27. Matematika Itu Rumit

616 100 11
                                    

Ucapan sarkas dari mulut Arvin tentang tipe perempuan yang tidak di sukainya selalu terngiang-ngiang di benak Biru. Arvin tidak menyukai perempuan yang banyak berbicara dan manja, jujur saja Biru tak seperti itu, sikapnya yang itu hanya ekspresi dari hasil keberaniannya. Biru bisa merubah, namun itu berarti keberaniannya tak besar, ia akan lebih banyak diam.

Yang kedua, Arvin tak suka perempuan jelek. Biru sadar, jika ia tak terlalu cantik. Ia tak keberatan, ia bisa merubahnya.

Untuk ketiga, Biru jelas tak bisa mengikuti selera Arvin yang suka perempuan dengan postur pendek. Biru cukup tinggi untuk seukuran seorang perempuan. Tak mungkin juga ia memotong kakinya supaya pendek dengan instan.

Keempat, Arvin tak suka perempuan berponi. Baik, Biru tak masalah jika harus memanjangkan poninya.

Kelima, Arvin tak suka perempuan bodoh. Untuk hal itu, jelas Biru tak lagi bodoh sebab kehadiran Nebula sebagai guru privatnya dapat membuat gadis itu tak sebodoh dulu. Mungkin di kelas XII nanti dirinya bisa lebih pintar.

Yang terakhir, Arvin tak suka perempuan gatal. Biru tak merasa jika dirinya adalah tipe yang semurah itu. Ia tak pernah mengingat jika dirinya pernah menyentuh Arvin selain berusaha mendekatkan diri. Ia juga tak pernah seperti itu pada laki-laki lain kecuali Arvin itu sendiri.

Memikirkan semua itu ternyata membuat Biru sangat ingin membanting kepalanya. Ia tak menyangka jika menyukai Arvin sampai bisa serumit Matematika. Ah tidak-tidak, mungkin memahami konsep Matematika lebih baik daripada menahami konsep dunia Arvin yang memiliki tembok keras juga tinggi.

Liburan kenaikan kelas sejauh ini dimanfaatkan Biru untuk memantaskan diri dan berusaha untuk menjadi pribadi yang Arvin suka. Sekaligus, Biru ingin mencoba berpenampilan baru dan berbeda untuk di kelas XII.

Biru menghabiskan waktunya di rumah, atau lebih tepatnya di dalam kamar. Membaca novel, menonton film, melamun, sesekali melukis, dan merawat diri supaya lebih cantik. Meskipun kata Samudra jika Biru sudah secantik Dasha Taran dari lahir. Biru rasanya ingin muntah mendengar gombalan Samudra. Entah dari mana pemuda itu belajar.

Hari senin ini liburan telah usai, Biru datang ke sekolah dengan penampilan yang benar-benar berbeda. Kulitnya kebih bersih, tak ada poni yang menghalangi keningnya, wajahnya lebih hidup, dan roknya sedikit lebih pendek dari biasa yang membuatnya selalu menarik ujung rok ke bawah tiap detik. Biru tidak tahu mengapa harus memakai rok pendek ini, ia hanya manut mendengar titah Sonia, sang mentornya. Sonia bilang jika Biru akan menjadi pusat perhatian.

Perkataan Sonia memang benar, benar-benar membuat Biru malu tujuh turunan. Ia menyesal, dan memaki akal sehatnya yang kala itu tak bereaksi dalam menanggapi ide jahil Sonia. Biru merasa berhasil dihipnotis. Sialan.

Saat jam istirahat tiba, Biru langsung memutuskan untuk pergi ke toilet. Sebenarnya, Biru tak ingin buang air besar atau kecil, yang dia lakukan hanya berdiam diri di depan cermin dengan bimbang. Jujur saja ia tak nyaman dan malu, rasa-rasanya Biru ingin cepat pulang.

Di luar, Nebula yang sedari tadi, atau bahkan dari Biru berangkat sekolah hingga datang mengikutinya sudah tak tahan ingin memberi Biru pelajaran. Nebula merasakan dadanya terbakar ketika para murid laki-laki terus memandangi paha gadis itu. Rasanya ia sudah cukup bersabar untuk tidak membuat mata para lelaki itu berdarah. Namun kali ini ia tak bisa menahan amarahnya.

Nebula masuk ke dalam toilet perempuan yang beruntungnya hanya ada Biru dan segera mengunci pintu, ia mendapatkan kunci itu dari petugas dengan cara memaksa. Sontak Biru langsung terkejut dan membalikan badan begitu mendapati sosok pemuda memasuki toilet gadis.

"Lo--ng-ngapain ke sini?"

Biru menelan ludah mendapati tatapan setajam singa lapar di mata Nebula. Pemuda itu melangkah ke arahnya, mendekat. Tatapan runcing itu tak luput darinya.

"Ne-Nebula?" Sang empu tak menjawab.

