BAB 37

1.8K 169 7
                                    

TOK! TOK! TOK!

Drake kali ini mengetuk pintu rumah Elric dengan sangat sopan. Ia ingin meminimalisir konflik dengan pria itu, karena waktu yang ia punya tidak terlalu banyak. Gadis itu harus segera dikembalikan pada ibunya, atau seluruh barang dagangannya bisa hancur oleh dua pengawal yang menunggunya bersama Wren.

"Drake?" heran Elric begitu ia membuka pintu rumahnya.

"Tolong, Elric. Jangan tutup pintu. Aku menemuimu karena gadis itu sedang dicari-cari oleh ibunya." Drake berhenti mengetuk pintu. "Ibunya datang padaku dan mencemaskan putrinya."

Scania mendengar samar-samar ucapan Drake dari dalam dapur.

"Ia bahkan membawa dua pengawal untuk menghajarku jika aku tidak bisa mengembalikan putrinya," lanjut Drake.

Elric akhirnya membuka pintunya lebar-lebar. Ia berpikir sejenak, jika benar apa yang Drake ucapkan, mungkin ibu dari Scania memang sangat mengkhawatirkan putrinya. "Bagaimana aku bisa percaya kata-katamu?"

Drake memutar bola matanya. "Oh, kau tidak akan percaya padaku, kecuali kau ikut denganku menemui ibunya langsung. Detik ini juga."

Scania muncul dan menatap Elric dengan bingung. "Biar bagaimana pun, dia itu ibuku," bisik Scania cemas.

Elric sebenarnya sangat tidak setuju melepaskan Scania, entah mengapa ia merasa bahwa gadis itu akan lebih aman jika tetap berada bersamanya. Tetapi di sisi lain, ia juga tidak mau menjadi seorang penjahat yang memisahkan seorang ibu dari anaknya.

"Kalau begitu, aku ikut." Elric bergegas menyiapkan kudanya.

****

Sesampainya mereka bertiga di tempat yang telah ditentukan, Wren histeris melihat Scania. Rupanya Drake tidak berbohong padanya. Scania memang masih hidup.

"Scania! Kau masih hidup!" Wren merentangkan kedua tangannya, mengisyaratkan bahwa ia ingin memeluk putrinya.

Scania, dengan mata berkaca-kaca, turun dari kuda dan melangkah mendekati sang ibu. Mereka berdua berpelukan sambil menangis. Dua pengawal yang berdiri di sana ikut merasa terharu. Drake di sana juga diam-diam sedang mengambil alih gerobaknya lagi, tidak mau kehilangan kesempatan dalam kesempitan.

Elric menghela napas lega. Sepertinya kali ini, ia tidak bisa lagi mengajak Scania pulang. Tapi ia merasa senang jika melihat Scania bisa kembali berkumpul dengan keluarganya.

"Sekarang, ayo kita pulang." Wren menggenggam tangan Scania dengan erat.

"Sebentar, Bu. Aku ada perlu." Scania menatap Elric yang masih berdiri di samping kudanya.

Elric mengangguk, memberi isyarat padanya bahwa Scania sudah ia bebaskan dari status budak dan boleh pergi ke mana pun ia mau.

"Terima kasih, Elric. Aku tidak tahu bagaimana aku harus membalas kebaikanmu padaku." Scania tersenyum penuh rasa syukur.

Elric balas tersenyum padanya. "Pintu rumahku selalu terbuka untukmu. Berkunjunglah kapan saja."

Wren segera menarik tangan Scania, sebelum momen perpisahan ini terlalu menyita waktunya. Ada masalah penting yang harus ia tuntaskan dengan kehadiran Scania di Istana Heloise. Ia juga muak mendengar basa-basi semacam itu, tentu saja karena ia tahu Scania tidak akan pernah bisa bertemu dengan pria itu lagi. Selamanya.

****

Milo kini tengah berlatih keterampilan pedang melawan para ajudannya di pekarangan istana. Kadang ia menyerang, kadang ia yang diserang. Tubuhnya bermandikan keringat, kilatan matanya tajam mengikuti gerak-gerik lawannya. Milo begitu serius menangkis setiap tebasan pedang.

"Milo." Raja Brigham muncul tiba-tiba dari arah beranda istana.

Milo dan para ajudannya berhenti ketika mendengar suara khas milik sang raja. Mereka bersamaan memberi hormat, lalu berpencar meninggalkan Milo seorang diri di sana. Milo menjatuhkan pedangnya ke tanah dan menghampiri ayahnya dengan napas terengah-engah.

"Ada apa, Yang Mulia?" tanya Milo dengan wajah yang bercucuran keringat.

