33. Aldan Mahendra (Side Story) 1

579 53 60
                                    

Pemuda berusia 18 belas tahun dan masih duduk di bangku kelas sebelas itu memiringkan sudut bibir. Bola mata hitamnya bergerak memerhatikan dirinya di pantulan cermin. Seragam putih abu yang rapi, serta rambutnya yang ikal lembut membuat tampilannya lebih cool.

Hanya saja ketika ia memasang anting di salah satu telinga, ia mengacak-acak rambutnya kembali. Kerapian itu hilang seketika. Figur cowok kalem seperti hari-hari biasa ketika di sekolah seolah hanya topeng belaka. Karena nyatanya, Aldan tidak sebaik kelihatannya. Dan ia mengakui itu.

"Bukan gue banget."

Namun, ia kembali merapikan tatanan rambutnya. Memakai dasi lalu menyampirkan tas gendong di bahu. "Kalau bukan karena Papa, mana mau gue pura-pura."

Cowok yang selalu menjaga nama baiknya ketika menjajakan kaki di lingkungan SMA itu menuruni anak tangga. Bergabung sarapan dengan sang papa. Sedangkan mamanya pergi ke luar kota. Urusan bisnis katanya.

"Pagi, Pa."Aldan menarik kursi, lalu duduk di sebelah sang papa.

"Pagi. Bagaimana keputusan kamu soal melanjutkan pendidikan di Washington University?" tanya papanya--Arga Mahendra--sembari memotong roti dengan pisau dan garpu.

Aldan mendengkus, selera makannya langsung hilang. Paling tidak suka ketika sang papa selalu saja mengatur kehidupannya. Sekolah di sinilah, masuk universitas inilah, jurusan inilah. Aldan capek, dan ia tahu itu adalah bentuk hukuman orangtuanya dari kesalahan Aldan dua tahun lalu. Membuat Arga maupun Ayu--mamanya. Mengatur hidupnya lebih ketat supaya tidak salah jalan. Begitu pikir mereka.

"Terserah Papa," ketus Aldan. Ia lantas  memakan roti yang disiapkan dengan sedikit tergesa-gesa. Membuat sang papa menggeleng. Tadi malam sepulang dari perjalanan bisnis, Arga tiba-tiba merekomendasikannya melanjutkan pendidikan di Amerika.

Apakah tidak cukup dulu saat duduk di bangku kelas sepuluh Aldan dihukum dengan diasingkan di negara itu lalu putus sekolah selama satu tahun? Hingga di usianya ini Aldan masih menyandang sebagai siswa kelas sebelas. Dipaksa selalu berprestasi agar setara dengan anak-anak Dirgantara sialan itu.

Hah, Aldan kesal. Ia sampai meremat lapisan roti di tangan. Kapan sih drama hidupnya akan berhenti? Ini semua gara-gara cewek cupu yang hampir ia hancurkan masa depannya di gudang sekolah SMP itu. Di mana gadis itu sekarang? Aldan ingin sekali memberinya pelajaran kalau bertemu.

"Kamu tahu, 'kan? Kamu harus selalu bisa menjaga hubunganmu dengan anak-anak Dirgantara. Jangan sampai buat masalah dengan mereka."

Tuh, 'kan, Aldan bilang juga apa. Pasti ia ditekan untuk bisa menyamakan langkahnya dengan keluarga konglomerat itu. Sial!

"Ck, iya, Pa. Aldan ngerti. Udah berapa kali coba Papa bilang gini terus. Lagian aku seneng temenan sama mereka, jadi gak usah terus peringatin aku soal ini!" ujarnya ketus. Padahal dalam hati, Aldan ingin sekali menjauh dari mereka.

Memulai kehidupannya lagi sebagai Aldan Mahendra dengan segala aktifitas yang berbau geng motor. Ah, Aldan merindukan masa-masa itu.

"Baiklah." Arga mengangguk, meski matanya sempat menyipit karena sanksi. "Tapi satu lagi. Jangan buat masalah kayak dulu. Jangan main perempuan. Kalau aja dulu kamu gak macem-macem, mungkin sekarang kamu akan satu angkatan dengan Rafandra dan Jenggala."

Tuk! Aldan kembali menyimpan gelas yang sempat ia angkat di atas meja. Ia mencebik jengkel.

"Memangnya kenapa, sih, Pa. Yang penting aku masih bisa lanjut sekolah di Jakarta. Kalaupun harus ngulang satu tahun ya gak apa-apa, lah. Alasannya juga rahasia di antara keluarga kita. Orang-orang dirgantara itu juga tahunya aku ngulang karena sakit. Bukan karena aku kena kasus. Jadi jangan terlalu dipikirkan. Aldan bisa jaga diri, Pa."

My Five Brother'sWhere stories live. Discover now