Ketakutan Biru bertambah saat Nebula mengurungnya, pemuda itu menumpukan tangan-tangannya pada dua sisi wastafel di belakang Biru. Jantungnya berdentum keras, Nebula tampak memandangnya intens. Sorot mata pemuda itu menyusuri setiap raut ketakutan Biru. Nebula mengumpat dalam hati melihat gadis yang selalu membuatnya tak bisa tidur nyenyak dari dekat semakin indah. Terlebih dengan mimik paniknya yang menambah kadar kegemasan hingga Nebula tak bisa tidak salah tingkah.

Tak tahan memandang Biru lebih lama, Nebula semakin merapatkan diri, meletakan dagunya di pundak gadis itu.

Sedangkan Biru, ia rasanya ingin menangis tertekan, tak nyaman, ia juga merasa takut mengingat toilet sepi dan pintunya berhasil Nebula kunci. Dalam jarak yang sempit, Biru bahkan hampir tak bisa bernapas dengan benar. Lalu tubuhnya tersentak kecil saat tangan Nebula merangkak memeluk pinggangnya.

"Nebula ... " panggilnya dengan suara bergetar. Biru tampak berusaha mendorong tubuh pemuda itu, namun tak ada hasil memuaskan.

Nebula sendiri yang melihat reaksi Biru lantas menahan senyum gelinya, ia dapat melihat senyum dirinya sendiri di cermin. Ketika mendapatkan ide jahil, Nebula menyeringai. Pemuda itu mengeratkan pelukannya pada Biru dengan jantung berdebar, sebab jujur saja jika ini kali pertama ia memeluk seorang perempuan luar. Reaksi gadis itu yang semakin panik sampai terpekik kecil tak membuat Nebula puas. Ia mendekatkan wajahnya ke ceruk leher Biru dan menggesek-gesekan pelan hidungnya ke sana. Nebula tersenyum lebar saat mencium bau minyak telon bayi dari tubuh Biru, ia menyukainya.

Kini Biru benar-benar ingin menangis, gadis itu kembali mendorong Nebula sekuat tenaga meski berakhir sia-sia. Ia benar-benar berharap jika ada siapa saja yang dapat menolongnya. "Lepas ... " lirihnya dengan bibir melengkung. Sang empu tak menggubrisnya. Biru semakim takut, matanya sudah memanas dan siap meluncurkan air mata. Saat susah payah menahan tangis hingga tenggorokannya tercekat dan bahu bergetar, air mata sialan itu akhirnya turun juga.

"Tolong!" teriak Biru susah payah dengan suara seraknya. Sebelum gadis itu kembali teriak, Nebula sudah membungkamnya. Nebula sedikit terkejut mendapati Biru menangis dan kini mulai sedikit terisak. Pemuda itu membuka bekapannya.

"Pergi ... jauh-jauh." Biru berusaha kembali mendorong Nebula yang masih memegang pinggangnya. "Lo ... breng--sek, kayak papa ... gue nggak suka," ujarnya sambil menahan isak. Itu menyakitkan bagi Nebula, pemuda itu menelan saliva merasa sedikit bersalah, tapi ia tak menyesal melakukannya.

"Shhhttt ... iya." Nebula menangkup kedua sisi pipi gadis itu dengan dua telapak tangannya, sambil mengusap-usap pipi basah itu dengan ibu jari. "Iya ... gue tau gue brengsek. Gue cuma lagi marah, rasanya sesek kalau di tahan."

"Terus kenapa lo malah lampiasin ke gue?! Gue bukan samsak ... hiks."

"Lo yang nyulut amarah gue, Sabiru. Dan harus lo juga yang jadi pemadamnya. Gue nggak suka liat lo pake rok pendek banget! Gue panas liat cowok-cowok pada liatin paha lo!" geramnya sedikit menyentak hingga Biru merasa tak percaya pada kata-katanya.

Dia ... cemburu?

"Ini juga bakal jadi pembelajaran lo juga kalau laki-laki bisa ngelakuin apapun kalau akal sehat mereka nggak dipake."

Kemudian dengan sekejap tatapan Nebula berubah sinis dan dingin. "Apa sih yang lo liat dari si Arvinjing itu, hah?! Gue tau lo kayak gini gara-gara dia. Sampe lo bela-belain buat nggak jadi diri lo sendiri apa adanya!"

Nyali Biru auto menciut dan tak berani menatap balik tatapan menyeramkan khas milik Nebula. Gadis itu menggigit bibir bawahnya bingung hendak menjawab apa.

Melihat Biru kembali takut padanya, Nebula menghela napas gusar. Ia membuka almameternya hingga membuat gadis itu panik terlebih saat Nebula menarik pinggangnya hingga menubruk pemuda itu. Saat Biru sedikit menjaga jarak, dengan cepat Nebula melingkarkan almameter itu ke pinggangnya.

"Ikut gue ke koperasi sekarang!"

Biru menyadari, jika Arvin serumit Matematika, maka Nebula adalah definisi Fisika yang dalam sekejap dapat jadi menakutkan.

LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang