5. Buaya Mabok Laut

1K 156 1
                                    

Tok tok tok

Biru mengetuk pintu kelas yang sudah tertutup lantaran bel masuk sudah berbunyi beberapa detik lalu. Sedikit was-was takut terlambat karena tadi dirinya sempat kesulitan untuk mencari kelas yang dimaksud Papa.

Pintu kelas terbuka, seorang wanita berpakaian formal dengan raut wajah jutek menyapanya seakan sedang tak bersahabat.

"Mau cari siapa?"

Tiba-tiba Biru jadi gugup dan spontan menggaruk belakang kepalanya sekilas seperti orang linglung. "S-saya ... murid baru."

"Ohhh ... " Dia mengangguk paham sembari sedikit menilai penampilan Biru dari atas sampai bawah. Risih sebetulnya. "Kenapa terlambat?"

"Nyari kelasnya susah tadi, Bu. Maaf." Kepalanya sedikit tertunduk dengan ekspresi tak enak.

Guru itu hanya berdehem menanggapi. "Masuk."

Jutek amat.

Mereka masuk ke dalam kelas. Semua atensi murid yang memang sedari tadi memandang intens penasaran ke arah pintu lantas langsung tertuju pada perawakan sederhana Biru. Jujur saja, tatapan mereka membuatnya sedikit kaku dan menciutkan kepercayaan diri yang susah payah dibangun.

"Jadi, anak-anak. Kelas kita ada satu murid baru pindahan dari mana? Sebutkan juga nama kamu sendiri." Kepala wanita itu menoleh ke arahnya.

"S-Saya dari Bandung dan nama saya ...  Sabiru Almada."

Njir ... bisa cupu juga gue, ya, ternyata, batinnya menahan kegelian.

"Bu! Kok murid barunya cewek sih?"

"Iya, kok cewek?"

"Yah, kecewa hati ini."

"Lo gimana sih? Katanya cowok!"

"Ya nggak taulah, bego! Gue cuma nebak dari namanya."

"Realita yang tak sesuai ekspetasi. Muridnya cewek dan gue nggak mau jadi lesbi."

Biru memberanikan diri mengedarkan pandangannya menatap mereka dari ujung ke ujung. Rautnya bingung, ia mengaruk pipi kanannya yang tak gatal. Mungkin otaknya butuh asuransi. Emang mereka mikirnya apa, sih? Berharap Biru waria, gitu? Atau makhluk hermafrodit berkelamin ganda macam cacing?

"Mampusin, jangan?"

"Gue gebet sabi kali, ye?"

"Monggo, cocok lo berdua. Sama-sama punya gen pertiangan."

"Dia cewek yang di lorong sama Dafa itu, bukan, sih?"

"Maybe yes, maybe no."

"Kurang cantik tuh cewek."

"Lebih tepatnya kurang sexy."

Dalam batinnya, Biru mulai mencibir diam-diam pemuda yang tadi mengatainya kurang cantik dan sexy.  Emang situ ganteng? Kalau gue lagi nggak profesional, udah gue mutilasi otak kosong lo itu.

"Heh! Diam dulu kalian!" sentak guru mereka membuat perdebatan yang berdegung layaknya suara ribuan lebah terhenti.

"Baik, saya wali kelas kamu dan kamu boleh duduk di mana saja bangku yang kosong."

Biru mengangguk, kaki kakunya mulai melangkah menuju kursi kosong di paling belakang. Berdebu, membuat gadis itu meringis kecil seraya mengeluarkan tisu dan mulai membersihkannya sebelum kursi itu menjadi tempatnya duduk selama semester ini.

Mirisnya ia duduk sendiri di tengah para murid yang duduk sepasang, hal itu semakin mempertebal kalau Biru itu jomblo ngenes.

Beres, guru di depan sana mulai membuka mata pelajarannya hari ini, kebetulan mata pelajaran wali kelasnya hari ini jam pertama. Melihat guru itu membawakan mata pelajaran Prakarya, membuat Biru sedikit bersorak dalam batin sebab barangkali wali kelasnya bukan guru mata pelajaran Matematika lagi. Biru semacam trauma. Meski Ibu itu judes, tapi bisa saja galaknya tidak sampai melebihi Bu Sri kalau marah.

LautanWhere stories live. Discover now