10. The Real Pangeran

714 105 3
                                    

Pemberitahuan guru rapat dan semua murid di pulangkan lebih awal adalah hal yang paling menyenangkan bagi Biru. Lihat saja tingkahnya yang memberikan lambaian tangan ceria pada Zahira saat di depan gerbang. Zahira hanya bisa menggelengkan kepala aneh sebelum masuk mobil, tak ayal ia juga membalas walau singkat.

Biru melangkah dan menaiki bus. Kendaraan kotak berwarna biru itu pergi meninggalkan persinggahan halte. Seusai Biru sampai di depan pagar rumah, gadis itu merogoh tasnya, hingga dirinya sama sekali tidak menemukan kunci rumah beserta kunci gembok pagar yang dicari. Biru terdiam mematung, jantungnya seakan berhenti berdetak selama satu detik, mengerjapkan mata cepat sejenak.

Gadis itu menepuk jidat. Biru ingat, ia tak sengaja meninggalkan duplikat dari kunci asli di atas meja ruang tamu saat hendak pergi. Sekarang, Andri lembur, dan Samudra kerja kelompok sampai malam. Membuat Biru mengumpat kesal dalam batin. Bego, kenapa gue bisa sepikun ini?

"Anjim banget hp gue mati," runtuk Biru ketika gawainya tak bisa menyala.

"Astaga. Sial banget idup gue," lirihnya pasrah. Ia menatap pagar hitam rumah dengan tatapan sayu. "Bisa sih gue panjat-" Tatapannya jatuh pada rok sekolahnya. "Tapi gue pake rok. Nanti kalau aset gue keliatan sama orang, gimana? Mau taro di mana muka dan harga diri gue?"

Menghela napas kasar, Biru sedikit menengadah dengan menjadikan tangannya sebagai penghalang bagi sinar matahari siang bolong menusuk netra. "Masa gue harus ngegembel gitu sampe malem? Mana panas banget lagi, jangan sampe kulit gue jadi item, skincare mahal."

Hingga akhirnya mata milik Biru menyapu sekitar. Jalanan komplek yang sepi, tidak ada orang. Biru meneguk saliva kehausan sambil menggaruk tengkuk. Dengan kaku, Biru turun, jongkok sambil bersandar pada pagar. Pegel tau.

Tidak ada pilihan. Uangnya sudah habis jika dipakai pergi untuk sejenak, ke kafe misalnya.

Tak kehabisan akal, Biru mencari jas hujan tas yang bisa ia jadikan sebagai alasnya untuk duduk. Ia duduk, mendekap tasnya di pangkuan.

"The real gembel. Moga nggak ada orang yang lewat deh," lirihnya seraya meringis. Menggosok-gosok perpotongan lengannya yang terasa tersengat sinar matahari.

1 detik, 1 menit, 30 menit. Biru tidak henti melirik jam.

"Astaga, Nak! Kamu kenapa duduk di luar pagar begitu?"

Sabar nggak boleh ngumpat.

Kepala Biru menengadah menatap seorang wanita paruh baya cantik yang sedang menggendong seorang anak laki-laki berusia 7 bulanan. Biru terkekeh serta menyengir kaku padanya. Demi kulit kerang ajaib, malu banget!

"In-Ini, Bu. Saya lupa bawa kunci rumah. Orang-orang rumah lagi pada nggak ada, dan mereka bakal pulang nanti malam. Sama hp saya juga mati. Hehe."

Konyol banget!

-'- -'- -'- -'- -'-

Dengan rasa tak enak yang melingkupi Biru, gadis itu duduk kaku di sofa rumah mewah setelah ibu-ibu tadi menungutnya. Dia menawarkan Biru untuk menunggu di rumahnya dari pada berdiam diri di depan pagar macam pengemis. Biru hanya mengiyakan dalam hati dan mau tak mau harus ikut. Dan di sinilah kembaran Samudra yang bodoh itu sekarang.

Tak lama, Ibu yang menggendong anak laki-laki tadi menghampiri Biru dengan satu orang wanita yang lebih tua membawakan nampan. Ibu itu duduk di dekat Biru dengan senyuman ramahnya. Dan Ibu yang satu lagi, bersimpuh untuk meletakan dua es jeruk di atas meja ruang tamu.

"Selamat dinikmati, Non, Nyonya. Saya permisi." Sebelum dia pergi, Biru sempat membalas senyumannya.

"Oh, iya. Namamu siapa, Nak?"

LautanWhere stories live. Discover now