19. Hush •

Mulai dari awal
                                    

"Sudah, turunlah," suruh Revan pada Ria karena kesal dengan adiknya yang kelewat cerewet itu.

'Aku punya pengalaman tak mengenakkan, Dek. Tapi tak apa, kau kan gak tahu.'--Revan.

Kriettttt.

Agak ramai seperti biasa, hanya saja kalau weekend seperti sekarang ini bisa lebih penuh pengunjungnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Agak ramai seperti biasa, hanya saja kalau weekend seperti sekarang ini bisa lebih penuh pengunjungnya.

"Kak Genda," hambur Ria pada Genda. Revan pun hanya mengekori di belakang adiknya sambil tersenyum maklum.

"Kau ke sini?" senyum Genda lebar.

"Hehe, iya. Ayo Kak, kita ke mall, kalian kan bisa menghabiskan waktu berdua." Benar memang, adiknya Revan itu kalau ngomong suka gak disaring terlebih dahulu.

"Kau ini heboh sekali, kasihan pengunjung di sini." Revan pun mencoba menenangkan adiknya itu.

"Bagaimana dengan yang datang ke perpus?" bingung Genda.

"BIARKAN AKU SAJA!" Ya, di tengah itu juga suara seseorang yang mengalihkan perdebatan mereka.

"Kak Rio?" Ria pun lantas menoleh. "Kau makin cakep aja, Kak? Haha," lanjutnya sambil terkekeh. Memang benar, gadis itu merasa jika semakin hari Rio sangat mirip idol papan atas. Rio yang menyadari menjadi pusat perhatian pengunjung pun semakin memamerkan tampang cool-nya. Wajahnya memang sangat tampan, dan membuat beberapa pengunjung perpustakaan, khususnya para cewek menatap penuh kagum ke Rio.

"Ri, bagaimana?" tanya Genda sambil tersenyum kikuk; entah mengapa, ia sebenarnya juga ingin hang-out. Revan dan Ria pun jadi saling pandang karena merasa gak enak dengan Rio.

"Iya, kau pergi saja sama Bang Revan. Ck, aslinya aku malas karena aku tidak diajak," ujar Rio yang kini bergantian duduk di kursi Genda.

"Terima kasih haha, gak usah merajuk seperti bocah SD gitu dong ah," ejek Genda seraya telapak tangannya yang dibuka; berniat mengajak Rio untuk toss.

"Hmm," balas Rio malas tapi sejenak berubah menjadi senyuman lepas. Sementara Revan, ia malah menatap interaksi Genda dan Rio dengan perasaan kesalnya. Ya, karena agak membuat dadanya bergejolak, tanpa basa-basi lagi Revan pun lantas mendahului Genda dan melenggang keluar untuk menyalakan mobilnya.

"Hei! Tunggu!" pekik Genda menyusul Revan ke luar.

***

Sepanjang perjalanan Revan nampak berpikir keras. Dahinya juga bertaut sedari tadi dan parahnya, tidak ada percakapan di mobil itu.

"Kak, Rev. Apa yang kau pikirkan?" tanya Genda dari samping. Revan pun menoleh ke arah gadis itu secara sekilas. Jakunnya pun naik turun karena menelan saliva-nya berkali-kali. Semacam orang yang sedang nervous ketika bersanding dengan crush-nya.

"Ti-tidak. A-aku tidak memikirkan
apapun," jawab Revan singkat karena entah kenapa jantungnya sekarang seperti berdegup tak beraturan.

"Hmm," angguk Genda paham. Ia pun
memandang ke arah luar jendela mobil itu sembari menyadari berulang kali mengapa ia sering kali menaiki mobil Revan. Ia hanya heran saja, mengapa ia bisa begitu dekat sekali dengan bos-nya itu. Padahal, kalau dipikir ia ini siapa?

Fall on Deaf Ears [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang