21. Biru Membiru

668 100 1
                                    

Sampai Biru selesai mengobati luka di wajah Nebula, hujan tampaknya masih tak ingin berhenti jatuh. Biru dan Nebula berjalan tak berdampingan di lorong yang sudah sangat sepi. Biru berjarak di depan Nebula sambil menatap dera hujan yang membuatnya overthinking tak bisa pulang. Sebenarnya Biru membawa payung, namun hujan terlalu deras hingga membuatnya malas basah-basahan.

"Lo mau ke mana?"

Gadis itu kembali jengkel mendengar pertanyaan Nebula yang sudah terlontar untuk yang kesekian kalinya sejak Biru memohon untuk dibukakan pintu UKS berdalih ingin segera pulang. "Rumah nenek buyut lo," jawab Biru jengah bermaksud tak serius, bercanda.

"Oh. Ke kuburan?"

Biru memejamkan mata sejenak menahan kejengkelan yang masih terpendam, terlebih mendengar suara Nebula yang sangat menyebalkan dari belakang. Terserah lo, deh! Terserah!

Perjalanan mereka sudah sampai di ujung lorong, lebih tepatnya di lobi sekolah dekat parkiran yang terbuka. Biru berdiri hampir di ujung tempat teduh. Menatap langit yang masih mendung bergemuruh, ia menghela napas. Sedangkan Nebula yang berada tepat di belakangnya hanya memandang santai sampai Biru mengeluarkan payung biru tua dari dalam tas.

Kemudian sebelah alis Nebula terangkat tanda tanya saat begitu Biru berbalik menghadapnya, gadis itu langsung menyodorkan payung tersebut padanya.

"Nih, lo pake payung gue aja buat pulang. Luka lo baru aja diobatin, nanti perih kena air hujan."

Nebula mengangguk dan menerimanya. Tanpa diduga oleh dirinya, Biru langsung pergi menerobos hujan meninggalkannya. Nebula berdecih melihat punggung gadis itu yang mulai kebasahan. "Perih? Gue nggak selembek itu," gumamnya sambil membuka payung itu untuk melindungi diri dari hujan dan mulai mengejar Biru. Saat sudah dekat, Nebula menarik tas dia agar masuk di bawah naungan payung.

"Apa?" tanya Biru dengan sedikit raut kesal sebab Nebula suka sekali menarik-narik orang tanpa aba-aba. Pikirnya, apa susahnya memanggilnya dengan nama? Toh Biru tidak tuli.

Nebula masih menatap lurus seiring mereka kembali berjalan tanpa sadar menuntun Biru menuju mobil hitamnya yang terparkir. "Gue nggak mau besok duduk sendiri."

-'- -'- -'- -'- -'-

Plakk!

Dengan tertunduk sangat dalam, Biru memegang pipinya yang panas bekas tamparan Andri, sambil menahan tangis yang begitu mendesak. Lagi-lagi sangat perih menyakitkan. Kemarin di kelasnya diadakan ulangan harian, setelah hasilnya keluar, dengan takut Biru menyimpan rapat-rapat tentang nilainya. Namun hari ini, entah bagaimana bisa, Papanya mengetahui hasil dari nilai Biru yang sangat memprihatinkan. Semua nilainya anjlok.

Papanya datang-datang pulang dari kantor berteriak marah menghampiri kamar Biru dan tanpa segan langsung menamparnya. Membentaknya. Biru takut, Biru butuh Samudra.

Emosi Andri tersulut dengan sendirinya mengingat nilai sang putri yang amat sangat mengecewakan. Pria setengah baya itu menjewer telinga Biru, menyeretnya ke kamar mandi. Menghempaskan gadis itu yang terkejut ke bawah shower. Andri menyalakan alat itu hingga airnya mengalir deras mendera tubuh Biru di suasana malam. Dingin.

Papa mengangkat kasar rahang anaknya agar menatap ke arahnya. Kedua lingkaran mata gadis itu sudah memerah.

"Kenapa nilai kamu sampah?!"

"Papa kurang apalagi didik kamu?!"

"Papa selalu manjain kamu, tapi ini balasan kamu sama Papa? IYA?!"

Biru mulai meneteskan air matanya dan terisak takut melihat tatapan nyalang milik Andri. "SEHARUSNYA KAMU CONTOH SAMUDRA! SAMUDRA SELALU BANGGAIN PAPA, NGGAK KAYAK KAMU YANG BISANYA MALU-MALUIN PAPA! NGGAK ADA YANG BODOH DI KELUARGA INI, CUMA KAMU YANG BODOH, SABIRU!"

LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang