23. Terombang-ambing

609 108 4
                                    

Dari sudut pandangnya, Biru berpikir semua baik-baik saja. Tak ada kejadian atau pertengkaran apapun di antara dirinya, Papa, maupun Samudra. Biru yakin akan hal itu. Namun entah mengapa, akhir-akhir ini Biru merasakan atmosfer canggung yang begitu pekat di sarapan pagi kali ini.

Biru biasanya selalu melihat sebuah ketenangan pada diri dan raut wajah Samudra setiap harinya, tapi kini yang ia dapati hanya gerak-gerik kaku dari kembarannya. Pandangan Samudra tampak sedikit kosong, seakan air dalam dirinya perlahan surut mengering. Sedangkan Papa, juga macam tak seperti biasanya.

Biru sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di balik punggungnya. Apa yang terjadi di antara dua laki-laki yang paling Biru sayang. Yang dapat dirinya lakukan kini hanyalah diam seolah tak sedang merasakan hal yang aneh. Jujur Biru ingin menanyakan banyak hal pada mereka, namun mulutnya malah terkunci rapat.

Akhir-akhir ini, Samudra sering pulang larut tanpa alasan jelas macam tak seperti biasanya--yang pulang larut hanya dua kali seminggu atau bahkan tidak sama sekali. Membuat Biru sering cemas pada Samudra juga Papanya--yang sekarang pulang kantor lebih lama.

Ketika Samudra pulang dan baru saja menutup pintu rumah, Biru tanpa ragu langsung menerjang kembarannya dengan sebuah pelukan kekhawatiran. Gadis itu mengurai pelukannya, ia menodong Samudra dengan banyak pertanyaan. Namun yang Biru dapat hanya senyuman tipis dan perkataan yang selalu sama; "Nanti, ya? Sam capek, mau istirahat. Biru tidur sana, udah malem, jangan tungguin papa. Papa ... bakal lama pulangnya.". Di sana, Biru berakhir menatap sendu punggung tegap Samudra yang perlahan menghilang dari pandangannya.

Hari minggu ini, Biru tak lagi mendapati gorden kamar tersibak dan kembarannya cerewet pagi-pagi untuk sekedar membangunkan Biru, seperti minggu kemarin. Gadis itu bangun sedikit siang dari biasanya--jam tujuh pagi. Ia merenung sambil terduduk di atas ranjang, lalu melirik tirai yang masih tertutup.

Kembaran Samudra itu memutuskan bangkit menghampiri arah pandang matanya, membuka lebar-lebar tirai membiarkan rambatan cahaya mentari masuk ke dalam kamar. Hal pertama yang Biru lihat adalah Nebula yang bertelanjang dada. Pemuda itu tampak sedang duduk di kursi yang terletak di balkon sambil memainkan gitar.

Jantungnya terasa sedikit berdebar terkejut, Biru menelan ludah dan menghembuskan napas saat Nebula sadar akan pasang mata yang sedang menatapnya. Kemudian dengan jengah, Biru kembali menutup tirai jendela kamarnya begitu Nebula tampak menyeringai kecil. Sial sekali, pagi-pagi ia sudah olahraga jantung. Menyebalkan. Biru menepuk-nepuk kedua pipinya mengusir bayang-bayang Nebula dari benaknya sebelum memutuskan untuk mandi.

Seusai membersihkan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, Biru bersiap mengunjungi kamar Samudra. Ia sudah ada di depan pintu kamar kembarannya yang terdapat tempelan tulisan 'Samudra Ganteng Anaknya Bapak Andri'. Biru tersenyum kecil, jujur saja jika itu dirinya yang menempelkan tempelan tersebut. Agar pintu kamar Samudra yang sekarang sama seperti pintu kamarnya di rumah lama. Biru masih ingat, jika dirinya pertama kali menempelkan tempelan macam ini pada pintu kamar kembarannya sewaktu Biru masih SD. Sebab waktu itu, Biru sering memuji Samudra tampan mirip Papa.

Tok tok tok

"Samudra?" panggil gadis itu sedikit mengeraskan suaranya.

Tak lama, suara lembut khas Samudra menyahut terdengar tepat di balik pintu, "Biru ... Samudra lagi nggak mau di ganggu dulu."

Senyuman milik gadis itu meluntur, menurunkan kepalan tangannya yang ia gunakan untuk mengetuk pintu kamar Samudra. Ada rasa sakit dan kecewa terselip di balik dadanya. Biru semakin dibuat tak mengerti. "O-Oke," timpalnya sambil menunduk dalam sebelum pergi.

Sampai di kamarnya, Biru meraih gawai dan membuka room chat-nya dengan Samudra, lalu mengetikkan sesuatu padanya.

Sam, kalau punya masalah, cerita sama Biru, ya?

LautanWhere stories live. Discover now