13. Dahaga di Gurun

594 93 0
                                    

Dengan baju santainya, Biru duduk di sofa panjang sambil memegang remot kendali. Menghadap pada televisi yang menyala menyiarkan siaran sinetron. Sedangkan tepat di sampingnya, terdapat Samudra sedang membaca buku tebal berusaha tidak terusik.

Mendengar derit pintu tertutup, mereka menoleh mendapati Andri berjalan dan menghempaskan diri di sebelah Samudra duduk. Andri tampak lelah sembari mengurut keningnya yang pening.

"Papa? Kenapa? Ada masalah di kantor?" tanya Samudra penuh perhatian, tak macam Biru yang hanya melirik sekilas lalu apatis. Anak durhaka memang.

Sang Papa lantas berusaha tersenyum tipis. "Ga papa, Sam," jawabnya mengelus kepala Samudra sekilas. "Sam. Papa udah dapet pembantu buat ngurus rumah sama kalian."

"Beneran? Umurnya berapa?" serobot Biru tiba-tiba masuk ke dalam pembicaraan membiarkan balasan Samudra tertahan diujung lidah.

Seketika dahi Andri mengerut tanda tanya. "Ngapain kamu nanyain itu?"

Bibir Biru seketika mengerucut kecil. "Kalau pembantunya masih muda, cantik, seksi, gimana? Biru nggak suka! Gimana kalau Papa kegoda? Atau ... " Biru menggantukan kalimat guna melirik kembarannya. "Nanti kalau Sam ikut-ikutan juga gimana?"

Kelereng mata Samudra seketika membola menatap Biru. "Kok kamu nyeret Sam, sih? Aku itu anak baik. Lagian selera aku bukan tante-tante."

Andri menghela napas lelah menanggapi reaksi anak gadisnya yang terlalu berlebihan. "Besok, hari minggu, pembantunya bakal dateng."

-'- -'- -'- -'- -'-

Hari ini adalah hari paling ditunggu-tunggu oleh kebanyakan pelajar. Hari di mana Biru tidak usah berpusing-pusing untuk membiarkan otaknya terus berputar macam mesin kontraktor. Dengan senyuman samarnya, Biru bergelung nyaman memeluk guling. Suasana hatinya baik sekali saat mengingat hari minggu, membuatnya bisa tidur lebih lama lagi. Terlebih bermimpi Arvin mengajaknya berkencan romantis.

Biru masih mendengkur halus, meski tirai jendela kamarnya perlahan tersingkap membuat cahaya langsung menerpa wajah. Biru menggeliat, merubah posisi tidurnya membelakangi asal cahaya, lalu lanjut tidur.

Sementara Samudra, sang pelaku, yang terlihat baru saja mandi berdecak kesal melihatnya. "Kebiasaan, mentang-mentang hari minggu." Pemuda itu mendekat ke bibir ranjang kamar, lalu berkacak pinggang macam emak-emak.

"Biru!"

"Mmm?" sahut Biru setengah sadar.

"Ish! Bangun!" Samudra mulai merangkak dan mengguncang tubuh kembarannya.

"Apa sih? Aku masih mau tidur tau! Jarang-jarang aku bangun telat, jadi nggak usah ribut!" gumam Biru dengan tak kalah sebalnya dengan mata yang masih tertutup rapat.

Kelereng mata Samudra berotasi. "Sabiru Atmaja!"

Tanpa aba, Biru bangkit dari ranjang, duduk menghadap Samudra sambil melayangkan tatapan setajam silet, tak lupa dengan wajah bantalnya yang masih melekat. Membuat Samudra mengulum senyum geli.

"Nama aku Sabiru Almada! Bukan Atmaja!"

Biru itu gak suka sama sekali kalau ada orang yang seenaknya merubah atau mengganti namanya dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Apalagi nama belakangnya di samakan dengan Samudra.

Biru juga tidak suka jika seandainya dirinya di sama-samakan dengan orang lain. Karena Biru adalah Sabiru Almada, bukan dia ataupun mereka. Meskipun namanya terdengar jauh daru kata feminim, Biru tidak peduli. Biru terlalu nyaman dan cinta dengan dirinya sendiri, sampai gadis itu tak pernah berpikiran untuk membayangkan bahagianya jika ia menjadi orang lain.

LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang