41. Kesepakatan yang Terkuak

548 53 108
                                    

Selamat membaca dan jangan lupa tinggalkan vote serta komen.

🍁

Daun-daun bergemerisik tertiup angin. Burung-burung bersiulan, terbang di bawah langit biru untuk mengais rezeki. Melewati embun pagi di taman-taman hijau lalu hinggap sejenak di dahan pohon. Menelisik penjuru bumi, yang semakin hari bertambah gedung-gedung tinggi.

Seperti hal nya waktu yang terus melaju, dengan dunia yang berlari semakin cepat. Maka semua itu akan terasa sangat sesak selama hati masih diselimuti rasa takut. Flo pernah di posisi itu, yaitu terpuruk dalam kesendirian. Semua orang berlari untuk mengejar mimpi. Sementara ia masih berdiam di bawah atap rumah tua terbengkalai. Saking takutnya melihat ekspektasi dunia yang semakin hari penuh kejutan dan brutal.

Matanya terus memerhatikan burung itu di balik jendela. Kembali terbang bebas seolah ingin menembus langit biru.

Sama sepertinya lagi. Kini ia telah bebas. Keluar dari persembunyian dengan rasa takut perlahan hilang. Keyakinan serta kepercayaan diri telah mengikis  trauma yang membekas itu. Senyum terus terukir di bibirnya yang manis, persis bagaimana sang ibu.

"Flo?"

Shella mengetuk pintu, sehingga aktivitasnya melihat dunia teralihkan.

"Iya, Ma?"

"Kakek dan para orangtua kamu sudah menunggu di bawah. Ayo sarapan."

Flo mengangguk, lalu meraih tangan Shella untuk digenggam. Mengambil tas di atas kasur lalu menyampirkannya di bahu.

Di sisi lain, ada yang misuh-misuh pagi-pagi. Mempermasalahkan perihal gagalnya ia melihat penampilan berbeda dari sang adik kemarin. Setelah didandani oleh ketiga ibunya di kamar--resiko seorang gadis ketika bersama para ibu-ibu.

"Mami-mami sekalian itu pada kenapa, sih?" tanya Birru, di sela-sela langkahnya menuju meja makan bersama Sharon dan Ghea yang baru keluar dari dapur.

"Masa kemarin waktu Flo cobain gaun buat ke acara dirgantara gak boleh lihat. Padahal Birru udah nunggu hampir satu jam depan pintu. Eh, pas Flo keluar dia udah pake baju biasa."

"Yaudahlah Birru, gitu doang ngerengek. Lihat atuh kakak-kakak kamu aja gak mempermasalahin," imbuh Sharon. "Lagian kemarin cuma nyobain aja, nanti juga kamu lihat pas acara."

Birru mendengkus, pemuda itu berjalan lebih dulu dari kedua wanita paruh baya tersebut kemudian duduk di depan sang adik perempuan sambil menyapa, "Pagi, Bunga."

Aktivitas di istana besar itu kini tak senyunyi sebelumnya. Keempat pangeran lainnya sudah bersiap dengan seragam rapi untuk melaksanakan kegiatan upacara nanti. Dan jangan lupakan sang putri pun sudah duduk lebih dulu di dekat sang raja. Tidak ada yang menegur kali ini, karena toh meski tanpa berkata-kata. Setidaknya hubungan yang semula retak sedang berangsur-angsur membaik.

Sesuai dengan keinginan sang raja. Yaitu menghidupkan kembali suasana rumah ini dengan penuh kedamaian. Untung saja cucunya--Arundaya--bisa diajak kerjasama. Sehingga informasi yang ia berikan sampai pada saudaranya yang lain, tanpa dikurangi atau dilebih-lebihkan. Setidaknya hal itu sedikit bisa mengobati kebencian para cucu terhadapnya.

"Bagaimana kabar kalian hari ini?" tanya Abraham pada kelima cucu laki-lakinya. Tentu hal itu berhasil menghentikan sejenak aktivitas mereka.

Sementara yang diberi tanya kompak mengangguk sambil berkata, "Baik."

Kecuali Rafandra yang tak menjawab memilih kembali melanjutkan makan. Para orang tua pun hanya diam, lalu sesekali melempar komunikasi. Sehingga kecanggungan bisa sedikit terobati di sela-sela sarapan.

My Five Brother'sWhere stories live. Discover now