1. Terjangan Ombak di Lautan

4.3K 273 4
                                    

"Mau sampai kapan, Sabiru?!"

Hampir saja jantungnya loncat tatkala mendengar Papanya yang tiba-tiba bersuara dengan nada amarah tertahan. Kepalanya masih tertunduk sembari duduk tak nyaman di sofa. Berkeringat dingin, Biru masih tidak mau menatap tatapan menghunus Papanya yang sudah setajam silet.

"Mau sampai kapan nilai raport kamu jelek terus?!" Papa meninggikan suaranya, Biru tersentak dari lamunan terlebih saat pria setengah baya itu membanting makalah raport. Lembaran-lembaran yang mencantumkan banyak angka menyebalkan.

"Otak kamu itu--kenapa bisa sebodoh itu?!" Papa mendorong kepalanya kasar. "Papa capek! Nilai raport kamu dari SD jelek terus! Kamu nggak lihat Sam, hah?! Dia pinter, sering rangking satu. NGGAK KAYA KAMU!"

Rasa sakit menjalari tiap-tiap inci relung nurani, batin, dan hatinya. Kalimat-kalimat yang tidak ingin Biru dengar. Gadis itu tersenyum getir, memendam semua rasa pedihnya sendiri. Betapa malang nasibnya.

Brak brak brak

"Papa! Jangan marahin Biru, Pah!"

"Buka pintunya, Pah!"

"Sam janji bakal buat Biru lebih pinter dari Sam!"

"DIAM, KAMU, SAM! JANGAN BELAIN DIA TERUS! LAMA-LAMA NGELUNJAK JADI ANAK!" teriak Andri pada pemuda yang tak hentinya memberontak dalam kamar.

Gadis itu mulai mengangkat kepalanya kaku, netranya tersirat kecewa. Menatap sayu wajah Papanya yang memerah marah. Selama ini, detik ini. Biru merasa Andri tidak pernah memperlakukannya dengan lembut. Layaknya kasih sayang seorang ayah pada anak perempuannya. Biru terkadang iri pada anak perempuan yang bahagia dan nyaman dalam dekapan ayahnya.

Kenapa? Biru kadang bertanya kenapa Papanya terlihat hanya menyayangi Samudra.

Biru memberanikan diri beranjak dari sofa. "Nilai, angka, rangking. Mau sampai kapan Papa kayak gini? Kenapa Papa nggak pernah puas sama nilai hasil usaha Biru sendiri? Satukalipun Biru pernah rangking tiga besar, kenapa Papa nggak pernah hargain? Jadi Biru harus apa?!"

Plakk

Sadar, Biru baru sadar saat baru saja meninggikan intonasi suaranya. Memang sangat tidak sopan. Pantas saja tamparan tadi adalah tamparan ternyaring yang pernah dirinya rasakan. Dada Biru sesak, macam balon yang terus di pompa angin. Tanpa kata, lingkaran matanya memanas merah. Berair membendung curah air mata. Mereka seolah akan berteriak: kami ingin cepat terjun.

"PAPA! Jangan kasar sama Biru!" berontak sesosok suara pemuda ketika mendengar suara tamparan amat keras.

Brak brak brak

Sekuat tenaga gadis itu mengigit bibir bawahnya. Sampai pada titik ia tak kuat lagi menahan tangis, gadis itu bergerak pergi dengan cepat. Meninggalkan Andri, Papanya, sendirian, bersama suara bentakan menyakitkan.

Biru terus menahan perih, terbawa hingga ia masuk kamar dan menutup pintu. Ia duduk di bibir ranjang. Isakan keluar seiring dengan tetesan air yang mulai jatuh sepersekon perdetik membasahi pipi.

Biru sakit. Kecewa, Biru kecewa dengan potensi buruk dirinya sendiri. Seringkali ia iri dengan Samudra yang begitu di puji dan di banggakan Papa. Samudra itu tampan, pintar, baik, bahkan nyaris sempurna. Biru hanya bisa tertawa hambar. Ia tidak tahu mengapa dirinya yang tidak cantik, bodoh, dan apatis ini bisa menjadi kembaran Samudra.

"Gue ... nggak berguna," lirihnya susah payah. Biru memejamkan kedua kelopak matanya dan menarik udara ke dalam rongga paru-parunya yang sesak. Ia terkekeh lemah. "Dosa. Tadi bentak Papa."

Air matanya kian tumpah lebih banyak. Biru bergetar menahan isak menyakitkan sambil meremat sprei abu kelam kasurnya. Terasa tercekat di antara tengah kerongkongannya.

