BAB 38

1.8K 180 3
                                    

Milo berjalan sampai di depan sebuah ruangan dengan pintu tertutup kurang rapat. Pelan-pelan ia tempelkan daun telinganya pada permukaan pintu, dan akhirnya ia menyimpulkan bahwa suara Scania benar-benar berasal dari ruangan tersebut. Ia lalu mengintip dari celah pintu dan mendapati sosok Scania memang ada di sana.

Milo terheran, karena seingatnya, Scania seharusnya ada di tempat lain, bukan di istana ini. Tetapi kenyataan berkata lain. Kali ini gadis itu benar-benar berada di hadapan Milo, dan terlihat begitu sedih dengan linangan air mata di wajahnya.

"Tapi," ucap Scania dengan kedua mata berkaca-kaca. "Aku pikir ibu mencariku untuk mengajakku tinggal di sini lagi."

Wren mendengus. "Tidak, Scania. Jika kau tetap berada di sini, cepat atau lambat, mereka akan menemukanmu. Kau akan tetap terjerat hukuman mati."

"Aku tidak mau dihukum atas suatu hal yang bukan menjadi kesalahanku," bantah Scania, belum juga menghentikan tangisannya. Scania terlanjur mengetahui begitu banyak kebusukan Kerajaan Wolfgang dari Elric, dan ia tentu saja tidak ingin pergi ke sana.

"Besok pagi-pagi sekali saat matahari terbit, mereka akan datang menjemputmu, Scania." Wren tampaknya tidak terlalu peduli dengan penolakan Scania. "Kau tidak punya pilihan. Kau harus menjadi bagian dari Wolfgang."

Wolfgang?

Milo merasa tertampar.

Mengapa Scania harus dikirim ke sana?

Belum puas Milo menguping, tiba-tiba seorang pelayan yang baru saja lewat berbelok menghampiri Milo. "Permisi, Yang Mulia. Ada yang bisa dibantu? Anda sedang dicari oleh Tuan Putri Martha."

Milo tersentak. "Oh, aku ke sini mencari segelas minuman untuk Tuan Putri."

Pelayan itu tersenyum. "Tidak perlu, Yang Mulia. Tuan Putri baru saja diambilkan minum oleh pelayan lainnya," jelasnya. "Sepertinya Yang Mulia sedang tersesat. Mau diantar menuju kamar Tuan Putri?"

Milo mengangkat alis. "Oh, jangan repot-repot, sepertinya aku harus pulang karena ada hal penting mendadak," kilahnya seraya pergi.

Milo tahu, ia jelas tidak bisa menguping lagi karena akan ketahuan. Tentu saja sulit menemui Scania dalam istana, ditambah lagi ia tidak mau kembali menemui Martha. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang saja ke Istana Brigham dan menyusun sebuah rencana untuk besok pagi.

****

Pagi ini Elric tengah memotong beberapa ranting pohon dengan kapak. Persediaan kayu bakarnya habis, jadi ia harus segera memiliki stok yang baru. Sebenarnya ia masih punya sedikit kayu bakar di dapur, jadi seharusnya ia tidak perlu buru-buru. Rupanya ia hanya ingin mencari kesibukan dan mengisi kekosongan waktu luangnya. Seumur-umur ia hidup di dekat tembok perbatasan yang amat terpencil, belum pernah rasanya ia sebosan itu. Ia mencoba menjalani hari seperti biasa, tapi ia entah mengapa justru merasa hampa.

Seperti ada yang kurang.

Tanpa sadar, ia jadi bicara pada pohon tua yang menjulang tinggi di sebelahnya. Dia mencabut tiap helai daun pada ranting yang lepas sambil bicara sendiri. Ia selalu mengucapkan hal yang sama tiap kali mencabut daun itu, hingga habis seluruhnya.

Ia mencabut satu helai daun. "Dia merindukanku."

Lalu ia mencabut satu helai lagi. "Dia tidak merindukanku."

"Dia merindukanku."

"Dia tidak merindukanku."

"Apa?! Dia tidak merindukanku?! Ah, tidak mungkin. Aku yakin Scania merindukanku. Ia bahkan kemarin terlihat sedih saat berpisah denganku." Ia lalu membanting satu ranting kering itu ke tanah dengan kesal.

Tiba-tiba kuda Elric meringkik sangat keras.

Elric spontan melempar kudanya dengan ranting kecil. "Kau meragukan firasatku?!" ketusnya. Sepertinya ia tersinggung dengan ringkikan kuda yang seolah-olah menertawakannya. "Aku sangat yakin firasatku benar."

