4. Deburan Ombak Menabrak Karang

1.1K 150 1
                                    

Biru masih marah sama Papanya perihal keputusan memisahkan sekolahnya dan Samudra tanpa bermusyawarah bersama, atau paling tidak memunggunya dulu mengeluarkan pendapat.

Samudra juga sama kecewanya, tapi nyatanya dia memang tidak bisa lama-lama tahan marahan sama Papa. Ketara sekali, bukan? Kalau Samudra itu memang anak baik, rajin menabung, dan tidak sombong. Biru mah apa atuh.

Dengan tidak senang hati, Biru pasrah. Ia memakai seragam barunya dan berangkat sekolah pagi ini. Biru masuk menyusul Samudra ke dalam mobil dan menutup pintunya dengan sedikit kencang. Andri menghela napas dari kursi pengemudi dan mulai menjalankan mobilnya. Samudra hanya diam mengalihkan pandangannya dari kursi sebelah Papanya duduk.

Di kursi belakang, Biru menatap sebal ke arah samping jendela transparan mobil. Melipat mulutnya tak berminat menyalurkan emosi lewat kata-kata.

Setelah menempuh perjalanan dan melewati berbagai rintangan, contohnya lampu merah perempatan jalan, mobil Andri berhenti beberapa meter dari gerbang sekolah Biru yang baru. Tanpa di suruh, gadis itu keluar dari mobil dan membanting kecil pintunya.

Dan tanpa pamit pula, dia langsung melenggang pergi. Banyak anak-anak seumurannya berseragam bukan putih abu-abu masuk berhambur masuk ke dalam sekolah dengan nama, SMA Dermaga. Yang Biru tahu sekarang, jika SMA Dermaga punya jadwal seragam. Senin pakai putih abu-abu, Selasa sampai Kamis pakai kotak-kotak (atasan untuk perempuan rompi di dalamnya kemeja dan untuk laki-laki semacam almamater di dalamnya juga kemeja), Jum'at pakai batik bebas, dan Sabtu pakai pramuka.

Matahari pagi terik menyapa turut menyorot wajah. Biru menghentikan langkah kakinya seiring dengan rautnya yang berubah tegang. Gadis itu berbalik berharap mobil Papanya masih ada. Namun, pupus sudah harapannya. Mobil Andri sudah pergi, Biru masih bisa melihat punggung berplatnya yang kian menjauh.

"Papa ... kelas Biru di mana?" lirihnya dengan wajah nelangsa.

Badannya berbalik kaku menatap perawakan sekolah barunya. Biru menelan salivanya bulat-bulat. "Lo bego, Biru."

Dengan tangan mengepal meremat ujung rok, Biru melangkahkan kakinya pelan masuk mau tak mau sembari memikirkan bagaimana caranya ia tahu kelasnya ada di mana.

Ah! Gawai!

Senyuman Biru terbit, merasa bodohnya sampai ke tulang-tulang. Dia baru saja melupakan gawainya. Langsung saja gadis itu meraih gawainya yang tersimpan di saku dan mengotak-atik layar. Setelah itu, ia arahkan layar ke depan telinganya.

Berdengung, Biru memejamkan matanya sejenak berharap Papanya cepat-cepat mengangkat panggilan telepon darinya.

"Mau nanya kelas kamu di mana?"

"I-"

"XI IPA 4."

Tutt

Biru menghentikan langkah kakinya seiring mata yang memejam. Ia menjauhkan gawainya dari depan telinga dan kelopak matanya kembali membuka tanpa mengindahkan beberapa tatapan dari sekitarnya. "Pengen banting diri deh."

Tangannya terkepal emosi, jantungnya berdetak sedikit cepat. "Sabar ... " Dia menarik napasnya. "Sabar ... " Dan menghempaskan karbon dioksida dari mulutnya.

Biru memukul singkat dada kiri dekat pundaknya. "Lo pasti kebal. Papa, 'kan, emang gitu, nyebelin."

Setelah menguatkan pendirian untuk meyakinkan diri, Biru kembali melangkahkan kakinya dengan wajah tertekan.

Namun tak bertahan lama, wajahnya berubah melunak tatkala bersitatap dengan bangunan sekolah yang lebih mirip gedung sate yang ada di Bandung. Dua satpam berdiri di kedua sisi pagar tinggi menyambut murid-murid.

LautanWhere stories live. Discover now