32. Megalodon di Segitiga Bermuda

670 102 3
                                    

Entah sudah hari ke berapa Biru masuk ke sekolah dengan kaki empatnya, ia tak ingat, atau lebih tepatnya tak ingin payah mengingat. Dan selama itu, Biru selalu merepotkan Nebula. Meski pemuda itu ia abaikan, Nebula tetap tak peduli dan terus ada di sisi Biru. Biru tahu Nebula marah saat melihat dirinya dan Arvin pergi kala itu. Tapi, Nebula berhasil menjadi laki-laki sejati dengan mengontrol emosinya setelah memeluk Biru sebentar.

Kini, saat jam istirahat, Biru memberanikan diri untuk ikut Zahira makan di kafetaria seperti biasa, dengan bantuan Nebula tentunya. Mereka berdua duduk agak memojok ke tembok, dan Nebula duduk sendirian di meja lain sambil mengawasi Biru.

Kafetaria tampak normal dengan wajah ramainya. Namun Biru harus mengulum bibir tatkala mendengar beberapa murid berbisik mengasihaninya. Sementara Zahira, gadis berkaca mata itu menatap Biru tak enak. Seharusnya mereka tak ada di sini, bersanding bersama manusia-manusia berlidah tajam.

Dari bangkunya, Nebula menyadari gerak-gerik tak nyaman yang dilakukan Biru. Lantas ia baru menyadari bahwa mereka sedang berada di kandang ular. Lalu Nebula dengan kejamnya menggebrak meja. "APA YANG LO PADA LIAT, HAH?!" Nebula menatap tajam mereka satu persatu hingga mereka ciut dan berpaling ketakutan, tak ada yang tak takut dengan Nebula setelah tahu perangai buruk pemuda itu yang tempramental.

Zahira yang melihat Nebula mengamukpun takjub. "Gitu-gitu Nebula romantis, ya, gak?" godanya pada Biru.

Kemudian sang empu yang tadi melamun langsung mendelik. "Terus?"

Sontak Zahira menghela napas lelah lalu memasukan sesendok nasi ke mulutnya. Ia lelah sebenarnya untuk menyadarkan Biru bahwa betapa beruntungnya ia memiliki Nebula. Tapi Biru malah apatis, dan kembali memandang sendu Arvin dari jauh yang sedang menyuapi Natya. Sakit, sakit banget tapi tak ada darahnya. Sama seperti namanya, Biru, selain warna ia adalah lebam dan Biru punya lebam di hatinya.

Zahira semakin yakin dengan seratus persen jika Biru terkena dampak pelet milik Arvin yang menjurnya bukan main. Haruskah ia membawa Biru ke ustadz untuk diruqyah?

"Jah," panggil Biru lesu. "Gue mau cerita boleh?"

"Bolehlah, yakali enggak."

Biru meletakan sendoknya terlebih dahulu sebelum mulai berkisah kilas balik kejadian hari Minggu saat Arvin mengajaknya jalan-jalan.

"Dia bilang, dia ngelakuin itu semua karena Natya ... bukan karena gue."

Lantas Zahira menatap Arvin sekilas tak habis pikir setelah mendengar cerita Biru yang panjang kali lebar tapi berujung nyakitin. "Fiks, tuh cowok gila! Gak punya hati!"

"Sakit banget," cicit Biru cemberut melirik wajah tampan laki-laki pujaan hatinya dari jauh. Dia tuh, definisi Romeo yang ingin Biru gapai tapi sadar kalau Romeo butuhnya Juliet, bukan Cinderella yang masih jadi upik abu.

Zahira menghela napas gusar. "Udah gue bilang, Arvin itu kulkas seribu pintu, Ru! Masih aja lo kejar!"

"Ralat! Kalau Arvin kulkas seribu pintu, harusnya hati dia gampang dibuka dong. Yang pantes itu, kulkas tanpa pintu! Gak bisa dibuka," sanggahnya menggerutu.

Mata Zahira di balik kaca matanya berotasi malas. "Terserah, deh, terserah!" Zahira heran, Arvin ngedukun di mana?

-'- -'- -'- -'- -'-

Sewaktu hari hampir mendekati awal sore hari, di mana jingga pada senja selalu terpancar indah ketika langit sedang tak mendung, Biru izin pada Nebula untuk ke kamar mandi sendiri sebentar sehabis kelas bubaran. Tentunya, Biru beranjak dari kelas usai memastikan tak banyak orang yang melewati lorong. Ia tak ingin menanggung risiko tersandung sebab berdesakan dengan murid lain.

LautanWhere stories live. Discover now