Merasa tidak puas dengan kesimpulan itu, ia mengambil satu lagi ranting, dan mulai mencabuti tiap daunnya. Ia berharap nantinya jumlah daun yang ganjil ini dapat mengubah hasil. Dengan penuh percaya diri, ia terus mencabuti daunnya.

"Dia merindukanku."

"Dia tidak merindukanku."

"Dia merindukanku."

"Dia tidak merindukanku."

"Dia merindukanku."

"Dia merindukanku! Itu jawabannya. Tapi kenapa dia belum juga mengunjungiku? Aku jelas-jelas tidak mungkin ke Istana Heloise, karena aku memang bukan siapa-siapa," gerutunya.

Ia mengambil lagi satu ranting penuh daun, dan mengulangi kegiatan itu dari awal. Sampai akhirnya ia merasa bosan di sana, lalu bergegas menaiki kudanya. Rasanya berat sekali melangkahkan kaki ke tempat yang biasanya terlihat seseorang menantinya pulang, namun kini ia tidak ada di sana.

****

Keesokan paginya, diam-diam Milo berangkat seorang diri dengan mengendarai seekor kuda. Selain sebilah pedang, ia juga tak lupa membawa kumpulan anak panah di pundaknya untuk berjaga-jaga. Tujuannya kini sudah pasti mengintai Scania, bahkan kalau bisa ia akan menyelamatkannya.

Rencana Milo kali ini, ia akan menjegat rombongan dari Heloise di tengah jalan. Jalan terdekat untuk pergi ke pemukiman Wolfgang adalah dengan melewati wilayah Brigham, namun hal itu jelas tidak mungkin dilakukan karena ada tembok perbatasan yang akan menutup semua akses jalan. Oleh karena itu, Milo memutuskan untuk mengambil risiko tinggi dengan menunggu di daerah transisi dekat hutan belantara yang tidak berada di wilayah Brigham, maupun Heloise. Orang-orang biasa menyebut daerah itu sebagai hutan terlarang, karena dikabarkan banyak serigala bersembunyi di sana. Namun, sepertinya Milo tidak takut sedikit pun karena ia telah membawa persenjataan yang cukup untuk melindungi dirinya.

Sesampainya di tempat incarannya, Milo segera menyembunyikan kuda miliknya di balik semak belukar yang paling lebat. Ia lalu memicingkan kedua matanya sambil mengawasi sekitarnya. Ia juga memasang telinganya baik-baik terhadap setiap suara yang mencurigakan.

Ada yang datang.

Milo menoleh ke arah datangnya sinar matahari terbit. Walaupun silau, ia bisa melihat siluet seekor kuda yang menarik kereta di belakangnya. Milo mundur beberapa langkah dan bersembunyi di balik sebuah batang pohon yang cukup besar.

Mereka semakin dekat.

Milo perlahan mengambil sebuah anak panah dan merentangkannya pada busur panah. Ia menariknya kuat-kuat sesaat sebelum kereta kuda itu lewat tepat di hadapannya. Anak panah itu melesat tepat di salah satu kaki kuda bagian depan, sehingga kuda tersebut jatuh tersungkur ke tanah sambil meringkik keras.

Milo masih berada di persembunyiannya dan mengawasi gerak-gerik targetnya. Ia tidak mau gegabah duluan. Akhirnya dua orang pengawal turun dari kereta, dan sepertinya memang hanya ada dua pengawal yang menaiki kereta kuda itu.

Salah seorang pengawal menepuk-nepuk leher kuda dan berkata pada temannya, "Biarkan kuda ini istirahat. Aku akan pergi ke Sungai Biru dan mengambil beberapa kantung air sebagai persediaan kita di perjalanan."

Rekannya mengangguk setuju. "Kalau begitu aku akan berjaga-jaga di sini."

Sesaat setelah Milo merasa satu pengawal itu pergi cukup jauh, ia langsung menyerang seorang sisanya dengan tebasan pedang. Namun serangan tersebut dapat ditangkis meski dengan susah payah dan mengakibatkan kedua pedang mereka sama-sama terhempas. Keduanya lalu terlibat perkelahian dengan tangan kosong.

"Berani-beraninya kau menghalangi jalan kami!" gertak pengawal itu sambil mendengus kesal.

****

For Your Information:

Kalau kalian lupa "hutan terlarang" itu ada di mana…. coba lihat lagi di gambar ilustrasi peta di bab-bab sebelumnya, oke? Jangan lupa vote juga ya. Happy reading!

Follow author juga ya :D

The Unwanted Princess [TAMAT]Where stories live. Discover now