Tok tok tok

Suara ketukkan lemah terdengar, membuat Biru mengalihkan pandangannya seketika.

"Biru ... ini Sam."

Menelan saliva, gadis itu berupaya menghapus jejak di pipi dan menghentikan tangisannya dengan sedikit sesegukan. Setelah menarik napas panjang dan membuangnya, Biru menyahut bersama iringan serak, "Ma-Masuk!"

Engsel pintu dibuka, pintu terdorong dari luar. Seorang pemuda jangkung mengintip sebelum akhirnya masuk dan berjalan pelan menghampiri Biru. Kepalanya menunduk, macam anak kecil yang baru saja di marahi orang tuanya.

Duduk disebelah kembaran malangnya, Samudra meraih pipi Biru yang dingin juga memerah bekas tamparan. Berbekal ikatan bukan hanya darah dan genetik saja, Samudra bisa dengan jelas merasakan rasa sakit yang Biru rasakan. Biru seolah tiang pemancar sinyal, dan Samudra adalah elektronik penangkapnya. Ia juga turut ikut merasa sakit dan kecewa, semua ini mungkin memang salahnya.

"Maafin Sam ... " bisiknya lemah sedikit tertunduk seraya menarik kembali tangannya dari pipi gadis itu.

Sama seperti biasa, Biru selalu menampakan senyum teduhnya. Memandang tiap sudut wajah Samudra yang sama sekali tidak ada kata persis dengan dirinya.

"Sam ... Samudra nggak salah, kok."

Mau segimanapun Samudra merasa dirinya sendiri antagonis, Biru tetap tidak bisa benci padanya. Namun, pernyataan gadis itu di awal tadi, tak membuat Samudra tenang dan malah semakin merasa bahwa dirinya sendiri adalah sebuah kesalahan di hidup Biru.

"Sam mau peluk Biru---boleh, ya?" cicit Samudra kecil.

Biru agaknya selalu berhasil terhibur oleh segala tingkah kembarannya, dia terkekeh geli. Samudra mulai berlagak macam betulan anak kecil yang polos---ralat, pura-pura polos. Tapi sayangnya, Biru menyukainya.

"Halah! Sejak kapan kamu mulai menerapkan sistem minta izin sama aku? Biasanya juga langsung trobos. Aku masih inget banget, ya, terakhir kemarin kamu minjem laptop aku tanpa izin. Waktu itu aku ketar-ketir tau nyariinnya!"

Samudra ikut tertawa, bukan hanya sekedar kekehan, sebab wajah sembab kembarannya yang kini tercampur sinis nampak juga sama menggelikannya. Kemudian Samudra akhirnya membawa Biru ke dalam dekapan hangatnya. Keduanya sama-sama tersenyum amat lebar, seakan melupakan apa yang terjadi beberapa menit lalu.

Ketika dekapan itu terlepas, Biru menyandarkan beban kepalanya ke atas pundak Samudra. Nyamannya tak terkira, sama seperti samudra milik bumi yang begitu menenangkan.

"Sam, tamparan papa kan maen sakitnya masa? Kali-kali kamu harus coba, deh. Mantap!" Biru terkekeh kecil seraya menahan tangisnya lagi.

Masih mau nangis, tapi malu sama kamu.

Samudra meringis dalam hati. Tamparan yang dijabarkan Biru seolah tersimulasikan begitu saja di benaknya. Sakit dan sakit. Samudra semakin bersalah sebab membuat Biru terombang-ambing dalam dekapannya tanpa harapan. Ia kehabisan kata-kata.

"Tapi aku ngerti. Papa nampar aku karena aku nggak sopan, kelepasan ngebentak soalnya tadi. Sumpah, deh, aku bener-bener nggak niat bentak papa. Cuma ... ya ... b-biasa, manusia, lagi emosi." Gadis itu terasa tengah menghembuskan napas berat. Samudra menyandarkan kepalanya pada pucak kepala sang kembaran.

"Tanpa kamu jelasin juga, Sam udah ngerti. Semua yang kamu rasain bisa aku rasain juga. Kita 'kan, kembar."

"Kembar tak sama," ralat Biru menggumam kecil. Kita bertentangan, kita berbeda.

"Biru sayang sama Samudra." Dia melingkarkan tangannya pada pinggang pemuda itu. Samudra yang teduh tersenyum sama teduhnya. Mengangguk pelan seraya mengusap lembut kepala sang kembaran.

Lantas ia berbisik, "Sam juga sayang banget sama Biru, sebesar terjangan ombak yang ada di lautan."

LautanOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz