BAB 1

13.7K 910 22
                                    

Sejak saat itu, Scania dan Milo semakin bertambah dekat. Tak ada yang lebih menyenangkan selain memiliki kawan setia yang selalu ada setiap saat, batin Scania. Ia sangat mensyukuri pertemuannya dengan Milo, karena ia tidak lagi menjadi Scania yang selalu duduk sendirian di tepi sungai. Scania sering sekali membacakan buku dengan serius, sedangkan Milo berangsur-angsur tertidur menyandarkan kepalanya di pundak Scania. 

"Kau ketiduran lagi, Milo!" tegur Scania cerewet. Ia memicingkan matanya ke arah permukaan topi Milo di pundak kirinya sambil menutup sampul buku keras-keras. 

Milo terjaga. "Oh, maaf aku tidak sengaja, Scania." Ia buru-buru menegakkan kepalanya. 

"Jika kau tidak tertarik dengan buku ini, aku bisa menggantinya dengan buku yang lain," tawar Scania masih dengan nada kesal.

"Tidak, tidak perlu," bantah Milo pelan dan meletakkan topinya di atas bebatuan. Ia menarik napas, mengambil ancang-ancang untuk berjalan. Ia menghampiri Sungai Biru lebih dekat, lalu mencelupkan kedua telapak tangannya dan membasuh wajahnya untuk menghilangkan kantuk. Ia lalu menyeringai sambil menoleh ke belakang. "Aku sudah tidak mengantuk. Sekarang kau bisa lanjut membacakan buku itu lagi."

Scania menatap sahabatnya dengan ragu. "Bukankah buku ini sudah selesai kubacakan sejak tadi?" celetuknya sambil melipat lengan. "Kau bahkan tidak menyadarinya, Milo."

"A-Aku, sebenarnya tadi aku," Milo kikuk. "Baiklah, aku yang salah. Maaf." ucapnya dengan terpaksa. Ia lalu menghampiri Scania yang terlihat betah duduk di bawah pohon. "Mengapa laki-laki selalu saja salah di mata perempuan?"

Scania tertawa kecil mendengar keluhan Milo barusan. "Santai saja, please. Aku tidak bermaksud menyalah-nyalahkanmu."

Milo kembali duduk di samping Scania dan bersandar pada batang pohon sambil menyilangkan kakinya. "Apa kau mau aku ajak jalan-jalan, Scania?"

Scania mengernyit. "Ke mana?"

Milo mengarahkan telunjuknya ke seberang Sungai Biru. "Ke sana."

Scania menatap Milo heran. "Wilayah Kerajaan Brigham, maksudmu?"

"Iya, aku jamin di sana ada sesuatu yang menyenangkan," decak Milo senang. "Banyak hal yang ingin aku perlihatkan padamu, Scania."

Scania tampak gundah. Ia mengggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal. "Entahlah, tapi aku,"

"Kau harus mencobanya," potong Milo gemas. "Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Aku akan menyertaimu ke sana, lalu mengantarmu ke sini lagi. Kau tidak perlu takut tersesat, aku ini tinggal di wilayah seberang, apa kau lupa?"

Scania menggigit bibirnya. Tiba-tiba ia merasa tertekan karena menganggap daerah Brigham adalah wilayah yang berbahaya bagi rakyat Heloise seperti dirinya. "Mm, bagaimana kalau besok saja?"

"Kau selalu mengatakan itu ribuan kali tiap aku mengajakmu pergi ke sana." Milo memicingkan matanya ke arah Scania. Desau angin sore meniup topi di kepalanya hingga bergetar. "Kalau aku menurutimu, besok kau akan berkilah bahwa kita akan pergi besoknya lagi. Dan seterusnya!" ketus Milo merajuk. Ia lalu menarik tangan kanan Scania tiba-tiba sambil berdiri. "Ayo, Scania. Sekarang masih sore dan hari ini sangat cerah, apa lagi yang kau cemaskan? Aku janji kau tidak akan menyesal ikut denganku melihat-lihat wilayah Brigham."

"Aku jadi pusing. Sebentar-sebentar! Aku akan mempertimbangkannya dulu," keluh Scania sambil memegangi kepalanya dengan tangan kiri. 

"Apa kau tidak percaya padaku?"

Scania merasa bersalah melihat sorot mata Milo yang tertunduk. Gadis itu buru-buru mempererat genggaman tangannya seraya berdiri. "Oke, oke. Aku ikut, tapi jangan lama-lama." Ia menepuk-nepuk bajunya yang sempat menempel di permukaan tanah.

Milo tersenyum lebar. Tiba-tiba ia merasa begitu bersemangat, padahal ia baru saja terbangun dari tidur. Ia tidak sabar ingin membelikan sesuatu untuk Scania di toko-toko Brigham. 

Mungkin aku akan membelikannya perhiasan? Bukankah Scania tidak pernah pakai perhiasan sama sekali? Aku yakin ia akan senang menerimanya. Perempuan mana yang tidak suka perhiasan? Ah, tapi aku akan merusak penyamaranku. Sekarang ini aku bukanlah seorang pangeran di mata Scania. Aku bisa jadi akan membuatnya curiga. Atau yang lebih buruknya lagi, aku pasti akan dicap sebagai pencuri karena memiliki uang sebanyak itu.

Milo berjalan mendahului Scania melewati jembatan yang terbuat dari kayu yang berdecit-decit saat diinjak. Angin segar melewati mereka, dedaunan kering berterbangan di sela-sela langkah, diikuti gemercik air sungai di bawah kaki mereka. Saat itu, tak ada yang lebih Milo inginkan selain berada di sisi Scania, selamanya. 

Bisakah waktu berhenti lebih lama sekarang juga? 

"Awas topimu, Milo. Anginnya kencang," tegur Scania dari belakang. Ia menepuk pundak lelaki yang lebih tinggi darinya itu dengan susah payah. "Kita mau ke mana dulu memangnya?"

"Ada banyak tempat, sebenarnya," jawab Milo sambil menoleh ke samping. "Aku ingin memperlihatkan padamu pacuan kuda, sirkus, festival malam-"

"Malam? Tidak, Milo. Aku tidak boleh pulang malam-malam, karena ibuku pasti akan sangar marah. Maksudku, khawatir," rengek Scania sambil mencengkram erat buku di tangannya. "Dari semua yang kau sebutkan itu, mana yang paling dekat dari sini?"

"Tapi semua itu menyenangkan. Aku ingin kau ke sana," tegas Milo.

Scania semakin cemberut dan sesekali menoleh ke belakang. Begitu mereka berdua hampir melalui jembatan, ia menarik tangan kanannya yang sejak tadi masih digenggam erat oleh Milo. "Kalau begitu, maaf sepertinya aku tidak jadi pergi denganmu."

Milo menghela napas panjang saat Scania menghentikan langkahnya. Ia semakin menarik lengan gadis itu. "Baiklah, aku akan menurutimu, Scania, walaupun aku bermaksud baik padamu," balasnya menyerah. "Ah, mengapa bagi perempuan, laki-laki selalu saja salah?"

Scania mencubit lengan Milo tanpa ampun, lalu menertawai keluh kesahnya.

****

The Unwanted Princess [TAMAT]Where stories live. Discover now