2. Lautan Berombak

1.8K 192 9
                                    

Semua murid di kelas XI IPA 2 di beri kertas ulangan satu persatu oleh Bu Sri. Hari ini, Hari senin--mereka ulangan Matematika. Selama setengah tahun belajar bersama Bu Sri, semua murid pasti punya keluh kesah tersendiri. Seperti Biru yang sudah malas belajar Matematika tambah malas karena Bu Sri yang nyatanya lebih galak dari Bu Mita, guru Sosiologi.

Beda dengan Sonia--teman sekelas Biru dari SMP--murid titisan Samudra yang pinternya sama, dia malah sering rindu sama mata pelajaran Bu Sri. Nggak waras!

Anak ambis mah beda, gitu kalau kata Biru.

Ulangan di mulai, suasana kelas sunyi menyisakan suara kertas yang di bolak-balik atau goresan pensil dan pulpen pada kertas putih seputih wajahnya valak.

Biru membaca soalnya dengan teliti seolah ia bisa menjawabnya. Namun percayalah, jangankan mengisi atau menjawab semuanya, mengertipun ia tidak. Hanya sampai nomor duapuluh yang bisa ia jawab selama tigapuluh lima menit ini, itupun salah atau tidaknya ia tidak tahu.

Setelah dirasa otaknya pusing kuadrat hanya karena membaca soal dari dua satu sampai tiga puluh selama sepuluh menit, Biru berbisik kecil pada Samudra yang duduk dengan kebetulan di tak jauh darinya.

Samudra yang mendengarnya lantas menghela napas, ia meraih kertas kotretannya untuk menulis sesuatu di sana. Sebelumnya memang mereka sudah membuat janji jika Samudra harus membantu Biru di ulangan hari ini. Awalnya Samudra nolak karena mencontek itu nggak baik, tapi Biru nyogok: kalau ia akan membuatkan Samudra nasi goreng selama seminggu.

Setelah selesai, Samudra melirik sekitar untuk memastikan tidak ada yang melihat perilakunya. Barulah, dia menyenggol sengaja pulpennya hingga bergelinding ke bawah meja Biru dekat dengan kakinya. Dan kertas kotretan tadi pemuda itu letakan di saku seragam kemeja.

"Bu!" Samudra mengangkat tangannya yang keringat dingin sebentar lalu menurunkannya lagi. "Pulpen saya jatuh, saya izin ambil."

"Hmn ... " jawab Bu Sri sembari melirik kecil kearahnya dan kembali fokus pada layar laptopnya.

Samudra membungkuk mengambil pulpen yang sengaja ia jatuhkan di tempat strategis tadi, diam-diam secepat kilat pula Biru meraih kertas kotretan Samudra dari sakunya.

Cara menyontek ala Biru yang tidak patut untuk ditiru.

-'- -'- -'- -'- -'-

Sore baru saja berubah menggelap, Biru keluar dari kamarnya sehabis mandi bersama beberapa lembaran kertas ulangan minggu kemarin. Gadis itu senyum-senyum seorang diri berjalan menuju dapur.

Jika Sonia, temannya, melihat rautnya yang serem bin geleng-geleng, bisa di pastikan bahwa Biru sebentar lagi akan dibawanya ke rumah ibadah setempat untuk dibacakan doa-doa pengusir setan.

"Halo, Bu Tyas," sapanya cerah bagai cerahnya sinar matahari di malam hari pada seorang wanita paruh baya beruban yang sedang menyusun rapi makanan di meja makan.

Yang disapanya tersenyum membalas, "Iya, Nak."

Dengan seri cahaya terpancar di wajahnya, Biru duduk di kursi meja makan dan meletakkan lembaran-lembaran kertas ke atas meja.

"Biru, Ibu pamit pulang dulu. Sudah setengah tujuh, sampaikan salam Ibu sama Samudra dan Tuan, ya," ucapnya seraya meraih tas di meja dan menggantungkannya di bahu.

Gadis aneh itu mengangguk seraya menyerukan kata hati-hati, Bu Tyas melenggang pergi menuju pintu keluar rumah.

Biru duduk manis dengan senyumnya yang tak henti padam sambil membolak-balikkan kertas berisi soal ulangan kemarin bersanding dengan nilainya. Dari arah berlainan, Samudra berjalan mendekat bersama kertasnya dan duduk di kursi berhadapan dengan tempat Biru duduk.

LautanWhere stories live. Discover now