Raja Brigham memandang ke arah bunga-bunga yang bermekaran di sudut taman. "Karena kau kemarin belum sempat menjenguk calon istrimu yang sedang sakit, aku ingin sekarang kau melakukannya." Ia memandang Milo dengan penuh harap. "Pergilah ke Istana Heloise dan bawakan ia bunga."

Milo memicingkan matanya dan tersenyum kecut. "Baiklah, aku akan segera berangkat."

****

Dengan menaiki kuda bersama beberapa orang pengawalnya, Milo pergi menuju Istana Heloise. Sesampainya di sana, ia mendapat sambutan hangat dari orang-orang di sana. Ia dipersilakan untuk duduk di sebuah kursi empuk yang berada di sebelah pintu kamar Martha. Milo duduk di sana dengan menggenggam sebuket bunga, sesuai perintah ayahnya.

Sementara itu, Martha di dalam kamarnya sibuk menata pakaiannya. "Buat aku terlihat pucat," bisik Martha pada seorang penata rias yang sibuk memoles wajah sang putri.

"Baik, Yang Mulia."

"Dan," lanjut Martha. "Buat aku terlihat kurang tidur. Bisa kau lakukan sesuatu pada kantung mataku?"

"Baik, Yang Mulia."

"Tapi bagaimana pun juga, aku ingin bulu mataku tetap lentik." Martha mengedipkan kedua matanya beberapa kali dan memandanginya lewat cermin sambil tersenyum lebar. "Walaupun aku sakit, pangeran tetap harus terpesona padaku, kan?"

"Tentu saja, Yang Mulia."

"Dan juga!" bisik Martha. "Aku ingin pipiku merona kemerahan."

Penata rias itu mengangkat alisnya. "Tapi bukankah Yang Mulia bilang ingin terlihat pucat?"

Martha mendengus kesal. "Jangan banyak protes!"

"Baik, Yang Mulia." Perias itu mulai pusing karena kewalahan.

Beberapa saat kemudian, setelah Martha bercermin untuk yang kesekian kalinya, ia mulai memberanikan dirinya membuka pintu kamar. Ia menemukan Milo sedang duduk di sana sambil menguap karena bosan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menyapanya.

"Pangeran! Kau datang rupanya!" pekik Martha seolah ia benar-benar baru menyadari kehadiran Milo di sana.

Milo, yang sudah duduk di sana hampir satu jam, menoleh dengan enggan. "Bagaimana keadaanmu?"

Martha tiba-tiba memegangi dahinya dan memejamkan mata. "Aduh, agak sedikit pusing. Kepalaku berat dan sekelilingku berputar." Tubuh Martha tiba-tiba limbung dan bersandar pada dinding. Sambil memegangi kepalanya, Martha menunjuk bunga dalam genggaman Milo. "Oh, apakah itu bunga untukku?"

"Ya, tentu." Milo berdiri dan menyerahkan bunga itu pada Martha.

Martha menarik tangan Milo saat ia menyerahkan bunga. "Sepertinya aku tidak bisa lama-lama berdiri, tolong aku."

Saat membantu Martha untuk duduk di kursi empuk itu, tiba-tiba Milo mendengar suara yang ia kenal. Namun, ia kesulitan memfokuskan pendengarannya pada suara samar itu karena rengekan Martha terlalu berisik. Tiba-tiba muncul sebuah ide di kepala Milo. "Sebentar, ya. Aku akan mengambilkanmu minum," ujar Milo saat Martha sedang duduk memegangi kepalanya.

Sepertinya pangeran benar-benar cinta mati padaku, pikir Martha.

Ia mengangguk pelan sambil memejamkan matanya, seperti sedang menahan sakit. Pada saat itu sebenarnya Martha merasa sangat tersanjung karena seorang pangeran bersedia mengambilkannya minum. Ia menduga Milo sangat mencemaskan keadaannya.

"Tidak perlu repot-repot, aku hanya perlu segelas jus apel merah dengan dua sendok gula, dicampur teh sedikit dan kalau bisa dengan beberapa tetes jeruk asam untuk menetralkan rasanya yang terlalu manis. Tidak perlu repot-repot."

Sayangnya, Milo terlanjur pergi meninggalkannya sebelum ia menyelesaikan ucapannya. Milo mencari sumber suara, dan ia yakin sekali suara itu berasal dari aula utama istana dan sekitarnya. Milo mempercepat langkahnya sebelum suara itu benar-benar menghilang.

"Scania," gumam Milo. "Aku yakin dia ada di sini."

****

The Unwanted Princess [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang