BAB 14

3K 316 6
                                    

Suara petir menyambar-nyambar dari langit yang mendung. Gemuruh awan saling beradu, membuat bulu kuduk merinding mendengarnya. Seluruh anak kecil yang berkeliaran di luar dipaksa masuk oleh ibunya yang menunggu dengan khawatir di rumah. Namun, tidak dengan Scania. Ibunya justru memaksanya untuk segera memakai jubah yang menutupi kepala hingga betisnya, sama seperti yang dilakukan oleh Wren. Tak ada yang boleh melihat mereka berdua pergi dari istana. Wren tidak mau rencananya gagal.

"Tapi ini hujan, Bu," protes Scania sambil memandang keluar jendela dapur. "Apa tidak bisa besok saja?"

Scania sebenarnya tidak masalah dengan cuaca pada saat itu. Ia hanya berusaha menunda kepergiannya, karena besok pagi ia memiliki janji untuk mendongeng di hadapan para orang buta secara sukarela. Ia tentu tidak ingin mengecewakan orang-orang yang sudah menunggunya untuk bercerita panjang lebar.

Wren berkacak pinggang. "Mengapa kau selalu saja membantahku, Scania?!" rutuknya kesal. "Semakin cepat kau kembalikan buku itu, masalah ini akan semakin cepat selesai. Apakah kau ingin membuat masalah baru dengan menunda kewajibanmu?"

"Tidak, Bu," jawab Scania pelan. 

Wren buru-buru membuka pintu yang langsung menghubungkan dapur dengan halaman belakang istana. Sekelebat angin masuk dan mendorong pintu yang terbuka itu, sehingga Wren terhuyung saat mencoba menahannya. Ia dan Scania akhirnya keluar dari pintu dapur itu. Mereka berdua berlari beriringan, dengan sekuat tenaga melawan angin. Mereka melangkahkan kakinya kuat-kuat di atas tanah yang mulai basah oleh rintik hujan.

Wren menarik tangan Scania dari balik jubahnya, agar Scania mempercepat langkahnya. Ia tak terlalu banyak bicara pada saat itu. Yang ada di pikirannya hanya bagaimana caranya agar ia bisa secepatnya pergi membawa Scania ke Hutan Biru tanpa ketahuan siapapun.

"Kita mau ke mana sebenarnya, Bu?" tanya Scania bingung. Ia sejak tadi hanya bisa melihat jalan setapak penuh lumpur yang dilaluinya tanpa bisa melihat ke depan dengan jelas karena setengah wajahnya yang bagian atas telah tertutup oleh jubah yang ia pakai.

"Sebentar lagi kita sampai," bisik Wren singkat. "Aku akan mengantarkanmu pada seseorang yang bisa membawamu menuju Kerajaan Brigham tanpa tersesat."

Scania sama sekali tidak berpikir untuk kabur. Ia sangat percaya pada apa yang dijanjikan oleh ibunya. Biar bagaimana pun, ibu kandungnya sendiri tidak akan mungkin mencelakainya. Ia memilih untuk menuruti semua instruksi dari sang Ibu,  dan terus berjalan di sebelahnya.

"Kenapa kita harus memakai jubah sebesar ini, Bu?" protes Scania. "Aku sulit menyapa semua orang yang aku kenal di jalan. Mereka tidak mengenaliku sama sekali."

"Tentunya agar kau tidak kedinginan. Angin yang lewat begitu kencang, Scania. Kalau kau sakit, siapa yang akan mengantarkan buku itu ke tempat asalnya?" ketus Wren tanpa memelankan langkahnya sedikit pun. "Lagi pula, jika kau sengaja membuang waktumu dengan menyapa semua orang yang kau temui di jalan, kita akan lebih lama sampai di tempat tujuan."

Beberapa saat kemudian, mereka berdua akhirnya sampai di tepi Sungai Biru. Scania bisa mendengar gemercik aliran airnya, dan ia merasa senang karena mengenali suara itu. Wren lalu mengajak Scania menaiki sebuah jembatan kayu yang merupakan penghubung antara Kerajaan Heloise dengan Kerajaan Brigham.

"Oh, apakah kita sedang melewati jembatan?" celoteh Scania terkejut.

