" tanya gadis remaja itu sembari melempar tatapannya bergantian pada dua orang dewasa itu. Ia merasa dua manusia di depannya itu begitu kekanak-kanakan.

"Aku mau ke perpustakaan. Kau tak perlu
mengikutiku, Kak," ujar Genda yang mana merasa selalu merepotkan pemuda itu.

"Sebentar," cegat Revan.

"Kau tak perlu memanggilku seperti itu lagi. Panggil saja Revan. Ya, sudah sana pergi," titahnya tanpa menatap mata Genda.

"Oke, Rev." Genda agak mengernyitkan dahinya, ia merasa jika Revan menyesal karena telah berciuman dengannya. Ia takut jika Revan hanya mempermainkannya saja.

"Mengapa menatapku seperti itu?" Revan mencoba membuka mulutnya lagi.

"Tak, apa. Ya, sudah aku pulang."

"Pakai taksi yang kupesan, Gen!"

"Iya," jawab Genda mengerti.

"Hufth." Revan lantas menghembuskan napasnya berat sesaat Genda tak ada di sana. Revan pun langsung kepikiran lagi dengan masalah restorannya yang terbakar. Ia merasa terlalu jauh, dan memang benar apa kata Rio. Terlepas dari sisi asmara, ia merasa jika performa dirinya menurun sangat drastis.

___

"Sebentar, apa si Revan jadi gila? Baguslah kalau anak itu gila. Dibawa ke psikiater juga ya? Seharusnya dia mati dengan restoran yang ia bangun itu. Aku muak melihat keturunan Reyhan," umpat Irza kesal. John pun lantas diam saja menulikan ocehan orang tuanya yang tak masuk akal itu.

"John, mengapa ibu jadi tidak yakin menjodohkanmu dengan Kayla." Silfi lantas menggerutu pada anaknya itu.

"Kau tak perlu ragu, Bu," jawab John dingin sembari menghitung hasil pendapatannya dari bisnis donatnya itu. 

"Sepertinya kita ditipu oleh Eddy," gumam Silfi sembari melipat lengannya.

"Apa yang ibu pikirkan? Apa ibu akan mempermainkan aku? Aku bukan bonekamu, Bu! Jika ini takdirku menikahi Kayla ya sudah. Ini maumu, bukan? Kau ingin uang, bukan? Kau beruntung, karena kau akan jadi besan keluarga Eddy itu!"

"John bukan begitu maksud ibu. Andaikata kau lebih sukses dari Revan, kau pasti tak akan diremehkan, John!"

"Apa? Bukannya selama ini yang meremehkan ku itu ayah dan ibu sendiri? Kalian bahkan selalu membandingkan diriku dengan Revan!"

Cih, selalu saja alasan tak nyambung untuk dilontarkan.

Sreetttt...

John pun kini lantas berdiri dari duduknya kasar, matanya nampak memerah. Menatap bergantian Irza dan Silfi kecewa. Ia tahu sekali kaitannya dengan restoran Revan yang dibakar oleh orang tuanya itu kemudian jika Eddy mengetahui kasus ini maka anak asli dari Eddy alias Genda akan dipilih sebagai calon Revan yang senantiasa lebih sukses ketimbang dirinya. John sungguh tahu alasan orang tuanya itu, siapa sih yang tidak kenal dengan Revan? Si anak serba bisa itu? Ia diam saja bukan berarti bodoh dan menerima segalanya. Di satu sisi ia dibandingkan prestasinya dengan Revan, di satu sisi ia gagal mendapatkan Genda yang mana wanita yang sangat ia sukai.

"Tanpa ibu, ayah, kakek, dan nenek membakar restoran itu Eddy paling sudah tahu siapa Revan. Dan ... pria itu pasti akan memilih Genda anaknya supaya bersama Revan. Ck, siapa yang mau denganku? Denganku yang tak sempurna ini?denganku yang mana selalu dibandingkan dengan Revan. Ah, tapi memang benar, Revan denganku memang jauh berbeda. Dia kebanggaan siapa pun. Aku juga sepatutnya bangga punya sepupu seperti dia," batin John kecewa.

"John! mau ke mana kau?!" gertak Silvi
menyadari John yang tak menggubrisnya dan pergi begitu saja.

"Ingat, Bu. Semua masalah ini berasal dari
keluarga kita yang sialan ini. Aku jadi bingung mau membelamu atau membela Revan. Pikiranku sungguh kacau menanggapi hal gila ini dari dulu," telak sudah John dan ia lantas beringsut pergi meninggalkan ibunya di sana mematung.

Lanjut, saat John akan membuka pintu kaca toko roti miliknya di sana, terlihat olehnya si Kayla yang tersenyum padanya bersama dengan tatapan teduh. Ia yang notabennya sungkan melihat tunangannya tiba-tiba saja memeluknya dengan erat.

Grepp

"Heh, kau kenapa?" Badannya pun seketika akan limbung karena John memeluknya dengan erat.

"Kay, apa kau mencintaiku?" tanya John  yang mana membuat kening Kayla mengerut.

"Bu-bukannya kau yang selama ini menolak perjodohan ini, John? Mengapa kau bertanya hal ini, huh?"

"Tidak, aku harap kau mencintaiku. Aku harap kau tulus denganku," geleng John cepat masih dalam posisi memeluk gadis itu.

"Aku..."

"Hufth, aku rasa kau mencintai Revan. Ya, Tuhan. Mengapa harus Revan, mengapa harus dia?" cerocos John.

"Haha, aku bukannya mau membela Revan. Tapi ... kau tahu, bukan? Kisahmu dengan kisahnya sama-sama menyedihkan kurasa."

"Tapi ...."

"Tapi apa? Kau harus beruntung, kau masih punya orang tua, John. Sementara dia? Dia tidak punya."

"Kau masih membelanya?" elak John nampak sedih, tapi memang benar, John tak bisa menolak fakta yang satu ini.

"Tidak, aku tak membela siapa pun."

"Kau?"

"Kenapa?"

"Kau dulu mencintainya, bukan?"

"...."

TBC

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora