18. Sinar Sang Surya

522 82 2
                                    

Pada jam pertama, di bangku paling belakang tempatnya duduk sejak pindah, Biru awalnya memperhatikan guru Bahasa Indonesianya dengan khidmat, namun tiba-tiba tubuhnya menegang kecil saat merasakan perutnya memberi sinyal pertanda. Sontak fokus Biru terpecah, ia tak bisa memahami apa yang sedang dijelaskan Bu Risna. Ia meremas perutnya sambil menggigit bibir bawah.

Biru lantas menepuk bahu Zahira di depannya yang duduk bersama Zaira. Setelah Zahira menoleh, Biru baru berbisik. "Jah, gue kebelet nih, nggak papa gue izin ke kamar mandi?"

Zahira yang semula mengerutkan dahi berubah mengangguk. "Izin dulu sana sama Bu Risna. Mau gue anterin?"

"Nggak papa, gue bisa sendiri."

Setelah tersenyum tipis pada Zahira, Biru beranjak dan meminta izin ke kamar mandi pada Bu Risna. Usai mendapatkan izin dan keluar kelas, Biru lantas langsung berlari kecil di lorong menuju kamar mandi. Ia masuk ke salah satu bilik dan keluar beberapa saat kemudian.

Biru mendekati wastafel dan mencuci tangannya menggunakan sabun. Lalu dia keluar, menyusuri lorong dengan perasaan lega. Namun langkahnya harus terhenti saat ia melihat sosok pemuda sedang berlari keliling lapang outdoor dengan wajah datar. Arvin. Peluh tampaknya sudah membanjiri wajah tampan milik pemuda itu.

Kembaran Samudra itu meringis tak tega, ia lantas membalikan langkah menuju warung di Kafetaria. Lalu tak lama kemudian Biru memutuskan untuk mendekati Arvin--yang sedang duduk di pinggir lapangan tempat terteduh--dengan membawa sebotol air dingin dan tisu kemasan.

Tidak tampak ada guru yang menjaga Arvin saat seperti sedang melakukan hukuman kala itu, makanya gadis itu berani nekat untuk tidak kembali ke kelas dan malah mendekati dia.

Setelah berdiri di samping Arvin duduk, Biru menyodorkan air mineral tersebut. Arvin yang semula sedang mengatur napasnya lantas terpaku pada air mineral itu dan menengadah pada Biru yang rupanya tengah tersenyum tipis.

"Kok nggak diambil? Tangan Biru bentar lagi pegel lho."

Pemuda itu langsung memalingkan wajah seakan enggan menatap wajah Biru. Berakhir, kembaran Samudra menghela napas kecil. "Arvin, bisa, nggak, gengsinya dikecilin dikit? Arvin emang nggak haus? Keringet Arvin juga banyak, Biru bawa tisu buat Arvin."

Namun pemuda dengan wajah sedatar triplek itu nyatanya masih mendiaminya. "Biru tau kalau Arvin lagi haus, capek. Gimana enggak? Arvin tadi telat masuk, 'kan? Terus di hukum, 'kan, sama Pak BK buat lari keliling lapangan dan push-up dua puluh kali?"

Biru tahu sedikit apa yang terjadi dengan Arvin, karena saat habis dari ruang teater, Biru tak sengaja melewati gerbang masuk dan melihat Arvin mengacak rambut frustasi di atas motor sport-nya. Kala itu Biru tak bisa menolongnya karena Dafa langsung menyeretnya saat bel masuk berbunyi. Dan soal hukaman, Biru tahu saat membaca kertas peraturan sekolah dan sanksinya jika melanggar.

"Beneran nggak ma--" Sebelum Biru dapat menyelesaikan ucapannya, Arvin langsung merebut botol air mineral itu darinya.

"Makasih," cicit pemuda itu yang bahkan hampir tak terdengar sebelum membuka tutup botol dan langsung menegaknya rakus.

Biru mengulum senyumnya dan memutuskan duduk di samping Arvin. "Ngapain lo?" celetuk pemuda itu saat kembali menoleh usai berhenti minum.

Gadis berponi itu mengerjapkan matanya sebentar. "Duduk lah."

Raut wajah Arvin kian datar sambil kembali menegak air dalam satu tegukan. "Sana ke kelas." Tampak kembaran Samudra itu sedikit memajukan bibirnya mendengar Arvin mengusirnya.

"Nanti aja, Biru mau nemenin Arvin dulu."

Pemuda itu berdecih. "Keras kepala," gumamnya sangat kecil.

Saat pandangan mata Biru terpaku pada keringat Arvin yang bercucuran, gadis itu dengan peka menyodorkan sebungkus tisu padanya. "Buat ngelap keringet kamu. Atau ... mau Biru elapin?"

Arvin merebut sebungkus tisu itu sambil melirik Biru tajam. "Tangan gue masih berfungsi." Lalu ia merobek asal bungkus tisu dan mengeluarkan beberapa lembar untuk mengelap kulitnya yang berkeringat.