Wren memutar bola matanya saat melihat betapa noraknya Scania. "Untung saja aku mengantarmu, Scania. Rupanya kau tidak terlalu mengenal jalan menuju tempat tujuanmu."

Wren dan Scania terus melangkah hingga mencapai tepi Sungai Biru di wilayah Brigham, lalu tiba di sebuah pasar yang sangat ramai. Scania kali ini tidak bisa menahan rasa ingin tahunya, ia membuka tudung kepalanya dan terkesima dengan semua keramaian yang ada di sekelilingnya. 

"Ini Pasar Kerajaan Brigham, Scania," tukas Wren. Ia juga ikut membuka tudung kepalanya karena merasa situasi sudah cukup aman. Tidak akan ada yang dapat mengenali mereka di sini sama sekali.

Sama seperti pasar-pasar pada umumnya, Scania bisa melihat begitu banyak orang berkerumun dan berlalu-lalang di sana. Ada begitu banyak tenda-tenda kecil yang berisi beraneka ragam barang yang dijual. Mulai dari makanan, pakaian, sampai peralatan berburu. Begitu banyak kereta kuda yang mengangkut berkarung-karung hasil perkebunan, sehingga mereka berdua harus menyingkir ke tepi jalan. 

Wren menoleh ke kanan dan kirinya, tampak kebingungan mencari sesuatu. Ia lalu menoleh ke belakang dan memicingkan matanya. Setelah itu kedua matanya terbelalak kaget lalu ia tersenyum. Rupanya ia berhasil menemukan seseorang yang ia cari di balik sebuah toko roti.

"Cepatlah, Scania!" Wren kembali menarik tangan Scania yang sedang sibuk mengamati hewan-hewan kecil dalam kandang yang sedang diperjualbelikan. "Aku akan mengantarmu pada seseorang."

Scania melihat ke pria yang dimaksud oleh ibunya. Pria itu bertubuh sangat kurus, kulitnya tampak kering, kantung matanya layu, dan ekspresi wajahnya sangat tidak ramah. Dari kejauhan, pria itu tampak sedang membersihkan sebuah toko kecil tertutup. Scania bahkan tidak tahu apa yang ia jual di sana.

Mereka lalu menghampiri pria kurus itu.

"Hey, Wren! Masih ingat rupanya kau padaku, ya? Sudah lama sekali sejak kau mengambil seorang pelayan untuk kau bawa." sapa pria kurus itu begitu melihat seorang wanita yang dulu pernah dikenalnya. Pria itu memindahkan tatapannya dari Wren ke Scania yang sudah tidak lagi mengen meakan jubahnya. "Siapa gadis ini?"

Wren menoleh ke kanan dan kirinya. "Aku ingin menitipkan dia padamu, Drake," bisik Wren. Kemudian Wren mendekat ke telinga Drake saking takut ucapannya terdengar oleh Scania. "Dia nyaris membuatku dipecat. Tolong antar dia ke Kerajaan Brigham, setelah itu jauhkan dia dariku untuk beberapa saat," bisiknya. "Minimal sampai masalahku selesai."

Drake mengangguk dengan dahi terlipat. "Hmm, tergantung dengan apa kau membayarku."

Wren memberikannya sekantung uang. Padahal, seluruh uang yang ia serahkan pada Drake adalah tabungan Scania yang ia ambil diam-diam. Drake lalu menimang sekantung uang itu dan tersenyum senang.

"Oke, deal," kata Drake.

Wren menepuk pundak Scania. "Ini dua keping koin untukmu. Untuk berjaga-jaga." 

"Terima kasih, Bu," kata Scania senang. Padahal uang itu juga merupakan hasil dari tabungan Scania yang diambil diam-diam oleh ibunya. Tapi Scania terlalu senang karena ia merasa ibunya berubah menjadi sangat mengkhawatirkannya dengan memberinya uang saku.

Wren memeluk Scania, namun ia memutar bola matanya dengan malas saat Scania tidak sedang melihat ke arahnya. Sedangkan Scania sempat menitikkan air matanya ketika ibunya memeluknya. Biar bagaimana pun, selama ini ia belum pernah berada jauh dari ibunya. Ini pertama kalinya, dan ia merasa berat hati.

****

The Unwanted Princess [TAMAT]Where stories live. Discover now