BAB 8

3.4K 374 13
                                    

Siang ini, Scania fokus mengerjakan semua tugas sekolah Martha. Tugasnya sangat banyak dan bertumpuk-tumpuk. Martha sibuk memoles kuku-kuku di jemari tangannya tanpa sedikit pun belajar bersama Scania soal tugas sekolahnya. Ia sama sekali tidak peduli.

"Menurutmu aku lebih cocok pakai gaun warna ungu atau warna oranye?" tanya Martha tanpa memalingkan pandangannya pada kuku jarinya.

Scania meletakkan pensilnya dan mulai merespon pertanyaan itu. "Tumben Yang Mulia menanyakan itu. Tapi menurutku semua warna akan cocok padamu," jawab Scania, mencari aman. Lagi pula, ia sudah mengenal Martha sangat lama. Mereka bahkan tumbuh dewasa bersama, namun dengan perbedaan status yang sangat jauh.

"Jadi, ungu atau oranye?" selidik Martha.

Scania menggigit bibirnya. Ia tahu bahwa ini adalah pertanyaan jebakan. Kalau ia memilih salah satu, akan timbul pertanyaan lainnya yang bercabang-cabang. Atau ia akan kena semprot karena telah berpikir bahwa salah satu warna gaun akan terlihat jelek bila dipakai oleh Martha.

"Hmm," gumam Scania. "Sangat sulit memilihnya, karena keduanya bagus. Mungkin Yang Mulia bisa pakai keduanya secara bergantian."

"Sebenarnya besok akan ada seorang pangeran yang datang ke sini, melamarku," ucap Martha datar. "Aku bingung memilih gaun."

Scania terkejut. "Benarkah? Dari mana pangeran itu, Yang Mulia?"

"Kau pasti tidak akan percaya," tukas Martha sok tahu. "Dia adalah Pangeran Brigham."

"Oh!" Scania terperanjat. Ia tersenyum lebar. "Apakah itu artinya, Kerajaan Heloise dan Kerajaan Brigham akan bersatu, Yang Mulia?" Scania tidak bisa membayangkan hal yang lebih indah dari itu. Jika dua kerajaan itu berhenti bermusuhan, maka ia dan Milo bisa bertemu lebih leluasa tanpa perlu bersembunyi.

"Tergantung, bisa iya bisa tidak. Kalau aku tidak menyukainya, bagaimana?" Martha mengerutkan hidungnya dengan jijik. "Kau ingat beberapa bangsawan pernah merayuku dengan seikat bunga?"

"Aku ingat. Dulu Yang Mulia membanting bunga itu ke tanah dan menginjaknya," komentar Scania.

"Aku melakukan itu karena mereka tidak mengerti apa yang aku mau," gerutu Martha. "Aku ingin cincin berlian."

Scania mengangguk setuju. Ia harus menjaga ekspresi wajahnya agar tetap berada di pihak lawan bicaranya. Aku berharap permusuhan antara dua kerajaan ini segera usai, batin Scania. 

"Sebaiknya Yang Mulia berkonsultasi pada Ratu Heloise mengenai warna gaun untuk acara itu," usul Scania lugu.

"Ratu?" Martha mengerutkan dahinya. Ia tiba-tiba membayangkan wajah ibunya, yaitu Ratu Heloise. Lalu tatapan matanya berpindah dari kuku-kukunya ke sosok Scania yang sedang serius menulis di atas selembar kertas.

"Iya, bertanyalah pada ibumu, Yang Mulia," lanjut Scania.

"Kadang aku iri denganmu, Scania. Kulitku tidak seindah kulitmu. Mataku tidak berbinar seperti matamu. Daguku bahkan tidak selancip dagumu. Justru kau yang akan cocok memakai warna pakaian apapun," keluh Martha. Ia menyangga kepalanya dengan lengannya sambil memandangi Scania. "Entah kenapa, kau lama-lama makin mirip ibuku! Lucu sekali!"

Scania tidak terlalu mempedulikan ucapan Martha. Ia sudah sering mendengar keluhan semacam itu, dan ia akan selalu menanggapinya dengan jawaban yang sama.