Hening merayap perlahan, Biru agaknya macam sedang bergelut dengan pemikirannya sendiri. Gadis itu kembali memikirkan rencananya sendiri tadi malam untuk menjadi teman ngobrol yang asik untuk Arvin. Namun, Biru bingung apa yang harus diobrolkan bersama pemuda dingin itu. Ini sulit baginya yang selalu mati topik.

"Arvin." Pemuda di sebelahnya tak menyahut, tapi Biru yakin jika dia mendengar panggilannya.

"Gimana sih jadi teman ngobrol yang asik?" tanya Biru saat tak kunjung juga menemukan topik yang pas.

Sedangkan Arvin yang sedang menatap lurus ke depan langsung mengerutkan dahi. Cewek freak! "Lo tanya aja sana sama satpam sekolah," kata pemuda itu sinis. Ia beranjak dan tanpa peduli langsung melemparkan botol dan tisu pemberian Biru ke sembarang arah sebelum berlalu pergi.

Gadis itu terdiam, menatap punggung kokoh Arvin yang perlahan tertelan jarak. Ia tersenyum getir amat kecil. Gatot! Gagal total.

Brukk

Mendengar suara sesuatu jatuh tak jauh dari tempat dirinya duduk, Biru menoleh ke sumber suara. Mendapati seorang gadis jatuh di atas bebatuan kasar di pinggir lapangan sambil merintih saat lututnya terluka. Biru lantas mengusap tengkuknya. Haruskah ia tolong gadis itu? Sepertinya, ya.

Biru tak enak jika langsung kabur pergi saat gadis yang terluka itu menangkap pandangannya. Hingga pada akhirnya, kembaran Samudra itu beranjak mendekati gadis itu sambil mengulurkan kedua tangannya.

Gadis berambut panjang itu menengadah dan membuat Biru menggumam nama Natya dalam hati. "Ayo, aku bantu," ucap Biru tersenyum tipis.

Lantas Natya membalas tersenyum dan menerima pertolongan dari Biru. "Makasih," sahut Natya tatkala berhasil berdiri dengan menumpukan keseimbangannya pada Biru.

"Aku antar ke UKS aja, ya?"

Setelah Natya mengangguk, Biru memapahnya dengan sabar dari lapangan hingga UKS. Sampai di sana, mereka tak melihat satupun penjaga UKS. Namun di depan pintu terdapat kertas pemberitahuan yang menempel. Di dalam tidak ada petugas, jika ada sesuatu hal yang genting, silahkan hubungi petugas menggunakan telepon di dalam UKS, sekian terimakasih.

Biru menghela napas, sepertinya ia akan bolos untuk yang pertama kalinya. Sementara Natya meringis tak enak dan berkata, "Eum ... kalau kamu mau ke kelas, ke kelas aja. Aku bisa sendiri kok, ga enak juga merepotkan kamu sebenernya."

"Nggak papa, aku bantuin obatin luka kamu," balas Biru sambil menuntun Natya duduk di ranjang UKS; di salah satu bilik terdekat. Gadis dengan poni tipis itu mengambil kotak P3K di lemari, membukanya, kemudia ia mulai membersihkan luka goresan di lutut Natya yang lumayan besar; tak terlalu besar.

Beruntung dulu Biru pernah diajarkan oleh Samudra bagaimana mengobati luka serta menggunakan P3K dengan baik dan benar. Jadi Biru tak kelihatan terlampau bego.

Sesekali Natya meringis merasakan perih di lukanya ketika Biru menutupnya dengan plester tanpa motif. Setelah selesai, Biru kembali membereskan kotak P3K. Sebelum gadis berponi tipis itu beranjak hendak menyimpan kembali kotak P3K ke tempat asalnya, Natya tiba-tiba menahan Biru. Dia tersenyum sangat ramah, hingga Biru kembali tak enak jika tidak membalasnya juga.

"Makasih karena kamu mau nolongin aku. Nama kamu siapa?"

Biru terdiam mencerna pertanyaan Natya sejenak. "Aku Sabiru." Biru tersenyum tipis, ia jadi teringat pada pertemuan pertamanya dengan Arvin.

Lalu Natya mengangguk paham. "Aku Natya."

Udah tau.

"Oh iya, Kamu pacarnya Arvin, ya?" tanya Natya tiba-tiba dengan nada begitu antusias. Entah mengapa Biru jadi canggung. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

"B-Bukan."

Dengan sekejap raut wajah Natya berubah lesu. "Yah ... padahal aku seneng banget kalau Arvin punya pacar, nanti aku bisa punya temen baru juga."

Biru tidak mengerti.

"Tapi, meskipun kamu bukan pacarnya Arvin, kamu mau, 'kan, jadi temen baru aku?"

LautanWhere stories live. Discover now