30. Rahasia Flo

733 75 71
                                    

Asyiik up lagi. Pada seneng gak? Vote Komen dong, biar tambah seru nih hwhw.

Selamat membaca.

***

Angin berembus membunyikan gemerisik dedaunan. Matahari sudah berada di atas kepala. Bisik-bisik siswa meriuhkan sekitar taman utama SMA Bina Bangsa yang menjadi pembatas antara gedung kelas sepuluh dan sebelas.

Seorang siswa dengan seragam yang selalu rapi, rambutnya bergerak-gerak mengikuti hilir angin. Ia duduk di salah satu kursi yang di belakangnya terdapat kolam dan air mancur. Gemericiknya yang lembut mampu menenangkan pikiran.

Ia mulai menyadari ketika kaum hawa memerhatikannya. Cara mereka mencari perhatian yang sengaja berlalu lalang di dekatnya seketika membuatnya tak nyaman. Kontan ia segera berdiri, tubuhnya yang besar dan tegap langsung melenggang meninggalkan taman sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Hai, Fan." Salah seorang nenyapa Rafandra. Sebut saja namanya Wawan.

"Lo mau ikut ke warung Bu Ai? Dari pada lo jalan-jalan gak jelas kek orang ling-lung. Mending mabar, kuy?" ajak Wawan. Merangkul bahu Rafandra.

"Anak-anak udah pada nungguin di sana. Siapa tahu lo mau gabung, gue traktir, deh. Jangan terlalu workaholic sama belajar, lo juga butuh hiburan."

Sedari tadi murid kelas XII IPA 1, memerhatikan si murid unggulan Bina Bangsa itu. Biasa selalu menjadi harapan mereka ketika guru kimia meminta salah satu siswa untuk maju ke depan dan menjawab soal, dan Rafandra selalu senang hati mengerjakan.

Namun, saat pelajaran tadi Rafandra tidak melakukannya. Wajahnya kentara seperti sedang banyak pikiran. Maka dari itu, sebagai teman yang begitu respect pada si ketos ini, Wawan ingin mentraktirnya makan mie instan di warung Bu Ai. Bukankah Wawan cukup perhatian sebagai teman?

"Thanks, nanti aja gue nyusul." Rafandra menggerakkan bahunya menepis tangan Wawan. Tidak lagi banyak kata ia meninggalkan Wawan begitu saja.

Berjalan ke rooftop lantai lima di gedung kelas dua belas. Lalu duduk di salah satu kursi yang sudah lapuk. Pembatas beton itu, tiba-tiba saja melintasi ingatan ketika ia dan Jenggala bertengkar. Saat sebelum mereka menemukan Flo.

"Lo tuh lebay tahu, Fan." Tiba-tiba seseorang datang, ia duduk di sebelah Rafandra.

Rafandra merotasikan kedua bola matanya. Baru saja orang ini mampir diingatannya, sekarang tiba-tiba sudah ada di sini. Panjang umur sekali dia.

"Nggak ada kerjaan banget hidup lo. Dateng-dateng gak jelas langsung bilang gue lebay," sinis Rafandra.

"Lo ngapain cuekin Flo, lihatin dia dari jauh tapi pas ketemu sok jual mahal. Dia senyum aja gak lo bales. Lo kalo marah gak usah segitunya. Flo kan gak tahu." Jenggala menoleh, matanya yang tajam, serta seragamnya yang jauh dari kata rapi. Begitu kontras perbedaannya dengan Rafandra.

"Lo mata-matain gue?" Rafandra menatap sanksi.

Jenggala berdecak. Ia kembali melihat ke depan. "Yang lain juga tahu kali, gak cuma gue doang. Kekeselan lo itu kegambar banget. Bukan lo banget kalo lagi ngambek gak uring-uringan."

"Lo juga sama gak jauh beda!"

"I am so sorry ya, gue nyimpen buat diri gue sendiri, tuh. Gak sampe gue lampiasin ke orang-orang di sekitar gue. Kecuali orang lain yang kalo sekali senggol gue bacok!"

Rafandra mendelik. Kembali melihat ke arah depan. Bendera merah-putih di depan ruang guru bergerak-gerak tertiup angin. Memorinya kembali berputar saat tidak sengaja ia melihat Flo yang sedang berjalan sendirian di lorong, lalu ada seorang lelaki datang yang mengajaknya ngobrol sampai tertawa-tawa. Membuat jemari Rafandra mengepal saat itu.

My Five Brother'sWhere stories live. Discover now