"Justru aku yang iri padamu, Yang Mulia. Ibuku justru ingin sekali memiliki anak seorang putri raja," puji Scania sopan.

****

Scania akhirnya berhasil menyelesaikan semua tugas sekolah Martha di sore hari. Ia buru-buru pergi menuju Hutan Biru di wilayah Heloise, sebelum Wren sempat memberikan tugas tambahan untuk Scania di dapur. Ia tahu pasti Milo sedang menunggunya di sana.

"Milo!" panggil Scania. Gadis itu berlari menghampiri sahabatnya yang sedang menunggunya di bawah pohon. "Maaf, aku terlambat. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan, tadi."

Cuaca sangat mendung. Awan-awan kelabu berarak disertai deru angin yang menampar-nampar pepohonan yang mulai dibasahi rintik hujan. Gerimis muncul seketika, membuat Scania menutupi kepalanya dengan telapak tangan.

"Apakah ibumu menyuruhmu mencuci seluruh piring istana lagi?" tanya Milo heran. Ia tampak kesal kalau mengingat cerita-cerita Scania tentang bagaimana cara ibunya memperlakukannya.

"Tidak, tapi itu tidak penting," jelas Scania. "Sekarang, aku akan mengajakmu ke sebuah tempat yang bagus."

Scania menarik tangan Milo, nyaris menyeretnya. Milo yang kerepotan mengikuti langkah Scania, akhirnya berlari lebih cepat. Mereka berdua berlari bersama di antara deretan pepohonan. Keduanya tidak peduli dengan genangan air yang mengotori alas kaki mereka.

Namun, jantung Milo kali ini berdebar-debar tak karuan. Ia memandang Scania dengan cara yang berbeda. Ia menganggap Scania sebentar lagi akan menjadi miliknya, karena ia akan bebas memilih wanita Heloise mana pun yang ia sukai. Dan pilihannya dipastikan jatuh pada Scania.

"Rumah siapa itu?" tanya Milo. Ia bingung mengapa Scania memiliki kunci pintu rumah itu dan dapat memasukinya dengan sangat mudah.

Scania terkekeh. "Ini rumah milik Nenek Eda. Aku kemarin bertemu dengannya, dan ia mengizinkanku datang ke sini kapan pun aku mau," jawabnya. "Ada banyak buku di sini!" seru Scania bersemangat.

Milo terdiam, masih mencoba mengamati rumah yang baru saja ia datangi. Mereka berdua akhirnya duduk bersama di sebuah kursi kayu panjang dekat rak buku. Milo sebenarnya ingin menyampaikan niatnya untuk melamar Scania saat ini, namun ia akhirnya berpikir ulang. Ia akan menjadikan itu sebagai kejutan untuknya saat waktu yang tepat tiba.

"Milo, apakah kau bisa bayangkan seandainya Kerajaan Brigham dan Heloise bersatu?" celoteh Scania girang. Suaranya tersamarkan oleh tumpahan air hujan. "Kita tidak perlu bersembunyi lagi. Tidak ada yang perlu kita takutkan."

Milo menatap Scania di sebelahnya dalam-dalam. Tubuhnya perlahan condong ke wajah Scania, bahkan terlalu dekat. Saking dekatnya, ia bahkan bisa mendengar embusan napas gadis pujaan hatinya itu. Pandangan mereka tiba-tiba bertemu. Milo kini menyadari bahwa ia sangat mencintai Scania, lebih dari wanita mana pun. Milo tertegun, ia ingin lebih dekat lagi padanya, tapi Scania mendadak berdiri dan tersenyum lebar.

"Dan, jika itu terjadi," lanjut Scania. "Mungkin kau dan aku bisa saling mengunjungi satu sama lain. Aku akan mengajakmu pergi menjelajahi Heloise dan kau bisa memperkenalkanku pada semua hal tentang Brigham. Bukankah itu akan sangat menyenangkan?"

Milo tersenyum. "Aku juga berharap akan segera datang perdamaian di antara dua kerajaan. Aku juga menantikannya, Scania."

****

The Unwanted Princess [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang